SANTET (Witchcraft) - Chapter 8



Wanita yang saya lihat dihalaman depan tiba – tiba menghilang ketika kakek kembali dari kebun pisang. Dengan baju basah karena bercucuran keringat kakek saya masuk kedalam rumah dan mengambil segelas air. Saya hendak bertanya apa yang terjadi, tapi saya urungkan niat itu ketika melihat kakek masih ngos – ngosan mengatur nafas.
Keesokan harinya saya bertanya kepada kakek tentang kejadian semalam. Kakek menjelaskan bahwa semalam dia melihat anjing hitam yang dulu pernah mencegat kita ditengah kebun tebu. Anjing itu dipergoki kakek berada dibelakang dapur kami, rupanya dia ditugaskan untuk mengawasi keluarga ini.

Mengkin si pelaku santet marah kepada kakek, karena dia sudah membantu Mba Tuti pulih. Dan sekarang mencoba balik menyerang ke kakek. Saya juga menceritakan penampakan perempuan yang terlihat dihalaman depan, mungkin sosok wanita tersebut juga menampakan diri kepada nenek waktu dikamar mandi. Tapi kakek menjawab dia tidak melihat sosok wanita semalam hanya anjing hitam saja.

Nenek saya kembali pulih setelah diyakinkan bahwa semua baik – baik saja. Kemudian kakek berpesan bahwa makhluk atau apapun namanya, tidak akan berani memasuki rumah, dia hanya mencoba meneror kita secara mental untuki kemudian lemah dari dalam. Seperti nenek yang kemudian sakit karena mental dan jiwanya roboh sehingga mengakibatkan fisiknya juga tumbang. Memang dari keluarga ini neneklah yang paling rentan jiwanya.

Sepertinya memang si pelaku santet yang misterius itu tak pernah jengah membuat keluarga saya celaka. Semenjak nenek pulih kembali dan beraktivitas seperti biasa, ada satu kejadian yang membuat nenek kembali sakit. Waktu itu sebuah peristiwa terjdai setelah isya, lebih tepatnya jam 8 malam, kakek belum pulang kerumah, mungkin sehabis sholat isya dimasjid dia pergi kerumah salah satu warga untuk tahlil 40 harian. Dirumah hanya ada saya, kedua keponakan peremupan saya dan nenek.

Saya waktu itu sedang dikamar membaca buku pelajaran yang sebentar lagi masuk kesemester 2 yang artinya sebentar lagi ujian SMP. Sedangkan nenek sedang dirumah tengah menonton TV. Menurut nenek ketika sedang asik menonton, terdengar suara ketukan di pintu, mungkin karena mengira itu tamu, nenek lantas bergegas untuk membukanya. Tapi begitu nenek membukanya, tak ada seorang pun berdiri disana, hanya beberapa batu seukuran jempol kaki tergeletak dibawah lantai. Ketika nenek hendak menutup pintu terdengar seperti suara orang memanggil namanya.
Nenek menyuruh masuk, dan temannya itu diam saja. Karena mungkin nenek tak enak, malah dia yang menghampiri. Mereka berbincang cukup lama dihalaman depan sambil berdiri, karena sekeras apapun nenek mengajak temannya itu dia tidak mau masuk kedalam rumah.

“ayo bu masuk kerumah saya, banyak makanan ga kemakan, lumayan buat anak – anak sama suami ibu.” Ajak perempuan itu kepada nenek.

Setelah diajak, nenek masuk kedalam rumah untuk mengambil kerudung, dia mengiyakan ajakan temannya itu tanpa berpikir panjang.

“teng nenek kerumah bu Irma dulu yah.”

Mendengar ucapan ibu sontak saya kaget. Melemparkan buku pelajaran yang sedang say abaca kemudian berlari menghampiri nenek. Saya mengguncang – ngguncangkan tubuh nenek sambil menyuruhnya untuk istighfar agar tersadar.

“kenapa teng?” ucap nenek melihat tindakan saya.
“nenek ga sadar, bu Irma siapa? Ibu Irma temen nenek pengajian itu? Dia sudah meninggal nek. Sekarang kan 40 hariannya.” Mendengar ucapan saya nenek langsung tergolek lemas, tubuhnya menggigil seperti kedinginan.

Saya berlari kehalaman depan karena penasaran, dan disana tak ada siapapun. Jadi dengan siapa nenek berbincang tadi. Ketika kakek datang saya menceritakan semuanya, kakek tampak geram namun dia tidak bisa berbuat apa – apa. Menurut kakek kalau saja waktu itu nenek ikut dengan jelmaan perempuan yang mirip dengan temannya itu, mungkin nenek akan hilang atau disesatkan dijalan. Persis seperti kejadian Mba Tuti tempo dulu.. sejak kejadian itu nenek saya sakit, semua aktifitas harian, saya dan kedua keponakan saya yang masih kecil yang mengerjakan. Kakek jarang tidur dimalam hari, dia selalu berjaga dan keliling rumah. Siang hari kakek juga tidur hanya beberapa jam, karena ada sawah dan kebun yang harus dia urus juga.

Dua hari semenjak nenek sakit, tepat jam 3 sore Mas Joko datang kerumah. Kakek yang baru pulang dari sawah, langsung mengajaknya berbincang diruang tamu. Saya menduga mungkin Mas Joko hanya main saja, karena semenjak istrinya sembuh dia belum pernah datang kerumah saya lagi.

“istri saya baru – baru ini kena terror lagi pak. Saya udah cape sebenernya dengan hal – hal seperti ini. Tapi orang yang mengganggu saya ini tampak tidak puas dan terus ingin mencelakakan keluarga saya.” Ucap Mas Joko.

Saya mendengarkan samar – samar dari ruang tengah sambil menonton TV. Dari obrolan yang saya dengar, Mas Joko ingin meminta bantuan kakek lagi. Saya belum tahu spesifik apa yang sebenernya terror yang dimaksud disini. Apakah istrinya kumat lagi seperti dulu.

“terror gimana sep?” kakek saya bertanya.

Karena tertarik saya kecilkan suara volume TV, agar suara obrolan lebih terdengar. Mas Joko mulai bercerita tentang istrinya. Waktu itu Mba Tuti sedang sendrir dirumah, karena memang Mas Joko sering bepergian untuk mengantar bawang ke juragan. Ketika Mba Tuti selesai sholat isya dia mendengar suara ledakan seperti suara petasan persis diluar kamarnya. Mungkin karena penasaran Mba Tuti membuka gorden jendela kamar, Mba Tuti kaget bukan kepalang ketika melihat bayangan seorang pria besar didepan matanya. Dia tak melihat sosok pria itu secara utuh hanya melihat bayangan hitamnya saja.

Mba Tuti ketakutan, dia hendak menelpon suaminya. Namun belum telponnya tersambung, gangguan itu datang lagi. Kini terdengar seperti suara langkah kaki seperti orang lari. Suara itu amat jelas bahkan Mba Tuti bisa merasakan getarannya. Suara itu seperti mengelilingi rumahnya, mungkin kalau dihitung suara di sekitar 6 putaran, Mba Tuti tak bisa memastikannya karena dia terlanjur ketakutan.

Mas Joko tak bisa pulang karena dia baru setengah jalan mengantar bawang ke daerah Slawi langganannya. Maka Mas Joko menyuruh Mba Tuti pergi kerumah tetangganya. Karena rumah Mba Tuti beda kecamatan dan sangat jauh tidak mungkin Mas Joko menelpon mertuanya itu untuk menemani istrinya.

Mba Tuti ingin keluar untuk meminta bantuan, tapi bayangan hitam itu tampak sedang menunggu diluar. Tak ada yang bisa dilakukan Mba Tuti kecuali menangis ketakutan. Mba Tuti mencoba berteriak meminta tolong, bahkan ia sangat keras berteriak, namun anehnya tak ada satu orangpun yang menghampirinya. Sepertinya kekuatan ghaib telah meredam suara Mba Tuti agar tidak terdengar orang – orang, atau bagaimana saya tidak mengerti cara kerja si pelaku santet.

