Saya
dan kakek berangkat jam 9 malam. Molor 1 jam semenjak Mas Joko menelpon karena
menggu kakek dikamar entah sedang ritual apa, mungkin sedang melafalkan doa –
doa.
Dikampung
saya jam 9 malam itu udah setara dengan jam 12 malam, karena seisi kampung
sudah pada tidur. Tidak ada tempat hiburan, tidak ada pedagang dan tidak ada
hingar bingar lampu jalan seperti di Brebes ataupun dikota – kota. Setelah
ba’da isya biasanya sudah jarang orang yang keluar rumah, kalaupun ada hanya
bila ada keperluan saja itupun beberapa orang. Para pemuda – pemudi pun hanya
keluar atau main malam pas ada hajatan saja, seperti dangdut, wayang golek atau
layar tancep. Mereka lebih memilih diam dirumah dan nonton TV. Kecuali bapak –
bapak yang kebagian ronda, sekalipun sekarang ronda sudah jarang aktif lagi,
paling banter siskamling diaktifkan lagi kalau sedang musim pencurian saja.
Saya
mengeluarkan motor bebek, motor lama kesayangan kakek yang hobinya ngadat kalau
kehujanan. Honda astrea legenda peninggalan kakek pas jaman muda yang masih
tersisa. Nenek meminta ijin kepada kakek untuk ikut tidur dirumah tetangga Mba
Lastri seoarang janda, entah kenapa suasana rumah menjadi mencekam setelah mendapat
telpon dari Mas Joko. Nenek saya memang seorang penakut.
Sekedar
info, jarak antara kampung saya dengan kampungnya Mas Joko itu sekitar 8
kilometer, kampung kami dipisahkan oleh persawahan. Melewati jalan besar yang
jelek maklum jalan – jalan diperkampungan jarang diperhatikan mengingat mungkin
pemerintah menganggap bukan jalan utama yang terlalu ramai.
Sayang
persawahan untuk bagian dalam atau dipelosok tidak seindah persawahan dipinggir
jalan raya. Seperti persawahan di Bali yang pemandangannya begitu indah karena
savana hijau. Perkebunan bagaian dalamnya, khususnya yang menghubungkan
kampung kami ini ditanami pohon mahoni, beringin, dan berbagai jenis pohon
lainnya. Memang teduh kalau pada siang hari, tapi kalau pada malam hari terasa
horror melihat pohon – pohon besar berdiri.
Saya
menyalakan motor dan membonceng kakek, dengan bismillah kami berdua berangkat
menuju rumah Mas Joko. Walaupun kami masih melewati jalanan kampung tapi
suasana sepi begitu menyelimuti, maklum didesa saya jarak antar rumah kerumah
lumayan renggang tidak seperti dikota yang padat dan saling menempel anatara
tetangga. Tidak ada seorangpun yang kami temui dijalan, mungkin karena sudah
larut dan orang – orang sudah terlelap dalm mimpinya.
“kakek
memang sudah tahu rumahnya Mas Joko?” aku membuka obrolan untuk mengusir
dinginnya malam, entah kenapa mala mini angin begitu kencang sehingga rasa
dingin seperti menusuk tulang.
“nanti
dia menunggu dipinggir jalan katang”.
Setelah
melewati jalan perkampungan, kemudian kami akan melewati perkebunan warga, yang
didominasi oleh kebun tebu. Tebu memang menjadi komoditi disini selain bawang,
cabai dll, kalian memang sudah tahu bahwa kabupaten Brebes memang penghasil
bawang.
Disetiap
kebun tebu warga selalu menanam pohon bambu, karena pohon bambu sangat
berguna disini selain bisa dibuat untuk pagar, tiang, anyaman. Bambu mudanya
(rebung) juga bisa dimakan. Bayangkan pemandangan pohon – pohon bambu yang
menjulang tinggi dimalam hari. Belum lagi ketika tertiup angin, pohon bambu ini akan bergoyang dan menghasilkan bunyi karena saling bergesekan. Tidak
ketinggalan bunyi dari daunnya yang melambai – lambai seperti tangan
dikegelapan. Belum lagi mitos didesa kami bahwa pohon bambu biasanya menjadi
sarang atau tempat makhluk halus bersemayam.
