Kakek
yang merasa ditantang si anjing kemudian turun dari motor. Saya yang waktu itu
ketakutan mencoba menarik jaket kakek untuk menahannya, tapi kakek malah
menggubris tangan saya dan terus berjalan seperti ingin meladeni tantangan si
anjing. Tanpa diduga kakek mengeluarkan sebuah lidi dari balik jaketnya,
panjangnya sekitar setengah meter. Mungkin kakek sudah menduga kejadian ini,
dan saat tadi dirumah berlama – lama dikamarnya sedang mempersiapkan hal – hal yang
mungkin akan terjadi diluar dugaannya.
Kakek
mengacungkan lidi tersebut, sambil mengayun –ayunkannya kea rah si anjing
seperti hendak mencambuk. Anjing hitam itu menghentikan langkahnya, namun
wajahnya tampak lebih marah. Saya yang waktu itu melihat adegan tersebut panic,
takut kalau – kalau si anjing loncat dan menerkam muka kakek. Saya merasa heran
bagaiman bisa kakek melawan seekor anjing yang tampak ganas dengan sebatang
lidi.
Tapi rupanya
ilmu saya terlalu cetek untuk memahami tingkah kakek. Setelah terus – menerus kakek
mengayun – ayunkan lidi itu, si anjing hitam secara perlahan mundur. Tapi wajahnya
terus menyeringai, tampak air liurnya keluar menetes dengan deras dari mulutnya
yang lebar. Beberapa kali si anjing mondar mandir ke kiri kekanan tapi
tatapannya tak pernah lepas dari kakek, seperti hendak mencari celah untuk
menyerang.
Kali ini
kakek mulai memberanikan diri meloncat kedepan hendak mencambuk si anjing
hitam, namun dengan gesit si anjing mundur menghindari cambukan kakek yang
kemudian berlari kebelakang. Seringai seram si anjing mulai hilang, tapi
matanya yang yang bersinar hijau dikegelapan itu tetap menatap kami, seperti
gagal melakukan misi si anjing memutuskan untuk pergi, ia masuk ke semak –
semak kebun tebu, yang kemudian diikuti suara gong – gongannya beberapa kali. Kini
anjing itu hilang ditelan kegelapan malam.
Karena
saya terlanjur syok dan kaki saya gemetaran karena ketakutan, maka ketika
melanjutkan perjalanan kerumah Mas Joko kakeklah yang membawa motor sementara
saya duduk dibelakang. Tentu saja saya duduk dibelakang dengan perasaan was –
was takut kalau – kalau sia anjing itu balik lagi dan menerkam saya dari
belakang. Tapi tak begitu lama, dari arah depan tampak sebuah cahaya lampu
bulat berwarna kuning. Ketika jarak kami mulai dekat, terlihat bahwa itu Mas
Joko dan seoarang pria yang saya tidak kenal dibonceng dibelakangnya.
“saya
menyusul, takut terjadi apa- apa. Soalnya pas tadi ditelpon katanya lagi
dijalan. Takut kalau ban motornya bocor.” Kata Mas Joko kepada kakek.
“engga,
Cuma pelan aja bawa motornya, maklum jalanan jelek.” Saya heran, kenapa kakek
tak menceritakan peristiwa yang baru saja kami alami. Mungkin kakek tidak mau
membuat suasan semakin panic.
Kami berangkat
melanjutkan perjalanan, motor Mas Joko mengikuti kami dari velakang. Sekarang saya
sedikit tenang, seandainya anjing itu datang lagi dan hendak menerkam,
setidaknya masih ada orang dibelakang saya. Akhirnya kami tiba dikampung Mas
Joko. Setelah masuk ke jalan kecil dan melewati kebun singkong sebuah rumah
dengan cat putih terlihat. Mas Joko membunyikan klakson, saya menduga dia ingin
memberitahukan bahwa itu rumahnya.
Begitu
kami masuk rumah, Mas Joko
memperkenalkan kami dengan mertuanya, seorang wanita paruh baya dan adik
iparnya yang tadi ikut bersama Mas Joko dibonceng dibelakang. Dirumah itu Cuma mereka
bertiga kata Mas Joko, bapak mertuanya sekitar 2 bulan yang lalu sudah meninggal.
Tadi sore rumah ini sempat ramai oleh tetangganya yang ingin menjenguk, tapi
sekarang sudah sepi.