Mba Tuti pergi kedalam kamarnya dan dia sembunyi dikolong ranjang, untuk mengusir rasa takutnya. Tapi tiba – tiba dari jendela kamarnya, terdengar suara pelan perempuan. Suara itu begitu halus namun lirih seperti orang kesakitan. “Tuti……tuti…..tuti….”suara itu terdengar berulang – ulang memanggil nama Mba Tuti. Maba Tuti yang semakin ketakutan mencoba menutup telinganya dengan telapak tangan, tapi suara wanita yang awalnya pelan, kini dia terdengar marah. Suara tersebut menggelegar memanggil – manggil nama Mba Tuti. Suara teriakan perempuan itu dibarengi dengan suara gebrakan tangan yang memukul – mukul kaca jendela.

“astaghfirullah….astaghfirullah….astaghfirullah…”hanya istighfar yang keluar dari mulut Mba Tuti untuk menghilangkan ketakutannya.

“buka pintu tutiiiii!!!! Keluar kau tutiii!!!” teriak suara perempuan dibalik kaca jendela kamar, yang sosoknya tak terlihat oleh Mba Tuti.

Ketika Mas Joko pulang sekitar jam 3 pagi bersama temannya, merasa curiga karena Mba Tuti tidak merespon saat pintuk diketok – ketok bahkan saat ditelpon pun tak ada jawaban, tapi suara hp Mba Tuti didalam rumah terdengar oleh Mas Joko. Sekitar satu jam tidak ada jawaban juga, Mas Joko yang merasa curiga dan khawatir akhirnya mendobrak pintu rumah.

Mba Tuti ditemukan dibawah ranjang dalam keadaan tidak sadar. Tubuhnya dingin dengan wajah pucat bercucuran air mata. Bahkan mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan istighfar bekali – kali. Mas Joko mencoba menyadarkannya dengan mengguncang – ngguncangkan tubuhnya, menyiram wajahnya dengan cipratan air, bahkan sampai menampar pipi istrinya itu supaya tersadar.

Mendengar cerita Mas Joko, kakek menghela nafas. Entah apa yang harus ia katakana sekarang, tapi kakek tidak menceritakan sedikitpun tentang kejadian nenek yang mengalami terror sama seperti Mba Tuti. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya kakek berkata kepada Mas Joko bahwa dia tidak bisa lagi membantu Mas Joko. Kondisi nenek yang sakit dijadikan alasan kakek untuk menolak secara halus Mas Joko.

“tolong sekali pak, saya bingung. Saya tidak mengerti hal – hal seperti ini, Cuma bapak harapan saya satu – satunya.” Ucap Mas Joko dengan nada memohon, matanya tampak berkaca – kaca.

Keputusan kakek sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Saya mengerti sebenrnya alasan kakek menolak Mas Joko. Yang awalnya kakek kira hanya niat menolong saja, sekarang imbasnya malah kepada keluarga kami. Mungkin kakek sadar dia terlalu jauh ikut campur urusan orang.

Mas Joko tidak memaksa keputusan kakek, akhirnya dia pulang dengan tangan hampa. Dari wajahnya Mas Joko tampak kecewa, marah mungkin. Tapi saya tak tahu rasa marah dan kesalnya itu ditujukan untuk siapa. Apa kepada kakek yang tidak bisa membantunya lagi atau pada pelaku santet yang telah mengganggu hidupnya itu, saya tak tahu.
Seminggu berlalu, sedikit demi sedikit nenek sudah kembali pulih, beraktivitas seperti biasa. Tapi sepertinya kakek tidak diberi nafas sedikitpun untuk berleha – leha, baru saja dia pulang sholat maghrib dari masjid, Mas Joko datang lagi kerumah saya. Kali ini dia menangis bahkan memeluk kakek saya. Dia memohon –mohon agar kakek mau datang kerumah dan membantu istrinya.

Setelah merasa tenang dan minum air putih Mas Joko mulai bercerita kepada kakek dan juga mungkin kami yang mendengarkan disana. Seminggu yang lalu setelah pulang dari sini, Mas Joko bergegas mencari orang pintar. Berdasarkan rekomendasi temannya akhirnya ia mendapatkan seorang paranormal, yang berasal dari luar kabupaten Brebes. Yang saya tidak akan sebutkan nama kotanya, demi kebaikan bersama agar tidak ada yang tersinggung. Menurut Mas Joko si paranormal tersebut datang kerumahnya untuk mengobati Mba Tuti dan juga memasang pagar ghoib untuk rumah Mas Joko agar tidak didatangi lagi makhluk – makhluk aneh. Bahkan menurut Mas Joko dia membeli semacam keris kecil yang maharnya sangat mahal. Demi kebaikan keluarganya waktu itu Mas Joko tidak memikirkan masalah uang, walaupun ia harus mencatut modal usahanya.
Sekedar info mahar itu menurut sepengetahuan saya adalah harga untuk membeli barang – barang mistis atau semacam benda pusaka. Jadi dalam istilahnya proses pemindah tanganan benda pusaka disebut ijab Kabul, karena pamali katanya kalau menggunakan istilah jual beli.

Tapi tak ada reaksi, Mba Tuti tetap saja diganggu. Bahkan kejadian terakhir menurut Mas Joko Mba Tuti hampir saja tewas disumur belakang rumahnya. Sekarang Mas Joko benar – benar kebingungan, uangnya telah menipis dia tak sanggup lagi mencari paranormal untuk membantunya.

“jadi saya sangat minta tolong sama bapak, saya mohon sekali pak.” Ucap Mas Joko.
Kakek tampak kebingungan. Dia ingin sekali membantu Mas Joko sepertinya, tapi takut terror kembali berbalik ke keluarga kami. Tidak ada alasan lagi sekarang untuk menolak Mas Joko secara halus, kakek masi diam entah apa yang dipikirkan.

“atau kalau bapak tidak mau membantu, tolong sebutkan saja siapa yang melakukan ini pada keluarga saya pak? Saya akan labrak orang tak tahu diri.” Ucap Mas Joko tampak geram.


“apa yang terjadi disumur belakang rumahmu jok. Yang kamu maksud hampir saja menewaskan istrimu itu?” entah sedang mengalihkan pembicaraan atau mencari bahan pertimbangan tiba – tiba kakek berkata seperti itu.



SANTET (Witchcraft) - Chapter 7



Dua hari berlalu, semenjak obrolan tengah malam dirumah Mas Joko. Kehidupan kembali normal, walaupun saya belum mengerti untuk standar yang dikatan normal itu seperti apa. Mba Tuti kembali pulih, Mas Joko sedikit demi sedikit kembali menjalankan usahanya yang satu bulan sempat terbengkalai. Untuk penjagaan agar tak ada yang kembali lagi menganggu Mba Tuti, kakek melakukan uopacara adat yang dinamakan “numbal imah”.

Numbal imah ini semacam kebudayaan lama yang masih ada dikampung saya, biasanya dilakukan ketika sebuah rumah bru berdiri atau keluarga yang akan pindah kerumah baru. Menurut kepercayaan penduduk dikampung saya, hal ini dilakukan sebagai tolak bala, agar rumah tersebut terhindar dari mara bahaya dan gangguan hal – hal yang tak kasat mata.

Numbal imah bukan sebuah upacara besar, dengan ritual yang aneh – aneh. Hanya menancapkan 4 bambu kuning dengan panjang sekitar 10cm di empat penjuru rumah. Setelah itu dilakukan syukuran dengan mengundang para tetangga untuk melakukan pengajian dengan diakhiri acara makan – makan. Jika dilihat dari sudut pandang sosialnya, mungkin sebenernya tradisi numbal imah ini hanya untuk mereratkan hubungan silaturahmi sesame warga.

