SANTET (Witchcraft) - Chapter 11



Ketika hendak berbicara ki merah mengajak kakek saya keruangannya, kata dia sebaiknya ini dibicarakan empat mata saja, sial padahal saya sangat penasaran. Sementara kakek pergi kedalam dengan ki merah, saya menunggu diruang tamu sambil ngemil keripik pisang. Saya kira ki merah bakal seperti di film – film horror, bengis dan juga congkak, tapi sikapnya sama saja seperti orang pada umumnya. Malah bisa dibilang ramah, apalagi istrinya yang sudah menyajikan cemilan ini.

Mungkin sekitar lima belas menit berlalu, kakek saya kembali bersama ki merah. Mereka langsung duduk dikursi seperti semula. Terlihat ada ketegangan diwajah mereka, apa yang sebenernya telah terjadi? Apa tadi mereka bertengkar.

“jadi kalau bukan aki, apa ada orang lain?” kakek mulai berbicara.

“aku mengaku memang sduah mengganggu keluarga si Joko, tapi sasaranku memanglah Joko itu sendiri bukan istrinya. Malam itu aku mengirim dua dedemit untuk membawa jiwa si Joko, hanya untuk member pelajaran, aku bersumpah tidak ada sedikitpun niat untuk membunuhnya. Tapi yang kena malah istrinya. Karena terlanjur sudah terjadi, aku pikir bila istrimya menderita maka si Joko juga akan merana. Aku juga yang mengirim peliharaanku untuk menghalang – halangimu saat kamu hendak pergi membantu si Joko.” Jawab ki merah.

Saya tiba – tiba teringat kejadian dikebun tebu saat anjing hitam yang mau menerkam kakek. Jadi itu memang benar ulahnya ki merah.

“dan aki juga yang hendak berniat mencelakakan keluarga saya saat saya berhasil menyadarkan kembali si Tuti?” nada kakek mulai naik.

“aku memang mengirim peliharaanku untuk mengawasimu tapi tidak memerintahkannya untuk mengganggumu.”

“istri saya diteror ki, sampai dia jatuh sakit.”

“aku bersumpah demi apapun, hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengawasimu, bukan untuk mengganggumu. Aku mengawasimu hanya karena kagum padamu, soalnya orang biasa sepertimu bisa melakukan upacara jemput lelembut. Usiamu terlalu muda untuk menguasai ilmu semacam itu.” Ucap ki merah.

Entah sebuah kebenaran atau ini hanya pembelaannya saja, saya tidak tahu.
Kemudian kakek menyuruh saya untuk menceritakan apa yang dialami nenek. Saya bercerita kepada ki merah tentang nenek yang melihat sosok wanita di kamar mandi, dan sosok lainnya yang menjelma menjadi teman nenek yang sudah meninggal.

“baiklah saya akan mempercayai aki kali ini, tapi saya mohon beritahu kemana ki merah membawa lagi Tuti sekarang?”

“apa maksudmu membawa Tuti lagi?” ki merah tampak terkejut

Ki merah malam itu memang memerintahkan peliharaannya untuk mendatangi rumah Mas Joko tapi untuk mengambil pocongan yang telah ditanam dihalaman rumah. Dia tersadar bahwa perbuatannya salah, karena setelah melakukan perbuatan keji itu lagi, dia selalu dihantui baying – baying Mba Eka.

“setiap malam, wajah eka selalu menghantuiku. Saat tidur dia masuk dalam mimpiku, saat sedang diam dia masuk ke dalam ingatan, dan saat aku bekerjapun dia menyusup dalam baying – baying. Kini aku sadar ternyata balas dendam tak membuahkan kepuasan tapi malah penyesalan.” Ucap ki merah.

Walaupun harus mengecawakan kliennya itu, ki merah mengambil resiko. Dia mengembalikan uang yang telah diberikan, walaupun niat awal ki merah membantu bukan karena uangnya tapi lebih kepada alasannya. Kita tentu selalu ingat jika ada orang yang bernasib sama, kita seakan memiliki ikatan emosional dengan orang tersebut, hingga kemudian menimbulkan rasa empati seperti mengkasihani diri sendiri.
Malam itu ki merah mengaku, dia telah berhenti urusannya dengan klien dan keluarga Mas Joko tidak ada lagi permainan, tidak ada lagi gangguan. Bahkan dia telah menyesal belajar ilmu seperti itu. Entah benar atau tidak ucapan ki merah, tapi dilihat dari wajahnya tampak seperti penyesalan yang sangat dalam. Kadang saya merasa kasihan, mungkin seumur hidupnya ki merah menderita dibayang – baying dosa masa lalunya.

“jadi anjing hitam yang dikejar Tuti itu bukan atas perintah aki?”

“sudah kubilang aku hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengambil benda yang aku tanam, bukan untuk mengganggunya. Tapi kalai dia menggonggong dan sekarang dikejar oleh istri si Joko, aku tak tahu.” Jawab ki merah.