Setelah
minum kopi hangat sajian mertua Mas Joko, kami dibawa ke kamar untuk melihat
kondisi istrinya yang sakit. Sebenarnya saya ingin duduk saja sambil menikmati
kopi dan cemilan yang disajikan namun karena rasa penasaran saya mengikuti
kakek dari belakang.
Tampak
seorang wanita mengenakan daster merah motif kembang – kembang sedang duduk
berbalut selimut. Rambutnya panjang tergerai, dengan kulit sawo matang. Tatapannya
kosong kearah jendela, sepertinya dia tidak sadar dengan kedatangan kami. Kemudian
Mas Joko memperkenalkan bahwa wanita itu istrinya, Mba Tuti.
“neng….neng….neng….”
kakek memanggil – manggil Mba Tuti.
Mba Tuti
tidak merespon, dia masih anteng melihat kearah jendela. Wajah Mba Tuti tampak
pucat, lingkaran hitam disekeliling matanya tampak jelas (istilahnya mungkin
mata panda) kata Mas Joko istrinya itu jarang tidur, kalau tidak kumat ya kerjaannya
seperti itu bengong, badannya juga kurus bahkan tulang belikat dibawah
lehernyapun terlihat.
Kakek
menyuruh Mas Joko untuk mengambil segelas air putih, setelah dibawakan kakek
kemudian melafalkan doa – doa. Setelah selesai, sedikit demi sedikit air itu
dicipratkan kewajah Mba Tuti. Namun kaget bukan main semua orang yang ada
dikamar itu termasuk saya ketika melihat reaksi Mba Tuti saat menerima cipratan
air doa dari kakek. Tangannya menyamber gelas yang sedang dipegang kakek,
hingga terpental kearah tembok. Bunyi denting gelas terbentur memekikan
telinga, hingga pecahan kacanya berhamburan kemana – mana, bahkan hamper saja
mengenai mata mertua Mas Joko.
Mba
Tuti berubah ekspresi yang tadinya tenang dan kosong kini tampak tampak. Matanya
melotot sempurna, giginya menyeringai bahkan terdengar gemeletuk dari gigi yang
ditekan scera berlebihan sehingga terasa ngilu bagi kita yang mendengarnya. Deru
nafasnya semakin kencang seperti orang yang sedang menahan amarah. Mba Tuti
menyender ke tembok seakan sedang ancang – ancang untuk menyerang, jari
tangannya terus mencakar – cakar tembok membuat ngilu bagi yang melihat apalagi
mendengar suaranya “ini bukan istrimu Jok” kata kakek pelan.
Baru saja
kakek lengah menengok kearah Mas Joko, Mba Tuti loncat menerkam kakek. Kini leher
kakek berada dalam cengkraman Mba Tuti, kami yang panic melihat kejadian itu
segera menarik tubuh Mba Tuti. Bayangkan tiga orang pria, saya, Mas Joko dan
adik iparnya menarik tubuh seoarang wanita kurus secara logika seharusnya bukan
masalah. Tapi diluar dugaan kami, Mba Tuti masih koko mencekik kakek tidak
goyah sedikitpun bahkan saat kami bertiga menariknya sekuat tenaga.
Ibu mertuanya
yang panic, menangis sambil berlari keluar mungkin hendak mencari bantuan. Sementara
kami terus berusaha melepaskan Mba Tuti. Muka kakek tampak merah, nafasnya
tersengal – sengal tapi bibirnya tampak berkomat – kamit mungkin sedang
melafalkan doa. Mba Tuti mendekatkan wajahnya kearah kakek hingga mulutnya
hanya berjarak beberapa centimeter dari muka kakek, dan tanpa disangka – sangka
dia berteriak sejadi – jadinya. Kami yang sedang berusaha menarik tubuh Mba
Tuti reflek menutup telinga.
Setelah
berteriak Mba Tuti loncat kearah depan melepaskan cengkramannya. Kemudian istri
Mas Joko itu jongkok menatap kami. Seperti seekor binatang, Mba Tuti tampak
tidak peduli lagi dengan dengan penampilannya, dasternya yang robek bagian
sampingnya karena dia bergerak lincah dan tak teratur, sehingga bagian
sensitifnya terlihat kemana – mana, tapi laki – laki mana yang akan nafsu
ketika melihat model wanita yang sedang kondisi seperti kesetanan.
