SANTET (Witchcraft) - Chapter 3



Entah berapala lama kakek dan anjing it uterus bertatapan, hingga anjing itu menggong – gong sejadi – jadinya tanpa heni. Saya menutup telinga karena tidak kuat dengan suaranya yang sangat keras. Sambil mengonggong – gong si anjing mulai melangkahkan kakinya, wajahnya tetap menyeringai hendak menerkam.

Kakek yang merasa ditantang si anjing kemudian turun dari motor. Saya yang waktu itu ketakutan mencoba menarik jaket kakek untuk menahannya, tapi kakek malah menggubris tangan saya dan terus berjalan seperti ingin meladeni tantangan si anjing. Tanpa diduga kakek mengeluarkan sebuah lidi dari balik jaketnya, panjangnya sekitar setengah meter. Mungkin kakek sudah menduga kejadian ini, dan saat tadi dirumah berlama – lama dikamarnya sedang mempersiapkan hal – hal yang mungkin akan terjadi diluar dugaannya.

Kakek mengacungkan lidi tersebut, sambil mengayun –ayunkannya kea rah si anjing seperti hendak mencambuk. Anjing hitam itu menghentikan langkahnya, namun wajahnya tampak lebih marah. Saya yang waktu itu melihat adegan tersebut panic, takut kalau – kalau si anjing loncat dan menerkam muka kakek. Saya merasa heran bagaiman bisa kakek melawan seekor anjing yang tampak ganas dengan sebatang lidi.

Tapi rupanya ilmu saya terlalu cetek untuk memahami tingkah kakek. Setelah terus – menerus kakek mengayun – ayunkan lidi itu, si anjing hitam secara perlahan mundur. Tapi wajahnya terus menyeringai, tampak air liurnya keluar menetes dengan deras dari mulutnya yang lebar. Beberapa kali si anjing mondar mandir ke kiri kekanan tapi tatapannya tak pernah lepas dari kakek, seperti hendak mencari celah untuk menyerang.

Kali ini kakek mulai memberanikan diri meloncat kedepan hendak mencambuk si anjing hitam, namun dengan gesit si anjing mundur menghindari cambukan kakek yang kemudian berlari kebelakang. Seringai seram si anjing mulai hilang, tapi matanya yang yang bersinar hijau dikegelapan itu tetap menatap kami, seperti gagal melakukan misi si anjing memutuskan untuk pergi, ia masuk ke semak – semak kebun tebu, yang kemudian diikuti suara gong – gongannya beberapa kali. Kini anjing itu hilang ditelan kegelapan malam.

Karena saya terlanjur syok dan kaki saya gemetaran karena ketakutan, maka ketika melanjutkan perjalanan kerumah Mas Joko kakeklah yang membawa motor sementara saya duduk dibelakang. Tentu saja saya duduk dibelakang dengan perasaan was – was takut kalau – kalau sia anjing itu balik lagi dan menerkam saya dari belakang. Tapi tak begitu lama, dari arah depan tampak sebuah cahaya lampu bulat berwarna kuning. Ketika jarak kami mulai dekat, terlihat bahwa itu Mas Joko dan seoarang pria yang saya tidak kenal dibonceng dibelakangnya.

“saya menyusul, takut terjadi apa- apa. Soalnya pas tadi ditelpon katanya lagi dijalan. Takut kalau ban motornya bocor.” Kata Mas Joko kepada kakek.

“engga, Cuma pelan aja bawa motornya, maklum jalanan jelek.” Saya heran, kenapa kakek tak menceritakan peristiwa yang baru saja kami alami. Mungkin kakek tidak mau membuat suasan semakin panic.

Kami berangkat melanjutkan perjalanan, motor Mas Joko mengikuti kami dari velakang. Sekarang saya sedikit tenang, seandainya anjing itu datang lagi dan hendak menerkam, setidaknya masih ada orang dibelakang saya. Akhirnya kami tiba dikampung Mas Joko. Setelah masuk ke jalan kecil dan melewati kebun singkong sebuah rumah dengan cat putih terlihat. Mas Joko membunyikan klakson, saya menduga dia ingin memberitahukan bahwa itu rumahnya.

Begitu kami masuk rumah,  Mas Joko memperkenalkan kami dengan mertuanya, seorang wanita paruh baya dan adik iparnya yang tadi ikut bersama Mas Joko dibonceng dibelakang. Dirumah itu Cuma mereka bertiga kata Mas Joko, bapak mertuanya sekitar 2 bulan yang lalu sudah meninggal. Tadi sore rumah ini sempat ramai oleh tetangganya yang ingin menjenguk, tapi sekarang sudah sepi.