“sosok seperti apa yang nenekmu lihat?” Tanya ki merah kepada saya.

“astaghfirullah…” belum sempat aku menjawab pertanyaan ki merah, kakek sudah memotong.

Tiba – tiba saja kakek teringat dengan sosok wanita yang Mba Tuti lihat ketika kakek melakukan jemput lelembut. Deskripsi yang nenek sebutkan tentang sosok wanita tersebut sama persis dengan yang Mba Tuti ceritakan sebelumnya , kakek menepuk jidat, katanya jangan – jangan dia melakukan kesalahan. Kakek bilang mungkin ada arwah yang ikut dan menempel ke tubuh Mba Tuti saat dia diajak keluar.

Karena takut terjadi sesautu dengan Mba Tuti, usai berbinacang dengan ki merah kakek berpamitan untuk kembali kerumah Mas Joko. Kakek mengerti ki merah tidak mau lagi terlibat dengan urusan seprti ini, walaupun masih tanggung jawabnya karena telah memulai kekacauan ini. Ki merah meminta tolong kepada kakek untuk menyelesaikan masalah ini, dia siap untuk dimintai bantuan bila kakek membutuhkannya. Tapi kalau harus terlibat secara langsung seperti sekarang, dia takut hanya akan menimbulkan masalah baru saja.

Saya dan kakek pergi kembali kerumah Mas Joko, sesampainya disana dirumah Mas Joko hanya ada ibu mertuanya dan adik iparnya saja. Menurut adik iparnya, Mba Tuti masih belum ketemu, warga yang dipimpin pak lurah masih berusaha mencari. Terakhir katanya Mba Tuti terlihat pergi kearah persawahan. Saya dan kakek segera menyusul setelah meminjam senter.

Suasana kampung benar – benar sepi, tapi untungnya tidak terlalu gelap karena dilangit bulan terlihat sempurna. Dibawah baying – baying bulan yang terhalang pohon – pohon besar yang menjulang, saya dan kakek berjalan perlahan sambil mengarahkan senter kesemak – semak. Kami berniat menyusul rombongan pak lurah kea rah sawah.
Begitu kami keluar kampung dan berjalan menuju persawahan, terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Saya dan kakek saling berpandangan, dari mana suara anjing itu berasal. Lolongan itu terdengar sekitar tiga kali, kemudian lenyap bersama angin malam.

“kenapa rombongan pak lurah tidak terlihat juga pak?”
Kakek tidak menjawab pertanyaanku, mulutnya tampak komat – kamit, mungkin sedang melafalkan doa. Saya tidak bisa mengganggunya kalau kakek sedang begitu. Saya berkonsentrasi untuk berjalan di pematang sawah yang licin, angin sepoi – sepoi membuat bulu kuduk merinding. Pemandangan disekitar hanya terlihat beberapa orang – orangan sawah yang tertiup angin tampak seperti manusia yang melambai – lambai dari kejauhan.

“iku kakek teng.” Ucap kakek tiba – tiba.

Setelah kami berjalan cukup lama dan belum bertemu juga dengan rombongan pak lurah, saya berjalan mengikuti kakek menuju sebuah saung kecil ditengah sawah. Saya kira kakek hendak mengajak saya beristirahat, tapi begitu kami sampai beberapa meter lagi dari saung, terdengar suara lengkingan anjing yang amat lirih dan pelan.
Kakek mengarahkan senter kearah saung, tapi tidak terlihat apapun disana. Kami berjalan pelan sambil terus memerhatikan. Begitu cahaya senter kakek menyorot kearah kolong saung terlihat sesosok tubuh dengan rambut tergerai sedang jongkok membelakangi kami berdua. Kakek mematikan lampu senternya, kami berdua jongkok sambil jalan perlahan. Rupanya sosok itu belum sadar dengan kedatangan kami berdua.
Saya mengira mungkin itu semacam makhluk jejadian yang baru keluar malam – malam. Maklum ini sudah hampir jam 10 atau mungkin itu arwah yang kebetulan sekelebat kami lihat, tapi begitu saya mendongakakan kepala, sosok itu masih terlihat disana.

Saya dan kakek tetap mengawasi, perlahan sosok itu merayap dari luar, kakinya Nampak sedang menjepit sesuatu. Tapi begitu kami memperhatikan dengan seksama, tiba – tiba kepalanya berputar pelan, hingga akhirnya kami saling bertatapan.
Itu Mba Tuti dengan wajah menyeramkan, matanya melotot tajam kearah kami, karena sudah ketahuan kami beranjak berdiri. Tapi Mba Tuti masih jongkok, kakinya menjepit kepala anjing hitam. Terlihat baju daster yang ia kenakan robek dan ada bercak – bercak darah, di pahanya pun terlihat luka gores bekar cakaran kuku anjing.