Jangan terlalu berpikir negative, kami hanya menjalankan tradisi. Menghormati warisan filosofi hidup leluhur terdahulu kami. Karena upacara apapun yang dilakukan hanyalah sebuah acara, ketentuan kita serahkan dan kembalikan pada sang pencipta, yang bagi umat islam seperti kita yaitu Allah Subhanahuwata’ala. Saya kira semuanya akan baik – baik saja, namun ternyata manusia memang tak bisa lepas dari masalah. Hingga akhirnya terror yang dialami Mas Joko kini pindah ke keluarga saya. Yang pertama kali menyadari bahwa keluarga kami sedang diganggu adalah nenek.

Nenek bercerita kepada saya, sebelum akhirnya dia juga bercerita kepada kakek tentang hal – hal aneh yang dialaminya. Kejadian itu diawali ketika kami sedang bakar – bakar sate ayam. 4 ekor ayam broiler dikirim paman saya yang baru saja panen di peternakannya. Sekitar jam 10 malam keluarga saya masih belum tidur, masih asik memanggang tusukan sate dihalaman belakang, dapur lebih tepatnya.

Kebetulan rumah kakek saya memiliki dapur yang terpisah dari bagian rumah. Letaknya beberapa meter saja dari rumah. Dapur kami ini tiang – tiangnya terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bamboo atau orang – orang biasa menyebutnya “bilik”. Dengan atap genteng lama yang sudah berwarna coklat. Sebuah dapur yang cukup luas, selain ditempati koleksi perabot dapur milik nenek disana juga ada bangku berbentuk persegi empat, tempat dimana biasanya kami makan bersama – sama.

Kakek masih sibuk mengipas – ngipas arang agar daginya cepat matang, sementara nenek sibuk meracik bumbu kacang. Dan kedua keponakan perempuan saya tampak lahap menikmati setiap potongan daging empuk berwarna coklat dan kecap manis.

“kok bau amis ya pak?”. Ucap kakek saya ketika sedang mengolesi daging dengan jeruk nipis dan kecap manis.
“ah engga. Daging ayamkan baunya ga terlalu amis bu, ga kayak daging kambing.” Jawab kakek.
“bukan, bukan dari daging pak, dari luar kayaknya.” Sambil mengendus – ngendus nenek mencari arah bau berasal.

Karena mendengar ucapan nenek, kami semua ikut mengendus. Tapi jujur kami semua tak mencium bau apapun. Mungkin karena penasaran nenek keluar, mencari sumber bau berasal. Saat keluar nenek melihat sepasang mata hijau, terlihat dibawah pohon rambutan tampak sedang mengawasi. Awalnya dia tidak curiga dan menduga seekor kucing, karena mata kucing akan bercahaya ditempat gelap.

Mungkin karena nenek kasihan atau mungkin hanya ingin berbagi rejeki saja, ibu melambai – lambaikan satu tusuk sate sambil memanggil – manggil yang kira seekor kucing.
“puss…..pusss….pusss, sini pusss.”
Tapi tampaknya sesosok mata itu tak pernah bergeming dengan ajakan nenek saya, terus menatap tanpa berkedip sedikitpun. Kesal karena panggilannya tidak dihiraukan, nenek melemparkan satu tusuk sate kearah sepasang mata tersebut. Tapi masih tetap tidak bergerak sedikitpun, nenek merasa takut sebenernya, namun dia lebih memilih diam, kemudian masuk lagi kedapur melanjutkan aktifitasnya tanpa membicarakannya kepada kami.

Kejadian itu berulang, ketika nenek bangun jam 4 shubuh hendak pergi kedapur membersihkan sisa – sisa acara bakar – bakar semalem. Maklum dikampung saya biasanya para ibu bangun lebih pagi disbanding anak – anak dan suaminya. Tujuannya untuk menyiapkan sarapan dan bekal yang hendak dibawa suaminya pagi – pagi ke lading.

Tahrim belum berkumandang dimasjid, tapi sudah terbangun karena sudah terbiasa. Ketika hendak membuka pintu belakang rumah, sekelebat seperti ada orang yang berlari persis didepannya. Nenek saya merasa kaget dan sedikit ketakutan, melirik kekiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa yang dialaminya barusan bukan delusi atau imajinasi karena belum tersadar dari tidurnya.

Namun nihil, tak ada seorangpun yang nenek lihat. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa barusan nyata, bahkan dia bisa merasakan hembusan angin yang barusan lari dan getaran dari tanahnya juga terasa nyata. Ketika berjalan menuju dapur dan hendak membuka pintunya, nenek teringat kembali kejadian tadi malam saat melempar setusuk sate kea rah pohon rambutan. Maka dengan reflek dia kembali mengecek pemandangan pohon rambutan, dan apa yang dilihat?! Sepasang mata itu masih ada, berwarna hijau tampak bulat dan tak berkedip sedetikpun.

Setelah masuk kedalam dapur, nenek mengambil korek api. Dia mencoba menyalakan tungku kayu untuk memasak. Tapi perasaan itu tak bisa dibohongi, kaki nenek katanya bergetar. Bulu kuduknya merinding, bayangan sepasang mata hijau itu selalu teringat dikepalanya.

Sekedar info, entah benar atau bohong katanya kalau bulu kuduk kita merinding karena ketakutan, itu karena ada makhluk astral yang sedang berada didekat kita. Karena dalam tubuh kita mengandung listrik, dan makhluk astral atau makhluk tak kasat mata ini memiliki energy maka ketika tubuh kita didekati reflek energy listrik didalam tubuh ini akan bereaksi.

Nenek saya mencoba memberanikan diri dengan tetap beraktifitas dan menghirauikan bayangan – bayangan seram dikepalanya. Namun ketika bau amis itu tercium kembali hidungnya, nenek menyerah dan lari meninggalkan pekerjaanya didapur yang belum selesai.

Pagi hari nenek bercerita kepada kekek tentang apa yang terjadi semalam dan tadi subuh, namun ketika dicek dibwah pohon rambutan tak ada apa – apa.

“kalau sepasang mata hijau, jangan – jangan yang waktu itu dikebun tebu kek?” kata saya kepada kakek mengingatkan kejadian waktu kita dicegat anjing hitam.
“huss…mungkin itu Cuma kucing saja.” Jawab kakek tenang agar suasan tidak semakin panic.

Ketika kakek pergi kesawah, nenek terus bertanya kepada saya tentang apa yang dimaksud kejadian dikebun tebu dengan sepasang mata berwarna hijau. Tapi saya mengerti maksud kakek, jika saya menceritakan apa yang etrjadi peristiwa itu, nenek tak akan berani lagi bangun subuh untuk masak dan bisa kacau balau nantinya. Nenek saya itu orangnya gampang panic.

Untuk sekedar menengkan hati nenek, maka saya memasangkan lampu dibawah pohon rambutan yang jaraknya beberapa meter dari dapur kami. Lampu bulat berwarna kuning dengan daya 5 watt rasanya cukup untuk mengusir lagi kekhawatiran nenek. Maklum letak antara rumah kami dengan tetangga sedikit renggang, dipisahkan oleh kebun pisang yang gelap gulita kalau malam hari.

Namun rupanya terror belum berhenti sampai disitu. Menurut nenek menjelang malam hari ia merasa ingin buang air kecil, maka ia bergegas pergi meninggalkan tempat tidurnya. Mata masih dalam keadaan sepet, pikiran ngantuk antara sadar dan tidak sadar ketika ibu berdiri dikamar mandi dan melihat kearah jendela kaca kecil, diluar sana ia melihat seorang wanita berdiri persis menatap kearahnya dengan wajah penuh amarah.
Ketika melihat kejadian itu, nenek tersadar seketika. Rasa kantuk telah pergi, mata bersinar seperti bangun dipagi hari, beberapa kali dia mengucapkan istighfar, kemudian mencuci mukanya. Walaupun merasa takut, nenek kembali melihat kearah jendela kaca kecil kamar mandi untuk memastikan bahwa barusan bukan mimpi. Dan wanita itu masih tetap berdiri, mengenakan kebaya putih dengan balutan kain batik dibawahnya, berkerudung putih pula tapi rambutnya tergerai kedepan.