Setelah minum kopi hangat sajian mertua Mas Joko, kami dibawa ke kamar untuk melihat kondisi istrinya yang sakit. Sebenarnya saya ingin duduk saja sambil menikmati kopi dan cemilan yang disajikan namun karena rasa penasaran saya mengikuti kakek dari belakang.

Tampak seorang wanita mengenakan daster merah motif kembang – kembang sedang duduk berbalut selimut. Rambutnya panjang tergerai, dengan kulit sawo matang. Tatapannya kosong kearah jendela, sepertinya dia tidak sadar dengan kedatangan kami. Kemudian Mas Joko memperkenalkan bahwa wanita itu istrinya, Mba Tuti.
“neng….neng….neng….” kakek memanggil – manggil Mba Tuti.

Mba Tuti tidak merespon, dia masih anteng melihat kearah jendela. Wajah Mba Tuti tampak pucat, lingkaran hitam disekeliling matanya tampak jelas (istilahnya mungkin mata panda) kata Mas Joko istrinya itu jarang tidur, kalau tidak kumat ya kerjaannya seperti itu bengong, badannya juga kurus bahkan tulang belikat dibawah lehernyapun terlihat.

Kakek menyuruh Mas Joko untuk mengambil segelas air putih, setelah dibawakan kakek kemudian melafalkan doa – doa. Setelah selesai, sedikit demi sedikit air itu dicipratkan kewajah Mba Tuti. Namun kaget bukan main semua orang yang ada dikamar itu termasuk saya ketika melihat reaksi Mba Tuti saat menerima cipratan air doa dari kakek. Tangannya menyamber gelas yang sedang dipegang kakek, hingga terpental kearah tembok. Bunyi denting gelas terbentur memekikan telinga, hingga pecahan kacanya berhamburan kemana – mana, bahkan hamper saja mengenai mata mertua Mas Joko.

Mba Tuti berubah ekspresi yang tadinya tenang dan kosong kini tampak tampak. Matanya melotot sempurna, giginya menyeringai bahkan terdengar gemeletuk dari gigi yang ditekan scera berlebihan sehingga terasa ngilu bagi kita yang mendengarnya. Deru nafasnya semakin kencang seperti orang yang sedang menahan amarah. Mba Tuti menyender ke tembok seakan sedang ancang – ancang untuk menyerang, jari tangannya terus mencakar – cakar tembok membuat ngilu bagi yang melihat apalagi mendengar suaranya “ini bukan istrimu Jok” kata kakek pelan.

Baru saja kakek lengah menengok kearah Mas Joko, Mba Tuti loncat menerkam kakek. Kini leher kakek berada dalam cengkraman Mba Tuti, kami yang panic melihat kejadian itu segera menarik tubuh Mba Tuti. Bayangkan tiga orang pria, saya, Mas Joko dan adik iparnya menarik tubuh seoarang wanita kurus secara logika seharusnya bukan masalah. Tapi diluar dugaan kami, Mba Tuti masih koko mencekik kakek tidak goyah sedikitpun bahkan saat kami bertiga menariknya sekuat tenaga.

Ibu mertuanya yang panic, menangis sambil berlari keluar mungkin hendak mencari bantuan. Sementara kami terus berusaha melepaskan Mba Tuti. Muka kakek tampak merah, nafasnya tersengal – sengal tapi bibirnya tampak berkomat – kamit mungkin sedang melafalkan doa. Mba Tuti mendekatkan wajahnya kearah kakek hingga mulutnya hanya berjarak beberapa centimeter dari muka kakek, dan tanpa disangka – sangka dia berteriak sejadi – jadinya. Kami yang sedang berusaha menarik tubuh Mba Tuti reflek menutup telinga.

Setelah berteriak Mba Tuti loncat kearah depan melepaskan cengkramannya. Kemudian istri Mas Joko itu jongkok menatap kami. Seperti seekor binatang, Mba Tuti tampak tidak peduli lagi dengan dengan penampilannya, dasternya yang robek bagian sampingnya karena dia bergerak lincah dan tak teratur, sehingga bagian sensitifnya terlihat kemana – mana, tapi laki – laki mana yang akan nafsu ketika melihat model wanita yang sedang kondisi seperti kesetanan.