“lepaskan anjing itu Tuti!” perintah kakek.

Namun Mba Tuti tidak menjawab, dia malah meludah kearah kakek. Kemudian Mba Tuti mengambil batu seukuran mangkok disampingnya, dengan sekali ayunan keatas batu tersebut ia hantamkan ke kapala anjing yang ia jepit. Cratttt!!!! Seketika darah muncrat kemana – mana, wajah pucat Mba Tuti kin telah berlumur merah. Anjing itu tak langsung mati, masih terdengar nafasnya yang tersengai – sengai karena tenggorokannya terjepit. Hantaman kedua, ketiga terus diluncurkan, sampai terdengar suara remukan tulang.

Kepala anjing itu kini hancur berantakan, bahkan biji matanya terlepas keluar. Mulut moncongnya kini sudah tak berbentuk lagi. Giginya berserakan dengan daging gusi yang masih menempel. Sungguh saya syok melihat kejadian sadis tersebut didepan mata.

Walaupun wajah anjing itu sudah hancur, tapi Mba Tuti masih belum berhenti menghantamkannya dengan batu. Saya dan kakek hanya berdoa melihat kelakuannya, sebenarnya kami hendak mencegah tapi kalau salah malah kamilah yag akan menjadi sasaran hantaman batu selanjutnya.

Bukan hanya wajahnya, rambut Mba Tuti yang tergerai telah bercampur dengan cipratan darah, dan ceceran daging kecil yang menempel. Tidak tampak penyesalan diwajahnya, tapi sebaliknya dia tampak geram. Saya yang ketakutan kemudian mundur beberapa langkah, sedangkan kakek semakin maju mendekati Mba Tuti.

“hentikan Tuti.” Perintah kakek.

Mendengar suara kakek perhatian Mba Tuti pada bangkai anjing itu teralihkan. Dengan batu yang masih ditangan sekarang Mba Tuti menatap kakek lekat – lekat. Tanpa pemberitahuan dahulu Mba Tuti langsung melemparkan batu ditangannya kearah kakek, melesat begitu cepat seperti batu itu terbuat dari busa, entah apa yang merasukinya hingga kekuatannya berlipat ganda.

Walaupun sempat menghindar, tapi lemparannya telak mengenai lutut kanan. Kakek saya jatuh terperosok dalam lumpur sawah. Saya reflek langsung menhampiri kakek, rasa takut pada Mba Tuti tiba – tiba saja hilang seketika, sengguh saya geram dan hendak membalas dendam dengan melemparkan kembali batu itu kepadanya.
Belum sempat saya membalas, Mba Tuti loncat kearah tiang penyangga saung. Dalam sekejap ia naik seperti monyet menuju atap. Menyaksikan semua itu, membuat tubuh saya mati rasa, ingin rasanya lari dan berteriak karena ketakutan, tapi yang terjadi lutut saya malah lemas dan tenggorokan saya terasa kosong tak ada suara.

Mba Tuti jongkok diatas atap saung dengan rambut tergerai panjang dan muka berlumuran darah. Disinari cahaya bulan diatasnya, dia tertawa ngikik seperti kuntilanak.
“lihat ki merah, peliharaanmu sudah aku musnahkan sebagai ganjaran karena tidak bisa menyelesaikan permintaan.” Kepala Mba Tuti mendongak kelangit, kemudian ia tertawa ngikin lagi.

Untuk sesaat saya diam memaku menyaksikan kejadian mengerikan itu, hingga akhirnya saya tersadar dan segera menolong kakek yang masih berusaha berdiri sambil menahan sakit luka dilutut kakek tidak terlalu parah, tampak darah segar mengucur dan dagingnya sedikit terkelupas.

Mba Tuti kembali memperhatikan kami berdua, raut wajahnya berubah menjadi serius.” Jangan pernah ganggu usrusanku, atau kuhancurkan kepalamu juga seperti anjing itu!!!”
Kemudian Mba Tuti meloncat ke pematang sawah, dia merayap dengan cepat seperti kadal. Entah akan pergi kemana, tapi dia pergi tanpa memperhatikan kami lagi. Dari kejauhan dia seperti tenggelam dalam kegelapan, suara gemuruh daun padi yang ditiup angin menjadi suara pengiring kepergian Mba Tuti, dan lambaian orang – orangan sawah seperti ucapan selamat tinggal.

Kalau saja kaki kakek sehat mungkin dia akan mengejarnya. Dengan luka yang masih menganga, saya membopong kakek kembali kerumah Mas Joko, katanya kita harus lapor pak lurah sebelum terjadi hal – hal yang lebih mengerikan pada Mba Tuti. Entah apa maksudnya dengan hal yang lebih mengerikan, karena saya tak bisa lagi membayangkan hal yang lebih mengerikan dari melihat pecahan kepala anjing didepan mata.



Posting Komentar