SANTET (Witchcraft) - Chapter 2


Saya dan kakek berangkat jam 9 malam. Molor 1 jam semenjak Mas Joko menelpon karena menggu kakek dikamar entah sedang ritual apa, mungkin sedang melafalkan doa – doa.

Dikampung saya jam 9 malam itu udah setara dengan jam 12 malam, karena seisi kampung sudah pada tidur. Tidak ada tempat hiburan, tidak ada pedagang dan tidak ada hingar bingar lampu jalan seperti di Brebes ataupun dikota – kota. Setelah ba’da isya biasanya sudah jarang orang yang keluar rumah, kalaupun ada hanya bila ada keperluan saja itupun beberapa orang. Para pemuda – pemudi pun hanya keluar atau main malam pas ada hajatan saja, seperti dangdut, wayang golek atau layar tancep. Mereka lebih memilih diam dirumah dan nonton TV. Kecuali bapak – bapak yang kebagian ronda, sekalipun sekarang ronda sudah jarang aktif lagi, paling banter siskamling diaktifkan lagi kalau sedang musim pencurian saja.

Saya mengeluarkan motor bebek, motor lama kesayangan kakek yang hobinya ngadat kalau kehujanan. Honda astrea legenda peninggalan kakek pas jaman muda yang masih tersisa. Nenek meminta ijin kepada kakek untuk ikut tidur dirumah tetangga Mba Lastri seoarang janda, entah kenapa suasana rumah menjadi mencekam setelah mendapat telpon dari Mas Joko. Nenek saya memang seorang penakut.

Sekedar info, jarak antara kampung saya dengan kampungnya Mas Joko itu sekitar 8 kilometer, kampung kami dipisahkan oleh persawahan. Melewati jalan besar yang jelek maklum jalan – jalan diperkampungan jarang diperhatikan mengingat mungkin pemerintah menganggap bukan jalan utama yang terlalu ramai.

Sayang persawahan untuk bagian dalam atau dipelosok tidak seindah persawahan dipinggir jalan raya. Seperti persawahan di Bali yang pemandangannya begitu indah karena savana hijau. Perkebunan bagaian dalamnya, khususnya yang menghubungkan kampung kami ini ditanami pohon mahoni, beringin, dan berbagai jenis pohon lainnya. Memang teduh kalau pada siang hari, tapi kalau pada malam hari terasa horror melihat pohon – pohon besar berdiri.

Saya menyalakan motor dan membonceng kakek, dengan bismillah kami berdua berangkat menuju rumah Mas Joko. Walaupun kami masih melewati jalanan kampung tapi suasana sepi begitu menyelimuti, maklum didesa saya jarak antar rumah kerumah lumayan renggang tidak seperti dikota yang padat dan saling menempel anatara tetangga. Tidak ada seorangpun yang kami temui dijalan, mungkin karena sudah larut dan orang – orang sudah terlelap dalm mimpinya.

“kakek memang sudah tahu rumahnya Mas Joko?” aku membuka obrolan untuk mengusir dinginnya malam, entah kenapa mala mini angin begitu kencang sehingga rasa dingin seperti menusuk tulang.

“nanti dia menunggu dipinggir jalan katang”.
Setelah melewati jalan perkampungan, kemudian kami akan melewati perkebunan warga, yang didominasi oleh kebun tebu. Tebu memang menjadi komoditi disini selain bawang, cabai dll, kalian memang sudah tahu bahwa kabupaten Brebes memang penghasil bawang.

Disetiap kebun tebu warga selalu menanam pohon bambu, karena pohon bambu sangat berguna disini selain bisa dibuat untuk pagar, tiang, anyaman. Bambu mudanya (rebung) juga bisa dimakan. Bayangkan pemandangan pohon – pohon bambu yang menjulang tinggi dimalam hari. Belum lagi ketika tertiup angin, pohon bambu ini akan bergoyang dan menghasilkan bunyi karena saling bergesekan. Tidak ketinggalan bunyi dari daunnya yang melambai – lambai seperti tangan dikegelapan. Belum lagi mitos didesa kami bahwa pohon bambu biasanya menjadi sarang atau tempat makhluk halus bersemayam.