Saya
membawa motor dengan pelan, untuk menghindari jalanan yang berlubang. Tidak ada
lampu jalanan yang menerangi kami, hanya sebatas lampu depan motor yang menjadi
petunjuk didepan. Keadaan benar – benar gelap, karena langit tampaknya mendung
mau hujan karena tidak terlihat satu bintangpun.
Konsentrasi
saya terpecah antara membawa motor dan perasaan takut yang tiba – tiba saja
menyelimuti. Belum lagi dinginnya angin malam yang membuat wajah saya terasa
kaku. Ketika sedang merasa takut pasti pernah merasakan bahwa kita selalu
merasa sedang diikuti, perasaan untuk menengok kebelakang atau kesamping selalu
saja menggoda kita. Pandangan didepan pun tak kalah horror karena gelap gulita,
perasaan was – was kalau tiba – tiba saja lampu motor menyorot sesuatu yang mengerikan
selalu menghantui.
Ngomong
– ngomong soal menengok kebelakang. Mitos dikampung sata atau didaerah lain
juga sama ? kono katanya kalau kita sedang jalan sendirian ditempat sepi,
ketika takut dan merasa diikuti selalu saja tiba – tiba kita ingin menegok
kebelakang. Jangan pernah menegok kebelakang sama dengan lamabaian tangan untuk
si hantu. Dia akan merasa diajak atau dipanggil sehingga akan mengikuti kita.
Setelah
melewati jalan yang diapit kebun tebu, masuklah kita kejalan utama. Maksudnya
jalan yang cukup besar dan kalau di siang hari menjadi tempat lalu lalang
kendaraan warga. Tapi sayangnya ini malam hari jadi keadaan sepi.
Kebun
tebu yang pada siang hari terlihat adem dengan pohonnya yang rindang, dimalam
hari begitu menyeramkan, terdengar suara gemuruh ketika daun dan dahan saling
bergesekan karena angin. Lengkap dengan suara jangkrik. Ingin rasanya saya
menarik pedal gas hingga kecepatan maksimal, tapi saying kondisi jalan yang
jelek tidak memungkinkan.
“baca
ayat kursi teng.” Bisik kakek saya tiba – tiba.
Mendengar
perintah kakek saya merasa panic, maksud hati ingin bertanya alasannya tapi
saya lebih memilih diam saja. Saya hanya menebak mungkin karena kita melewati
sebuah tanjakan. Dikampung saya ini ada sebuah tanjakan, hanya terkenal disekitaran kampung saja, katanya
dulu kata kakek saat saya masih kecil, tepat dipinggir tanjakan ada sebuah
pohon mahoni besar tempat dimana dulu ada orang gantung diri. Tanjakan ini juga
biasanya menjadi tempat para begal bersembunyi untuk merampok korbannya.
Beberapa kali pernah terjadi kasus begal dan TKPnya selalu disini. Mungkin si
perampok ingin memanfaatkan keadaan panic dari pengendara.
Setelah
melewati tanjakan itu, disamping kami ada suara krasak – krusuk. Saya mengira
itu hanya suara musang yang lewat atau mencari makan. Tapi suara itu seperti
mengikuti kami, saya yang gemetar dan ingin menegok kesamping ditepuk oleh
kakek dan menyuruh untuk melanjutkan dan jangan berhenti. Saat sedang menyetir
dengan perasaan deg – degan samar – samar didepan terlihat sepasang mata.
Bersinar tampak kontras ditengah kegelapan. Seketika saya menginjak rem, kakek
merasa kaget karena saya berhenti tiba – tiba.
“kenapa
teng?”
“itu
didepan apa?” jawab saya pelan sambil menunjuk kedepan.
“astaghfirulloh,
kita dihalangi agar jangan datang kerumah si Joko!”. Jawab kakek pelan.
Tidak
terlihat jelas, hanya samar – samar terlihat mata itu ditengah jalan. Tapi mata
itu posisinya berada dibawah, seperti sedang berjongkok. Saya mengira itu
musang tadi yang mengikuti kami. Saya tidak mengerti ucapan kakek yang katanya
kita dihalangi.
“gimana
kek?”
Kakek
lalu turun dari motor, waktu itu saya kepikiran jangan – jangan begal. Lalu
kakek teriak – teriak manggil “sopo ning kono ?(siapa disana?). saya
menyarankan untuk putar balik buat pulang tapi kakek membentak saya.