Nenek yang panic segera keluar setengah berlari, dia berteriak namun suaranya tidak keluar. Tubuhnya menggigil ketakutan setengah mati. Nenek saya segera menggoyang – goyangkan tubuh kakek saya yang sedang tertidur pulas. “kenapa bu?” Tanya kakek saya ketika terbangun.

Nenek saya tidak berbicara, wajahnya pucat dengan pipi dibanjiri air mata. Dia hanya menunjuk – nunjuk keluar, dengan tangan yang bergetar. Kakek yang mengira ada maling sontak bangun dan berlari keluar membuka pintu. Namun nihil tak ada siapapun diluar rumah, sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dari kebun pisang sebelah dan semilir angin malam yang membuat tubuh ketakutan.

“kenapa bu? Bu…nyebut..istighfar bu…” kakek mengguncang – ngguncangkan tubuh nenek karena dia menangis karena ketakutan.

Saya duduk disamping nenek mengusap – ngusap bahunya mencoba menenangkan. Keponakan saya yang masih berumur 10 tahun terbangun kemudian membuatkan nenek teh manis. Malam itu benar – benar menggemparkan, saya berkamsud menggundang tetangga agar suasana ramai dan nenek bisa sedikit tenang, tapi kakek melarangnya. Mengingat waktu sudah menunjukkan setengah dua malam.

Ketika keadaan sedikit kondusif, dan nenek saya tidak ketakutan lagi kakek mulai bertanya apa yang dialaminya.
“waktu kekamar mandi dari kaca jendela ibu lihat ada perempuan, matanya melotot seperti marah sama ibu. Dia sedang berdiri diluar sendirian.” Ucapa nenek yang kemudian menangis kembali mungkin karena baying – baying itu teringat lagi.
Akhirnya malam itu nenek dan kedua keponakan saya tidur diruang tengah, sementara saya dikursi sofa. Kakek mungkin yang tak bisa tidur, dia pergi keluar katanya mau berkeliling rumah untuk mengecek keadaan sekitar. Kakek juga sekalian ingin mencari tahu apa yang sebenernya sedang terjadi.


Tapi ketika saya hendak terlelap tidur, terdengar suara sedang berlari, mungkin itu kakek. Getarannya bahkan masih terasa, saya yang merasa penasaran kemudian membuka gorden kaca untuk mengecek. Dan saya melihat kakek berlari menuju kebun pisang yang gelap gulita, entah apa yang kakek kejar kearah sana. Ingin rasanya saya keluar, namun belum sempat saya beranjak dari kursi, tiba – tiba seorang perempuan berdiri dihalaman depan menatap kearah saya.


SANTET (Witchcraft) - Chapter 6



Malam semakin larut, saya dan keluarga Mas Joko semakin penasaran dengan kisah kakek waktu muda, ditemani segelas kopi dan singkong rebus sebagai cemilan, kakek melanjutkan kisahnya. Saya tahu maksud kakek menceritakan kisahnya waktu masih mudanya dulu, mngkin untuk member pelajaran kepada Mas Joko, atau mungkin hanya untuk menenangkannya agar Mas Joko tidak menaruh rasa dendam kepada pelaku santet istrinya. Kakek bukan tipe ditaktor, dia tidak pernah menggurui orang, termasuk saat member tahu saya tentang pelajaran hidup. Dia lebih suka menceritakan sebuah kisah dan membiarkan yang mendengar mencernanya sendiri. Karena menurut kakek sejarah hidup seseorang akan selalu terulang entah pada diri sendiri , lingkungan atau bagi anak cucunya dimasa mendatang, maka dari itu kenapa ada istilah “pengalaman adalah guru yang terbaik” begitu menurut kakek.

“lalu apa yang terjadi pada istri Mas Solihin selanjutnya pak?!” saya semakin penasaran.

Pak lurah memerintahan warga untuk melakukan pencarian. Sebagian warga yang tidak setuju dengan pak lurah mengajukan usulan kenapa tidak besok pagisaja mengingat ini sudah hampir larut lamam. Akhirnya warga terbelah dua, ada yang pulang karena besok harus bekerja diladang, ada yang peduli dan mau ikut untuk mencari Mba Eka. Pak lurah tidak bisa berkata apa – apa dia juga harus menghormati pendapat warganya, tapi setidaknya masih ada warga yang mau ikut mambantu Mas Solihin.

Kakek dan mbah buyut saya termasuk kedalam warga yang ingin ikut mencari Mba Eka. Kata kakek warga yang waktu itu ikut bersama pak lurah untuk menusul Mba Eka berjumlah sekitar 21 orang.

Setelah rapat, pak lurah memutuskan untuk melakukan pencarian disekitaran sungai. Warga yang sudah siap dengan peralatan dapurnya berkumpul dibalai desa. Konon katanya kalau ada orang hilang malam – malam hari, saat mencari warga biasanya sambil memukul – mukul alat dapur tersebut, bisa panic atau wajan. Bunyi itu dipercaya bisa untuk mengusir makhluk jejadian, biasanya sih praktek ini dilakukan untuk mencari anak yang hilang karena dibawa wewe gombel. Tapi karena kita tidak tahu apa yang terjadi pada Mba Eka maka tidak ada salahnya dengan mencoba cara yang sama.
Sebelum berangkat pak lurah memimpin doa. Kemudian pencarian dimulai, sebagian warga bertugas untuk memegang senter dan menjadi penunjuk jalan, sebagian lagi memukul – mukul alat dapur sambil memanggil – manggil nama Mba Eka.

“dimana terakhir kali istrimu terlihat solihin?” Tanya salah satu warga.
“disitu, diatas batu itu, sebelum akhirnya dia pergi meloncat – loncat menuju ke hulu.” Jawab Mas Solihin.

Keadaan sungai benar – benar gelap gulita. Salah satu warga yang berani, mencoba turun kesungai sambil membawa senter. Dia menyorotkan senter kearah hulu, namun nihil katanya tak melihat apapun selain gundukan batu. Salah satu warga ini berinisiatif untuk mencarinya dengan menulusuri sungai berjalan diatas batu menuju hulu, tapi pak lurah menghentikannya, terlalu bahaya, takut tergelincir dan terbawa arus. Bukannya menyelesaikan masalah keadaan malah tambah darurat saja katanya.

“jangan – jangan istrimu sudah hanyut.” Celetuk salah satu warga.
“huss, jangan begitu!!.” Bentak pak lurah.
“apa kta harus ke air terjun pak lurah?” saya ga mau kalau begitu.” Semua warga berhenti tiba – tiba dan mereka saling menatap satu sama lain ketingga mendengar ucapan rekannya.

Air terjun didesa kami cukup tinggi, airnya juga cukup deras, apalagi tadi sore habis hujan. Disekitar air terjun banyak phon beringin berdiri. Kabar angin yang berselentingan tentang betapa angkernya tempat itu telah menciutkan nyali beberapa warga mala mini, termasuk pak lurah mungkin karena dia tidak berkomentar sama sekali.

“mas Toha aja duluan, mask an sudah biasa ngurusin mayat jadi pasti berani.” Kata salah satu warga kepada mbah buyut saya.

Toha Cuma nama samara, namun mbah buyut saya yang sebenarnya saya rahasiakan. Waktu itu mbah buyut saya masih jadi muridnya dari syeh mayit yang lama dan belum diangkat. Mbah buyut masih muda jadi belum terlalu bijak dalam mengambil keputusan menurut kakek, hingga akhirnya dia menyerahkan semua keputusan kepada pak lurah saja.

Perdebatan berjalan a lot, hingga akhirnya warga terbelah kembali menjadi dua kelompok. Kelompok yang ingin pulang karena tidak berani menuju air terjun malam – malam, dan kelompok yang sebenernya tidak berani namun tak tega dengan Mas Solihin, termasuk pak lurah dan mbah buyut saya didalamnya. Sedangkan kakek saya pulang bersama warga lainnya.