Saya membawa motor dengan pelan, untuk menghindari jalanan yang berlubang. Tidak ada lampu jalanan yang menerangi kami, hanya sebatas lampu depan motor yang menjadi petunjuk didepan. Keadaan benar – benar gelap, karena langit tampaknya mendung mau hujan karena tidak terlihat satu bintangpun.

Konsentrasi saya terpecah antara membawa motor dan perasaan takut yang tiba – tiba saja menyelimuti. Belum lagi dinginnya angin malam yang membuat wajah saya terasa kaku. Ketika sedang merasa takut pasti pernah merasakan bahwa kita selalu merasa sedang diikuti, perasaan untuk menengok kebelakang atau kesamping selalu saja menggoda kita. Pandangan didepan pun tak kalah horror karena gelap gulita, perasaan was – was kalau tiba – tiba saja lampu motor menyorot sesuatu yang mengerikan selalu menghantui.

Ngomong – ngomong soal menengok kebelakang. Mitos dikampung sata atau didaerah lain juga sama ? kono katanya kalau kita sedang jalan sendirian ditempat sepi, ketika takut dan merasa diikuti selalu saja tiba – tiba kita ingin menegok kebelakang. Jangan pernah menegok kebelakang sama dengan lamabaian tangan untuk si hantu. Dia akan merasa diajak atau dipanggil sehingga akan mengikuti kita.

Setelah melewati jalan yang diapit kebun tebu, masuklah kita kejalan utama. Maksudnya jalan yang cukup besar dan kalau di siang hari menjadi tempat lalu lalang kendaraan warga. Tapi sayangnya ini malam hari jadi keadaan sepi.

Kebun tebu yang pada siang hari terlihat adem dengan pohonnya yang rindang, dimalam hari begitu menyeramkan, terdengar suara gemuruh ketika daun dan dahan saling bergesekan karena angin. Lengkap dengan suara jangkrik. Ingin rasanya saya menarik pedal gas hingga kecepatan maksimal, tapi saying kondisi jalan yang jelek tidak memungkinkan.

“baca ayat kursi teng.” Bisik kakek saya tiba – tiba.

Mendengar perintah kakek saya merasa panic, maksud hati ingin bertanya alasannya tapi saya lebih memilih diam saja. Saya hanya menebak mungkin karena kita melewati sebuah tanjakan. Dikampung saya ini ada sebuah tanjakan, hanya  terkenal disekitaran kampung saja, katanya dulu kata kakek saat saya masih kecil, tepat dipinggir tanjakan ada sebuah pohon mahoni besar tempat dimana dulu ada orang gantung diri. Tanjakan ini juga biasanya menjadi tempat para begal bersembunyi untuk merampok korbannya. Beberapa kali pernah terjadi kasus begal dan TKPnya selalu disini. Mungkin si perampok ingin memanfaatkan keadaan panic dari pengendara.

Setelah melewati tanjakan itu, disamping kami ada suara krasak – krusuk. Saya mengira itu hanya suara musang yang lewat atau mencari makan. Tapi suara itu seperti mengikuti kami, saya yang gemetar dan ingin menegok kesamping ditepuk oleh kakek dan menyuruh untuk melanjutkan dan jangan berhenti. Saat sedang menyetir dengan perasaan deg – degan samar – samar didepan terlihat sepasang mata. Bersinar tampak kontras ditengah kegelapan. Seketika saya menginjak rem, kakek merasa kaget karena saya berhenti tiba – tiba.

“kenapa teng?”
“itu didepan apa?” jawab saya pelan sambil menunjuk kedepan.
“astaghfirulloh, kita dihalangi agar jangan datang kerumah si Joko!”. Jawab kakek pelan.

Tidak terlihat jelas, hanya samar – samar terlihat mata itu ditengah jalan. Tapi mata itu posisinya berada dibawah, seperti sedang berjongkok. Saya mengira itu musang tadi yang mengikuti kami. Saya tidak mengerti ucapan kakek yang katanya kita dihalangi.

“gimana kek?”

Kakek lalu turun dari motor, waktu itu saya kepikiran jangan – jangan begal. Lalu kakek teriak – teriak manggil “sopo ning kono ?(siapa disana?). saya menyarankan untuk putar balik buat pulang tapi kakek membentak saya.