Tidak
begitu lama ibu mertua Mas Joko datang bersama rombongan, sekitar 8 orsng
dengan dua perempuan dan sisanya laki – laki. Mereka tampak keheranan menatap
Mba Tuti didepan pintu masuk. Saat lengah itulah kakek menyentuh kepala Mba
Tuti tepat dibagian jidat, kakek mencengkramnya dengan kuat. Mab Tuti berteriak
– teriak, meronta bahkan tak segan untuk mencakar dan menendang tubuh kakek.
“bantu
saya, pegang tangan dan kakinya” teriak kakek pada kami. Sontak semua pria yang
ada disana membantunya.
Walalupun
tangan dan kakinya sudah dipegang kuat, tapi tampaknya Mba Tuti masih berusaha
melawan kakek dengan memajukan mulutnya untuk menggigit. Mungkin saking
kesalnya karena gigitannya tak juga kena, Mba Tuti meludahi kakek beberapa
kali. Tapi kakek tak gentar dengan serangan yang dilakukan, hingga akhirnya Mba
Tuti tergolek lemas tak berdaya. Setelah keadaan tenang Mba Tuti ditidurkan
kembali diatas ranjangnya.
Menurut
kakek yang ada di dalam Mba Tuti bukan nyawanya sendiri, tapi mungkin setan
suruhan seseorang sedangkan nyawa Mba Tuti tersesat berkeliaran. Saya kira
kejadian itu hanya terjadi di dalam film saja, ternyata nyawa juga bisa keluar
dari tubuh kita dan tersesat. Entah benar atau hanya mengada – ada dengan
ucapan kakek, tapi jika melihat kejadian yang baru saja terjadi memaksa saya
untuk sedikit meyakininya.
“dia
sedang kelelahan, mungkin nanti akan kumat lagi Jok.” Kata kakek.
“terus
saya harus gimana pak?”
Lalu kakek
menjelaskan kepada Mas Joko bahwa ini pengalaman pertamanya menangani kasus
seperti ini, dulu memang kejadian seperti ini pernah terjadi, tapi kakek hanya
sebatas menyaksikan saja tak ikut andil dalam mengobati.
“kita
harus melakukan upaca “ngajemput lelembut””. Kata kakek kepada Mas Joko.
Istilah
“ngajemput lelembut” ini kalalu dalam bahasa Indonesia bisa diartikan menjemput
nyawa. Menurut kakek, dahulu kala konon upacara ini sering dilakukan atau
lumrah dikampung. Karena dulu saat kampung kami masih benar – benar hutan dan
masih banyak tempat – tempat keramat banyak orang – orang yang tersesat dan
linglung tak bisa pulang, padahal secara penglihatan lahir orang tersebut hanya
tertidur, biasanya jasadnya disembunyikan si setan di semak – semak atau bahkan
di dahan – dahan pohon besar. Orang yang biasanya diisengi setan itu karena
melanggar atau berlaku tidak sopan, seperti mengencingi sebuah pohon atau duduk
diatas makan tanpa sengaja.
Akhirnya
malam itu kami memutuskan untuk diam dirumah Mas Joko, bersama bapak – bapak yang
lain tetangganya kami berbincang seru, seakan melupakan kejadian mengerikan
yang baru saja terjadi. Saya ikut nimbrung tapi tidak ikut mengobrol, hanya
menikmati kopi dan kacang rebus yang disediakan mertua Mas Joko.
Hingga
akhrinya “tahrim” berkumandang. Tahrim itu kalau dikampung saya adalah istilah
untuk membangunkan orang untuk sholat shubuh, jadi biasanya seseorang datang ke
masjid dan membaca alquran melalui speaker, hal itu dilakukan sampai tiba
waktunya adzan shubuh. Dikampung saya biasanya tharim dimulai dari jam setengah
empat pagi.
Saya dan
kakek berpamitan untuk pulang, memburu untuk sholat shubuh dirumah. Tapi sebelum
pulang kakek berpesan dengan suara pelan agar Mas Joko mengorek – ngorek halaman
depan atau belakang rumahnya untuk mencari benda – benda aneh yang mungkin saja
ditanam oleh seseorang.
Bersambung Chapter 4
1 komentar:
Soccer Betting in 1xBet Korean - Legalbet.co.kr
ReplySoccer Betting in 1xBet Korean: Sports betting, Live งานออนไลน์ betting, Odds and Bets on Soccer in Korea, Bet on 1xbet korean Soccer in Korea, 바카라사이트 Online sports betting
Posting Komentar