“jadi kakek tak tahu apa yang terjadi malam itu di air terjun karena pulang?” saya semakin antusias dengan cerita kakek, sepertinya yan lain juga. Karena Mas Joko beserta istrinya tampak mendengarkan dengan serius.

Tidak begitu lama kacang rebus yang masih mengepulkan asap datang, disajikan mertua Mas Joko sebagai teman dalam mendengarkan cerita kakek. Setelah menyeruputkan kopi beberapa kali kakek melanjutkan ceritanya.

Menurut cerita mbah buyut kepada kakek, malam itu yang pergi ke air terjun berjumlah delapan orang. Ketika sampai di air terjun, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena suara teriakan teredam oleh gemuruhnya air terjun. Lampu senter yang dibawa disorotkan kekiri dan kekanan, sebagian lagi menyingkab semak – semak untuk mencari keberadaan Mba Eka.

Menurut mbah kakek, beberapa kali dia mendengar suara tangis wanita. Tapi dia merasa tak yakin, karena sekitarnya berisik oleh suara air, dan juga rekan – rekan yang lain tampak anteng seperti tidak mendengar apa – apa. Entah kebetulan aatau disengaja, ketika mbah buyut saya menyorotkan lampu senternya kearaha sungai sperti ada tangan yang melambai – lambai, mungkinkah itu Mba Eka yang tenggelam.

“astaghfirullah itu….disungai….itu…itu” teriak mbah buyut saya panic.
Sontak semua warga termasuk pak lurah menyorotkan lampu senternya kearah sungai yang ditunjuk – tunjuk oleh mbah buyut saya. Namun ternyata nihil tidak ada apapun disana.

“ada apa mas toha?”
“tadi saya melihat tangan muncul dari sungai dan melambai – lambai, mungkin itu si Eka.” Jawab mbah buyut saya.

Semua orang saling bertatapan dengan kebingungan. Bagaimana bisa orang melambaikan tangan disarus sungai yang begitu deras, seaindainya pun tenggelam pastu sudah terbawa arus. Tapi untuk memastikan semua senter mengarah kearah sungai mencari – cari dimana keberadaan tangan yang dimaksud mbah buyut saya. Hingga akhirnya mbah buyut saya mendengar suara tangisan itu ditenlinganya.

“pak lurah denger sesuatu ga?” Tanya mbah buyut saya.
“suara air maksud mas toha? Saya ga denger apapun selain gemuruh air.”

Dari situlah mbah buyut tersadar, mungkin kabar selentingan tentang angkernya air terjun dimalam hari benar adanya. Untuk menjaga situasi tetap kondusif, mbah buyut saya membisikkan apa yang dialaminya kepada pak lurah, tentang suara wanita yang menangis dan terus berdengung ditelinganya. Pak lurah yang mendengar bisikan, tiba – tiba wajahnya menjadi pucat, bahkan beberapa kali dia menelan ludah.

“semuanya pencarian kita hentikan dulu, mengingat sudah lama kita disini dan belum ada hasil, besok kita lanjutkan lagi pagi – pagi”. Teriak pak lurah kepada warganya yang masih sibuk menyorotkan senter kesegala arah.

Pencarian Mba Eka malam itu berakhir, begitu menurut kakek. Hingga akhirnya Mba Eka ditemukkan dua hari kemudian diatas pohon beringin persis disamping air terjun oleh anak kecil yang mau berenang disana, penemuan kembali Mba Eka itu sempat menggemparkan kampung.

Semenjak ditemukan hari itu keadaan Mba Eka tak pernah normal lagi, keadaannya persis seperti Mba Tuti menurut kakek. Bahkan lebih parah, saat sedang kumat Mba Eka lebih gila lagi, dia suka berkeliaran seperti orang kebingungan. Tempat favoritnya kalau menghilang menurut kakek kalau tidak disungai ya dihutan belakang kampung.
Mba Tuti masih beruntung bisa disembuhkan, berbeda dengan Mba Eka yang akhirnya menjadi gila, bahkan keluarganya yang cape karena terus menghilang memasungnya dibelakang rumah. Hingga akhir hayatnya Mba Eka tak pernah sembuh lagi.

“terus gimana dengan mas solihin pak?” Tanya saya karena penasaran.
“dia sempat masuk penjara, tapi belum ada kabar lagi tentangnya. Menurut kabar sih dulu setelah keluar dari penjara dia pergi keluar pulau jawa. Entah ke sumatera, Kalimantan atau entah kemana tak ada yang tahu.” Jawab kakek.
“lah kok bisa dipenjara?!” akhirnya Mba Tuti tertarik juga dan ikut bertanya.

Menurut kakek ketika Mba Eka sakit, mas solihin sibuk mencari paranormal untuk menyembuhkan istrinya. Hingga ia mendapatkan orang kepercayaan yang diyakini bisaa menyembuhkan istrinya, mungkin karena mas solihin masih muda dan egonya terlalu tinggi, selain meyembuhkan Mba Eka, ia malah menyuruh orang kepercayaannya untuk menyantet balik si pelaku.

Hampir satu minggu kampung geger oleh suara dentuman seperti ledakan ditengah malam menurut beberapa warga yang mendengar. Bahkan warga yang ikut meronda, tak sengaja melihat bola api terbang. Kabar itu sulit untuk diungkap karena hanya beberapa warga saja yang melihatnya. Tapi menurut mba buyutnya saya yang mempunyai sedikit ilmu kebatinan suara itu terjadi karena ada perang ilmu yang tak kasat mata.

Menurut kakek dia tidak tahu apa yang terjadi, apa mungkin si orang kepercayaan mas solihin ini kalah atau bagaimana. Yang pasti seminggu kemudian mas solihin ngamuk – ngamuk sambil membawa golok kerumah salah satu warga dikampung kakek, yang tak lain adalah seorang paranormal juga. Dia hendak membunuh pria ini, untung beberapa warga menghalangi. Walaupun begitu, paranormal muda yang tak lain adalah masih kerabat pak lurah ini tak bisa luput dari bacokan golok mas solihin. Tapi untungnya kerabat pak lurah ini berhasil diselamatkan.

Mas solihin yakin bahwa pria muda ini adalah pelaku penyantetan istrinya, namun karena ha – hal ghaib sulit untuk dibuktikan dipersidangkan, eh malah mas solihin yang masuk penjara dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Begitu mendengar akhir kisah kakek, kami semua diam. Untunglah hal mengerikan itu kini tinggal kenangan. Waktu menunjukkan jam 11 malam, tiba – tiba saya teringat ucapan kakek bahwa sejarah hidup akan selalu terulang entah menimpa siapapun diluar sana. Hingga saya menatap Mas Joko dengan penuh tanda Tanya…




Bersambung Chapter 7 

SANTET (Witchcraft) - Chapter 5



Mba Tuti kebingungan, dia mau teriak tapi takut karena dihutan itu ga ada siap – siapa. Mau jalan takut tersesat. Akhirnya dia memutuskan untuk diam diatas delman. Kini pikiran Mba Tuti tak lagi focus pada kabar kematian suaminya, ia sekarang malah bersedih karena ga bisa pulang. Selama menunggu itu menurut Mba Tuti beberapa kali mendengar suara rami orang lagi baca yasinan, tapi tak tahu arahnya dari mana yang pasti suaranya itu berdengung ditelinganya. Mungkin karena selama Mba Tuti sakit, Mas Joko beberapa kali mengadakan pengajian rutin dirumah.

Karena saya penasaran, maka bertanya berapa lama dan apa saja yang dilakaukan Mba Tuti waktu itu. Dia bercerita ketika sedang duduk diatas delman, dia didatangi seoarang perempuan. Dia tak bisa memastikan wajahnya, tapi wanita itu mengenakan kebaya dan kerudung tapi rambutnya tergerai kedepan. Samar – samar dia bisa melihat matanya yang bulat menatap tajam kearahnya.

“siapa dia Mba?” saya melanjutkan pertanyaan.