Karena teriakan kakek tak kunjung ada jawaban, dan kedua sinar mata itu juga ga pergi. Maka kakek memtuskan untuk mengambil batu segede kepala tangan, dilemparlah batu itu kedepan. Mata itu tak juga pergi, malah anteng aja didepan seperti menatap kami. Karena mungkin kakek merasa kesal kakek menyuruh saya untuk jalan pelan – pelan. Awalnya saya menolak karena ketakutan, tapi kakek memutuskan untuk jalan duluan diikuti saya dari belakang. Lampu motor disenter jarak jauh buat mastiin apa yang ada didepan itu. Saya dan kakek jalan dengan pelan.

Begitu lampu motor perlahan menyorot cahaya mata itu, kaget bukan kepalang sampe saya tak sengaja menekan klakson. Seekor anjing hitam berdiri persis ditengah jalan. Tubuhnya seukuran anjing normal, tapi bulunya hitam legam, matanya berwarna hijau dengan lidah terjulur keluar anjing itu menatap kami berdua. Seketika bulu kuduk saya merinding, tentu saja ini bukan anjing biasa. Walaupun dikampung saya ada yang punya anjing dengan warna hitam, jadi bisa dipastikan ini bukan anjing milik warga. Kakek sambil bilang huss… huss… tapi anjing itu tak terusik sedikitpun.

Mungkin karena kakek kesal karena si anjing tak mau juga pergi, maka kakek menyuruh saya untuk jalan saja, lagian anjing itu berdiri ditengah jalan, mungkin  kita bisa jalan dipinggir saja mengingat ini jalanan lebar. Tapi saya tak berani menolak permintaan kakek. Entah kenapa walaupun itu seekor anjing dan saya sering melihat anjing tapi perasaan takut tak bisa dibohongi mungkin karena melihat kelakuan anjing yang seperti itu pada malam hari terasa tidak wajar. Maka kakek memutuskan untuk memboncengi saya dibelakang.

Baru saja kita berjalan sebentar anjing itu berdiri sigap. Matanya yang tadi polos bulat kini menyipit menatap kami, menunjukkan gigi runcingnya seperti hendak menerkam. Karena kaget kakek menginjak rem, waktu itu saya benar – benar ketakutan setengah mati sampai tanpa disadari memeluk pinggang kakek kuat – kuat.

Si anjing menggonggong – gonggong keras kearah kami. Bayangkan suara gonggongan anjing malam – malam ditengah kebun tebu yang gelap gulita. Suara itu membahan dan menimbulkan gema, saya komat – kamit membaca ayat kursi, entah bacaan saya benar atau salah saya tak ingat lagi karena saking paniknya. Tapi kakek malah menatap anjing itu seolah sedang menantangnya, tapi kayaknya kakek deg – degan juga, soalnya waktu saya ketakutan dan memeluk pinggang kakek terasa jantungnya berdetak dengan kencang didada.

Anjing itu tampaknya menyuruh kami untuk pulang, seakan – akan menghalangi kami untuk datang kerumah Mas Joko, saya tak berani melihat kearah anjing itu, tapi sesekali mengintip dari pundak kakek, anjing itu tampak geram seperti ingin menyerang kami. Saya terus melafalkan ayat kursi kali ini denga suara keras karena saking takutnya.

Kakek dan anjing itu saling bertatapan cukup lama seperti sedang melakukan perbincangan secara batin, saya hanya menduga saja tak bisa memastikan. Hingga kemudian suara handhphone kakek bordering kembali, tapi kakek sepertinya tidak terusik sama sekali terus bertatapan dengan anjing. Karena saya merasa gelisah dan takut mendengar suar handphone dalam kesunyian, saya memberanikan diri mengambil handphone kakek dari saku jaketnya. Ternyata Mas Joko menelpon, kemudian saya mengangkatnya.

“assalamu’alaikum, nuwun sewu pak, masih dimana yah?”

Saya hendak menceritakan apa yang kami alami disini, siapa tahu Mas Joko bisa membantu untuk menjemput kami. Tapi saya malah menjawab
“lagi dijalan Mas sebentar lagi.” Kemudian saya menutup telponnya saking takutnya.




Posting Komentar