Tidak begitu lama ibu mertua Mas Joko datang bersama rombongan, sekitar 8 orsng dengan dua perempuan dan sisanya laki – laki. Mereka tampak keheranan menatap Mba Tuti didepan pintu masuk. Saat lengah itulah kakek menyentuh kepala Mba Tuti tepat dibagian jidat, kakek mencengkramnya dengan kuat. Mab Tuti berteriak – teriak, meronta bahkan tak segan untuk mencakar dan menendang tubuh kakek.

“bantu saya, pegang tangan dan kakinya” teriak kakek pada kami. Sontak semua pria yang ada disana membantunya.

Walalupun tangan dan kakinya sudah dipegang kuat, tapi tampaknya Mba Tuti masih berusaha melawan kakek dengan memajukan mulutnya untuk menggigit. Mungkin saking kesalnya karena gigitannya tak juga kena, Mba Tuti meludahi kakek beberapa kali. Tapi kakek tak gentar dengan serangan yang dilakukan, hingga akhirnya Mba Tuti tergolek lemas tak berdaya. Setelah keadaan tenang Mba Tuti ditidurkan kembali diatas ranjangnya.

Menurut kakek yang ada di dalam Mba Tuti bukan nyawanya sendiri, tapi mungkin setan suruhan seseorang sedangkan nyawa Mba Tuti tersesat berkeliaran. Saya kira kejadian itu hanya terjadi di dalam film saja, ternyata nyawa juga bisa keluar dari tubuh kita dan tersesat. Entah benar atau hanya mengada – ada dengan ucapan kakek, tapi jika melihat kejadian yang baru saja terjadi memaksa saya untuk sedikit meyakininya.

“dia sedang kelelahan, mungkin nanti akan kumat lagi Jok.” Kata kakek.

“terus saya harus gimana pak?”

Lalu kakek menjelaskan kepada Mas Joko bahwa ini pengalaman pertamanya menangani kasus seperti ini, dulu memang kejadian seperti ini pernah terjadi, tapi kakek hanya sebatas menyaksikan saja tak ikut andil dalam mengobati.

“kita harus melakukan upaca “ngajemput lelembut””. Kata kakek kepada Mas Joko.

Istilah “ngajemput lelembut” ini kalalu dalam bahasa Indonesia bisa diartikan menjemput nyawa. Menurut kakek, dahulu kala konon upacara ini sering dilakukan atau lumrah dikampung. Karena dulu saat kampung kami masih benar – benar hutan dan masih banyak tempat – tempat keramat banyak orang – orang yang tersesat dan linglung tak bisa pulang, padahal secara penglihatan lahir orang tersebut hanya tertidur, biasanya jasadnya disembunyikan si setan di semak – semak atau bahkan di dahan – dahan pohon besar. Orang yang biasanya diisengi setan itu karena melanggar atau berlaku tidak sopan, seperti mengencingi sebuah pohon atau duduk diatas makan tanpa sengaja.

Akhirnya malam itu kami memutuskan untuk diam dirumah Mas Joko, bersama bapak – bapak yang lain tetangganya kami berbincang seru, seakan melupakan kejadian mengerikan yang baru saja terjadi. Saya ikut nimbrung tapi tidak ikut mengobrol, hanya menikmati kopi dan kacang rebus yang disediakan mertua Mas Joko.

Hingga akhrinya “tahrim” berkumandang. Tahrim itu kalau dikampung saya adalah istilah untuk membangunkan orang untuk sholat shubuh, jadi biasanya seseorang datang ke masjid dan membaca alquran melalui speaker, hal itu dilakukan sampai tiba waktunya adzan shubuh. Dikampung saya biasanya tharim dimulai dari jam setengah empat pagi.

Saya dan kakek berpamitan untuk pulang, memburu untuk sholat shubuh dirumah. Tapi sebelum pulang kakek berpesan dengan suara pelan agar Mas Joko mengorek – ngorek halaman depan atau belakang rumahnya untuk mencari benda – benda aneh yang mungkin saja ditanam oleh seseorang.


Bersambung Chapter 4




1 komentar:

Soccer Betting in 1xBet Korean - Legalbet.co.kr
Soccer Betting in 1xBet Korean: Sports betting, Live งานออนไลน์ betting, Odds and Bets on Soccer in Korea, Bet on 1xbet korean Soccer in Korea, 바카라사이트 Online sports betting

Reply

Posting Komentar