Mba Tuti menjawab bahwa wanita itu hanya muncul kadang – kadang, mula – mula hanya kepalanya saja yang terlhat sedang mengintip dibalik pohon. Kemudian sedikit demi sedikit dia mulai berani menampakan diri. Tapi dia tak pernah mau dekat, jaraknya sekitar beberapa meter dari tempat Mba Tuti duduk.

“kenapa Mba Tuti tidak bertanya atau menghampirinya?” saya masih belum puas dengan jawaban Mba Tuti.

“coba kamu bayangkan, saya duduk dihutan. Gelap gulita, sinar hanya berasala dari lampu kelenting delman itupun redup karena tertiup angin. Bahkan saya berusaha menjaga apinya agar tidak padam. Kemudian ada seseorang perempuan yang memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan yang menakutkan. Memangnya kam bakal berani menghampiri lalu bertanya siapa dia?!”.

Jawaban Mba Tuti membuat saya merinding. Berada ditengah kebun tebu saja waktu dicegat anjing hitam kemarin hampir membuat saya kencing dicelana, apalagi Mba Tuti sendirian dihutan.

Tempat Mba Tuti tersesat juga saya tanyakan apakah benar – benar hutan, dia menjawab tak yahu juga, yang pasti tempat dimana Mba Tuti berada banyak pohon – pohon besar berdiri dan dia berada ditengah jalan lebar yang membentang, tapi bukan jalan aspal. Dia memastikan itu jalanan tanah, seperti tanah liat, soalnya saat dia turun dari delman, kakinya kotor oleh lumpur.

Kata kakek untung Mba Tuti ga keliaran, soalnya kalau dia turun dan masuk kedalam hutan, pencarian kakek ga bakal secepat ini. Bahkan yang paling mengerikan mungkin Mba Tuti ga bakal ditemukan, dia akan tersesat selamanya.

Menurut kakek ini cara paling sadis dalam mencelakakan orang, soalnya kalau hanya sekedar kririm paku, muntah darah atau bahkan sakit kepala, medianya hanya menggunakan boneka dan itu cara paling kasar, masih bisa dilihat dengan kasat mata. Tapi kalau sudah sampai menarik sukma dan menggantinya dengan siluman, itu cara paling halus tapi mematikan.

“berapa lama Mba Tuti disan?” saya masih penasaran.

“saya tak tahu, tapi mungkin tidak sehari. Soalnya selama disana, hutan tetap gelap gulita. Hingga akhirnya saya melihat bapak, awalnya saya mengira bapak orang jahat yang hendak mencelakakan saya. Sampai akhirnya saya merasa yakin karena terdengar suara ibu samar – samar memanggil nama saya”.

Gila pikir saya, Mba Tuti sakit sudah hampir satu bulan, tapi dia disana tidak sampai satu malam. Saya ingin menannyakan perbedaan waktu itu kepada kakek, tapi rasanya waktunya tidak tepat jadi saya urungkan niat, kapan – kapan saja.

“oh ya pak mengenai wanita yang selalu memperhatikan saya itu siapa yah?” Tanya Mba Tuti kepada kakek, mungkin dia juga penasaran.

Tapi kakek menjawab sewaktu dia menjemput Mba Tuti, dia tidak melihat apapun. Itu bisa siapa saja, tapi kakek bilang tak penting lagi, yang penting sekarang Mba Tuti sudah sembuh. Kakek berpesan agar nati sebelum tidur berdoa dulu, bisa alfatihah atau bismillah juga tidak apa – apa. Setidaknya ada penjagaan, bila ada hal – hal aneh kita bisa tersadar.

Dua orang pria yang menjemput Mba Tuti itu suruhan kata kakek, mereka ditugaskan untuk menjemput sukma Mba Tuti. Mendengar keterangan kakek Mba Tuti baru sadar bahwa saat dia bangun dan membuka pintu itu ternyata hanya sukmanya saja, sedangkan jasadnya masih terbujur ditempat tidur, saat itulah siluman suruhan masuk menggantikannya.

“pak apa bapak bisa membalikan santet ini, agar dikembalikan yang mengirim, hanya sekedar untuk ngasih pelajaran saja?” kata Mas Joko.

Mendengar perkataan Mas Joko, kakek merasa kaget atau mungkin marah. Saya tahu ekspresi kakek kalau sedang menahan kesal atau marah saat sedang dirumah. Tapi kakek tidak menunjukan kemarahannya, dia lebih memilih diam dan menarik nafas dalam – dalam. Saya juga sedikit aneh mendengar kata – kata Mas Joko, kok kesannya Mas Joko seperti menyuruh kakek untuk menyantet orang.

“husss. Ga boleh gitu jok. Syukur Alhamdulillah istrimu sudah sembuh juga. Ga usah macam – macam dan nyari perkara lagi.” Jawab mertua Mas Joko.

“takutnya kalau ga dikasih pelajaran, orang yang mencelakakn saya ini ga kapok dan bakal berulah lagi.” Sepertinya Mas Joko ngotot sekali.

Untuk mencairkan suasan, kakek berscerita tentang kisah serupa seperti yang dialami hari ini. Kejadian  ini ketika dia masih remaja katanya. Waktu itu ada salah satu tetangga kakek mengalami hal serupa seperti Mba Tuti, bahkan lebih parah. Mari kita sebut saja namanya Mba Eka.

Mba Eka ini kondisinya sama seperti Mba Tuti kalau sedang kumat, tapi parahnya lagi Mba Eka suka berkeliaran dihutan, jadi dulu dibelakang kampung kami itu masih ada hutan liar sebelum akhirnya hutan tersebut dibuka pemerintah untuk dijadikan perkebunan tebu seperti sekarang.

Kakek masih ingat, sekitar tengah malam kalau ga salah, tiba – tiba terdengar suara kentongan darai balai desa. Orang – orang rebut dan berbondong – bondong keluar rumah untuk menghampiri sumber suara. Biasanya kentongan dibunyikan kalau dalam keadaan darurat saja, kalau ada maling atau terjadi bencana. Maklum dulu gunung selamet dan ciremai beberapa kali masuk dalam kondisi waspada, himbauan dari pemerintah.

“ada apa mas?” kakek saya keluar rumah dan menanyakan apa yang terjadi, takut kalau – kalau 2 gunung tersebut meletus.

“ga tahu, mungkin ada maling sapi lagi.” Jawab orang yang lewat kepada kakek.

Kakek yang masih remaja waktu itu bersama mbah buyut saya ikut keluar untuk pergi ke balai desa, walaupun buyut (istri mbah buyut) menyuruh kakek untuk diam saja dirumah karena khawatir terjadi apa – apa. Tapi kakek saya persis seperti saya sekarang mempunyai rasa penasaran yang amat tinggi, atau mungkin waktu itu usianya yang masih remaja jadi rasa ingin tahunya sangat besar terhadap sesuatu.

Kakek saya datang bersama beberapa warga lainnya, disana sudah ada pak lurah dan suami Mba Eka. Beberapa warga yang belum tahu duduk perkaranya mulai berargumen macem – macem mulai dari ada yang kemalingan, ada yang kemalingan sampe ada yang bilang teroris masuk kampung. Sampai akhirnya pak lurah menceritakan semuanya.
Rumah pak lurah berdampingan dengan balai desa, biasanya yang membunyikan kentongan adalah warga yang sedang ronda dengan seijin pak lurah. Tapi anehnya kok suara kentongan itu tiba – tiba sampai membangunkannya. Begitu pak lurah mengecek keluar rumahnya katanya dia melihat Mas Solihin suaminya Mba Eka sedang memukul kentongan sambil menangis.

Kentongan kandung dipukul dan warga sudah terlanjur panic, maka Mas Solihin yang masih terisak menjelaskan kepada kami semua kenapa dia bisa sampai memukul kentongan desa.

“saya sedang tidur terlelap, tiba – tiba saya dibangunkan istri. Katanya dia minta dianter buat buang air besar, setelah itu saya menganternya ke sungai.” Ucap Mas Solihin masih dalam keadaan terisak – isak.