Karena
teriakan kakek tak kunjung ada jawaban, dan kedua sinar mata itu juga ga pergi.
Maka kakek memtuskan untuk mengambil batu segede kepala tangan, dilemparlah
batu itu kedepan. Mata itu tak juga pergi, malah anteng aja didepan seperti
menatap kami. Karena mungkin kakek merasa kesal kakek menyuruh saya untuk jalan
pelan – pelan. Awalnya saya menolak karena ketakutan, tapi kakek memutuskan
untuk jalan duluan diikuti saya dari belakang. Lampu motor disenter jarak jauh
buat mastiin apa yang ada didepan itu. Saya dan kakek jalan dengan pelan.
Begitu
lampu motor perlahan menyorot cahaya mata itu, kaget bukan kepalang sampe saya
tak sengaja menekan klakson. Seekor anjing hitam berdiri persis ditengah jalan.
Tubuhnya seukuran anjing normal, tapi bulunya hitam legam, matanya berwarna
hijau dengan lidah terjulur keluar anjing itu menatap kami berdua. Seketika
bulu kuduk saya merinding, tentu saja ini bukan anjing biasa. Walaupun
dikampung saya ada yang punya anjing dengan warna hitam, jadi bisa dipastikan
ini bukan anjing milik warga. Kakek sambil bilang huss… huss… tapi anjing itu
tak terusik sedikitpun.
Mungkin
karena kakek kesal karena si anjing tak mau juga pergi, maka kakek menyuruh
saya untuk jalan saja, lagian anjing itu berdiri ditengah jalan, mungkin kita bisa jalan dipinggir saja mengingat ini
jalanan lebar. Tapi saya tak berani menolak permintaan kakek. Entah kenapa
walaupun itu seekor anjing dan saya sering melihat anjing tapi perasaan takut
tak bisa dibohongi mungkin karena melihat kelakuan anjing yang seperti itu pada
malam hari terasa tidak wajar. Maka kakek memutuskan untuk memboncengi saya
dibelakang.
Baru
saja kita berjalan sebentar anjing itu berdiri sigap. Matanya yang tadi polos
bulat kini menyipit menatap kami, menunjukkan gigi runcingnya seperti hendak
menerkam. Karena kaget kakek menginjak rem, waktu itu saya benar – benar
ketakutan setengah mati sampai tanpa disadari memeluk pinggang kakek kuat –
kuat.
Si
anjing menggonggong – gonggong keras kearah kami. Bayangkan suara gonggongan
anjing malam – malam ditengah kebun tebu yang gelap gulita. Suara itu membahan
dan menimbulkan gema, saya komat – kamit membaca ayat kursi, entah bacaan saya
benar atau salah saya tak ingat lagi karena saking paniknya. Tapi kakek malah
menatap anjing itu seolah sedang menantangnya, tapi kayaknya kakek deg – degan
juga, soalnya waktu saya ketakutan dan memeluk pinggang kakek terasa jantungnya
berdetak dengan kencang didada.
Anjing
itu tampaknya menyuruh kami untuk pulang, seakan – akan menghalangi kami untuk
datang kerumah Mas Joko, saya tak berani melihat kearah anjing itu, tapi
sesekali mengintip dari pundak kakek, anjing itu tampak geram seperti ingin
menyerang kami. Saya terus melafalkan ayat kursi kali ini denga suara keras karena
saking takutnya.
Kakek
dan anjing itu saling bertatapan cukup lama seperti sedang melakukan
perbincangan secara batin, saya hanya menduga saja tak bisa memastikan. Hingga
kemudian suara handhphone kakek bordering kembali, tapi kakek sepertinya tidak
terusik sama sekali terus bertatapan dengan anjing. Karena saya merasa gelisah
dan takut mendengar suar handphone dalam kesunyian, saya memberanikan diri
mengambil handphone kakek dari saku jaketnya. Ternyata Mas Joko menelpon,
kemudian saya mengangkatnya.
“assalamu’alaikum,
nuwun sewu pak, masih dimana yah?”
Saya
hendak menceritakan apa yang kami alami disini, siapa tahu Mas Joko bisa
membantu untuk menjemput kami. Tapi saya malah menjawab
“lagi
dijalan Mas sebentar lagi.” Kemudian saya menutup telponnya saking takutnya.
Posting Komentar