Sekedar info pas jaman kakek saya dulu jarang warga yang mempunyai WC didalam rumah, hanya orang – orang tertentu saja yang punya. Segala aktifitas seperti mencuci, mandi, adan buang air besar semua dilakukan disungai, yang letaknya terpisah dari pemukiman. Sungainya cukup besar, ada batu – batu besar yang menjulang, tapi kalau musim hujan tiba batu – batu itu terendam karena air meluap. Dan juga dihulu ada air terjun yang cukup tinggi, sehingga dari hilir kita bisa mendengar suar gemuruh air terjun, kalau pada siang hari indah dan banyak anak – anak yang berenang disana, tapi kalau pada malam hari ga ada yang berani kecuali orang kebelet saja, begitu menurut kakek.

“saya suruh dia untuk jongkok dipinggir batu saja, karena saya khawatir air sungai sedang meluap karena tadi sore hujan. Tapi dia menolak, takutnya ada orang lewat katanya, saya kira sekarang masih jam 8. Maka saya mengijinkannya saja ketia dia mau maju ke batu yang berada ditenah sungai.” Kata Mas Solihin melanjutkan ceritanya.

Gila pikir sya, Mas Solihin tidak sadar bahwa ini hampir jam satu malam, para warga mulai berpendapat macam – macam tanpa mendengar penjelasan Mas Solihin sampai selesai, bahkan ada yang bertanya kepada Mas Solihin apa istrinya hanyut disungai.

“saya tak bisa memastikan waktunya, tapi saya rasa cukup lama, kok istri saya belum selesai – selesai. Saat saya menyorotkan lampu senter kearahnya dia memang masih terlihat jongkok diatas batu, saya panggil agar cepat – cepat, karena saya tidak kuat menahan kantuk. Tapi dia tetap tidak merespon.” Seperti tidak kuat Mas Solihin kembali menangis sejadi – jadinya.

“lah kok nangis, gimana istrimu solihin?!!!” warga yang tidak sabar mulai merasa kesal karena Mas Solihin malah nangis dan bukan menyelesaikan ceritanya.

Maka pak lurah turun tangan, karena sebelumnya Mas Solihin sudah menceritakan kejadian ini kepadanya. Menurut pak lurah Mba Eka tidak menengok saat dipanggil, Mas Solihin memeutuskan mengambil batu kecil, lalu dilemparkanlah batu itu ke tubuh Mba Eka, awalnya dia takut kalau Mba Eka ketiduran. Tapi tidak begitu lama Mba Eka menengok kearah Mas Solihin.

Namun ada yang aneh dengan istri Mas Solihin, saat menegok dia melihat muka seram bukan main, matanya melotot sempurna, wajahnya pucat pasi, rambutnya tergerai menutupi sebelah wajahnya denga senyum misterius. Mas Solohin langsung tersentak kaget dan juga takut tentunya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi menurut Mas Solihin istrinya itu tertawa ngikik.

Karena ketakutan Mas Solihin terpaku diam menyaksikan istrinya yang berubah, hingga akhirnya Mba Eka meloncat – loncat diatas batu dia pergi menuju hulu, kearah air terjun.






SANTET (Witchcraft) - Chapter 4



Sepulang dari rumah Mas Joko, saya tidur kebablasan, jam setengah satu siang baru bangun. Dan ketika hendak ke kamar mandi saya melihat kakek sedang membersihkan “perabot”. Istilah perabot ini adalah sebutan benda – benda pusaka peninggalan nenek moyang dikampung saya. Kebetulan kakek punya warisan sebuah keris dan pedang kecil mirip golok yang dikasih dari mbah buyut saya dulu, konon benda – benda pusaka itu harus dibawa saat upacara nyambut lelembut, katanya jaga – jaga kalau ada setan Bengal hendak menyerang.

Saya yang tidak ada kerjaan, kemudian hendak membantu kakek untuk membersihkannya. Tapi kakek membentak saya ketika saya mau memegang keris tsb. Katanya tidak sembarang orang bisa membersihkannya. Benda – benda pusaka ini hanya boleh dicuci saat bulan maulud saja dan satu lagi ketika hendak dipakai. Itupun saat dicuci dengan ritual atau mungkin bacaan tertentu, terlihat kakek membersihkannya tidak digosok dengan sikat atau dicelupkannya ke dalam air, tapi dibersihkan dengan jeruk nipis pelan – pelan.

Takutnya ada yang salah paham, memandikan benda pusaka bukan berarti menyembah atau mengagungkannya. Apa yang dilakukan kakek hanya sekedar menghormati, semoga tak ada orang yang menganggap bahwa perbuatan itu syirik atau menyekutukan Tuhan.

Setelah selesai membersihkan pusakanya, kemudian kakek menyiapkan perlatan lain untuk melakukan upacara nyambut lelembut, yaitu kain batik motif merak, menurut kepercayaan disini merak bisa digambarkan sebagai makhluk penuntun kita kea lam ghaib. Satu liter beras yang menyimbolkan hasil bumi, untuk membedakan dunia nyata dan ghaib, sebutir telur ayam kampung yang menyimbolkan kelahiran, awal kehidupan yang baru.

Rencana nyambut lelembut akan dilakukan setelah sholat isya, jadi nanti malam kakek akan kerumah Mas Joko lagi, saya yang awalnya tidak mau ikut karena terjadi hal – hal aneh lagi dijalan tapi tak tega melihat kakek pergi sendirian. Jadi saya memutuskan untuk ikut lagi, dan berharap kali ini semua normal – normal saja.

Setelah melaksanakan sholat maghrib, sekitar jam setengah tujuh, Mas Joko datang kerumah. Mungkin maksudnya untuk menjemput kakek, tapi kakek tidak mau berangkat sebelum adzan idza tiba, saya tidak tahu apa maksudnya. Akhirnya Mas Joko mengunggu sambil berbincang - bincang bersama ibu dan saya diruang tamu, sementara kakek masih sibuk menyiapkan barang – barang tadi siang yang hendak dibawa.

Setelah adzan berkumandang dan melakukan sholat isya, kakek menghampiri kami diruang tamu. Dia duduk sambil menyalakan sebatang rokok, sumpah baru kali ini saya melihat  kakek merokok. Karena setahu saya kakek bukan perokok. Dan yang bikin saya heran lagi rokok yang dihisap kakek adalah rokok lama merek sriwidari, sekedar info rokok merek sriwidari ini biasanya bagian dari persembahan ketika upacara adat.

Seakan mengerti dengan tatapan kakek, Mas Joko kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah benda yang dingkus plastic bening. Sebuah bungkusan kain putih yang berbentuk pocong kecil, ukurannya sebesar lilin.

“ini ditemukan di pojok rumah saya pak, dikubur dibawah batu, saya curiga karena seingat saya tak pernah menaruh batu dihalaman.” Kata Mas Joko kepada Kakek.

“buka Jok.” Kata kakek.

Kemudian Mas Joko membuka bungkusan pocong itu, didalamnya terdapat “Harupat”. Harupat itu bentuknya seperti lidi namun berwarna hitam. Harupat adalah bagian dari batang phon aren. Juga sebundel rambut kusut, dan sebotol cairan merah yang saya tak tahu apa namanya tapi yang pasti itu bukan darah, warna merahnya bening, tampak seperti minyak angin Cuma tidak berbau saja.

“orang ini niat banget pengen celakain kamu, hanya orang yang benar – benar sakit hati yang melakukan ini Jok.” Ucap kakek, kemudian ia menhisap rokoknya dalam – dalam tampak sangat menikmati sekali.

“saya udah inget – inget, tapi perasaan saya tidak pernah berurusan serius sama orang pak.” Entah benar atau bohong yang diucapkan Mas Joko, walaupun secara logika tidak mungkin orang menyerang tanpa sebab kecuali orang gila, dan orang gila tidak mungkin isengnya sampai seniat ini pikir saya.

“ya udah ga usah diinget – inget, nanti tambah mumet. Yang terpenting sekarang istrimu bisa pulih lagi.” Jawab kakek santai.

Kakek mematikan rokoknya yang tinggal setengah, lalu ia mengambil bungkusan pocong yang sejak tadi tergeletak dimeja. Mulutnya komat – kamit seperti biasa melafalkan doa, kemudian ditiupkan pada bungkusan pocong ditangannya. Setelah selesai kakek meletakannya kembali diatas meja sembari menyuruh ibu untuk mengambil sebuah rantang.

“bakar Jok!” perintah kakek.

“setelah rantang dibawa sam ibu, dibakarlah pocongan itu oleh Mas Joko yang kemudian abunya dimasukkan kedalam rantang. Tidak memerlukan minyak tanah karena benda – benda itu mudah sekali terbakar, khususnya rambut dan harupat.

“ini rantangnya kamu bawa, abunya kamu bungkus dengan kain. Dan besok pagi – pagi kamu hanyutkan ke kali.” Perintah kakek kepada Mas Joko.

Setelah selesai membakar pocongan, kami bersiap – siap untuk berangkat. Seperti biasa ibu pamitan mau menginap lagi dirumah tetangga dengan kedua keponakan saya. Mas Joko membawa peralatan dalam ransel dengan motornya, sedangkan kakek dan saya mengikuti dari belakang. Kali ini saya sedikit tenang karena kita berangkat jam setengah delapan malam, dimana jalanan mungkin masih ada orang yang lalu lalang. Khususnya tukang ojeg yang pulang kemaleman dari pangkalan pasar.

Setelah sampai, ternyata dirumah Mas Joko udah ada beberapa orang tetangganya yang sedang menjenguk. Tapi begitu kami datang mereka berpamitan pulang, seperti mengerti mereka tak mau mengganggu privasi. Sementara Mba Tuti tampak tenang diranjang, walaupun masih setengah sadar. Menurut Mas Joko semenjak dari kemaren Mba Tuti belum kumat lagi, dia udah mulai tidur tidak seperti sebelum – sebelumnya.

“sekarang aja pak dimulai.” Pinta Mas Joko kepada kakek.

Kakek langsung bergerak membuka isi ranselnya, menyiapkan beras yang kemudian dituangkan kedalam mangkok. Sebutir telur ditaruh diatas beras, sedangkan keris ditaruh berdampingan, kakek menyuruh Mas Joko agar Mba Tuti dibopong keruang tengah.
Digelarlah tiker, Mba Tuti tidur terlentang diatasnya tanpa bantal, stetelah kakek menyiprat – nyipratkan keseluruh tubuh Mba Tuti, kemudian tubuhnya ditutupi kain batik bermotif merak yang sudah kakek bawa dari rumah. Kini Mba Tuti terlentang seperti mayat ditutupi kain, tapi anehnya kali ini dia tidak melawan, malah pasrah saja seperti orang kebingungan. Kakek menyuruh kami yang berada disitu untuk membaca ayat kursi berulang – ulang. Katanya untuk menjaga tubuhnya agar tak dimasukin setan sembarangan, selama kakek pergi untuk menyusul Mba Tuti kealam ghaib.

Kakek bersila sambil memejamkan mata, mulutnya komat – kamit seperti biasa melafalkan doa. Sedangkan saya, Mas Joko beserta mertua dan adik iparnya membaca ayat kursi tak henti – henti. Mungkin sekitar setengah jamaan tidak ada perubahan berarti kami masih tetap  seperti ini, hingga akhirnya tubuh Mba Tuti yang tertutup kain batik itu menggelepar – gelepar seperti ikan didaratan.

Bulu kuduk saya merinding ketika menyaksikan kejadian tersebut, kami yang berada dibelakang kakek saling menatap kebingungan. Mas Joko hendak menghampiri istrinya yang masih menggelepar, tapi saya tahan. Saya mengingatkan mungkin sebaiknya kita tidak melakukan apa – apa dulu sebelum mendengar perintah selanjutnya dari kakek. Maka kamipun melanjutkan membaca ayat kursi seperti yang diperintahkan tadi.
Tidak begitu lama sekitar dua pulu menitan, tiba – tiba Mba Tuti bangun, dia menarik nafas panjang seperti seseorang yang baru saja tenggelam dari dalam air. Sontak kami semua loncat karena kaget, terutama mertua Mas Joko yang sudah tua mengucapkan istighfar sambil mengelus dadanya.

“mas?” begitu sadar Mba Tuti langsung memanggil suaminya. Kemudian ia bangun dan memeluk ibunya yang masih merasa kaget. Kedua wanita itu berpelukan sambil menangis.

Setelah semuanya kondusif, dan Mba Tuti tersadar, kami duduk diruang tamu, Mas Joko yang mungkin penasaran bertanya kepada istrinya apa yang terjadi selama dia sakit. Maka Mba Tuti mulai menceritakan pengalaman horornya kepada kami.
Menurut Mba Tuti kejadian itu berasal disatu hari sebelum ia sakit, waktu itu jam 11 malam ia masih ingat karena saat menonton TV dan merasa ngantuk, maka setelah melihat jam ia memutuskan untuk tidur. Mba Tuti sendirian dirumah karena Mas Joko sedang mengantar bawang pesenan ke daerah Tegal waktu itu.
Ketika Mba Tuti baru beberapa menit menutup mata, terdengar suara ketukan pintu. 

Kemudian ia bangun dan membuka pintu, terlihat dua orang pria berdiri didepannya. Yang satu menggunakan kaos oblong, dan yang satu lagi menggunaka jaket kulit. Dengan nada terburu – buru pria yang berjaket memberitahu bahwa Mas Joko kecelakan, dan dipastikan tewas. Jasadnya sekarang berada dirumah sakit.
Mba Tuti yang mendengar kabar tersebut, merasa kaget. Ingatannya mungkin berada pada titik sadar dan tidak sadar. Lututnya merasa lemas dan ingin pingsan, bahkan ia menangis berteriak – teriak, kedua pria itu mencoba menenangkan Mba Tuti. Menurut Mba Tuti kalau dipikir sekarang tidak masuk akal katanya, waktu itu ia menangis cukup kencang sambil berteriak – teriak memanggil Mas Joko tapi anehnya tak ada satu tetanggapun yang datang.

Setelah Mba Tuti merasa tenang, kedua pria itu menyuruhnya untuk bersiap – siap pergi kerumah sakit. Mba Tuti mengikuti saja semua perintahnya mungkin karena dia sudah merasa syok duluan mendengar suaminya meninggal. Dan ketika kakek bertanya bagaimana dia pergi kerumah sakit bersama kedua pria tua itu, Mba Tuti mencoba berpikir dan mengingat – ingat.

“naik delman pak. Astaghfirullah saya baru inget.”jawab Mba Tuti yang kemudian mukanya berubah menjadi ketakutan.

Kalau dipikir – pikir secara logika tak mungkin pergi kerumah sakit menggunakan delman. Mungkin tak sadar karena selama perjalanan Mba Tuti menangis, hingga akhirnya ia berhenti ditengah jalan. Kedua pria itu ijin untuk pergi buang air kecil.
Tapi cukup lama pergi, kedua pria itu belum juga datang. Mba Tuti yang dari tadi merasa sedih hingga menghiraukan sekitar, kini ia mulai tersadar. Ia mulai merasa takut, bahkan ketika menengok kekanan dan kekiri ia merasa awam, jalanannya bukan jalanan seperti yang biasa lewati. Dan baru tersadar bahwa ia ditenah hutan.

Bayangkan ditengah hutan sendirian, duduk diatas delman hanya ditemani lampu kelenting yang tergantung didepan. Bahkan kuda yang tadi mengangkut delmannya juga mendadak hilang. Mab Tuti tak bisa berbuat apa – apa ketika dia ditinggalkan kecuali menangis sendirian. Mba Tuti mencoba turun sambil memanggil – manggil kedua pria tadi, tapi nihil tidak ada jawaban.