Sepulang
dari rumah Mas Joko, saya tidur kebablasan, jam setengah satu siang baru
bangun. Dan ketika hendak ke kamar mandi saya melihat kakek sedang membersihkan
“perabot”. Istilah perabot ini adalah sebutan benda – benda pusaka peninggalan
nenek moyang dikampung saya. Kebetulan kakek punya warisan sebuah keris dan
pedang kecil mirip golok yang dikasih dari mbah buyut saya dulu, konon benda –
benda pusaka itu harus dibawa saat upacara nyambut lelembut, katanya jaga –
jaga kalau ada setan Bengal hendak menyerang.
Saya
yang tidak ada kerjaan, kemudian hendak membantu kakek untuk membersihkannya.
Tapi kakek membentak saya ketika saya mau memegang keris tsb. Katanya tidak
sembarang orang bisa membersihkannya. Benda – benda pusaka ini hanya boleh
dicuci saat bulan maulud saja dan satu lagi ketika hendak dipakai. Itupun saat
dicuci dengan ritual atau mungkin bacaan tertentu, terlihat kakek
membersihkannya tidak digosok dengan sikat atau dicelupkannya ke dalam air,
tapi dibersihkan dengan jeruk nipis pelan – pelan.
Takutnya
ada yang salah paham, memandikan benda pusaka bukan berarti menyembah atau
mengagungkannya. Apa yang dilakukan kakek hanya sekedar menghormati, semoga tak
ada orang yang menganggap bahwa perbuatan itu syirik atau menyekutukan Tuhan.
Setelah
selesai membersihkan pusakanya, kemudian kakek menyiapkan perlatan lain untuk
melakukan upacara nyambut lelembut, yaitu kain batik motif merak, menurut
kepercayaan disini merak bisa digambarkan sebagai makhluk penuntun kita kea lam
ghaib. Satu liter beras yang menyimbolkan hasil bumi, untuk membedakan dunia
nyata dan ghaib, sebutir telur ayam kampung yang menyimbolkan kelahiran, awal
kehidupan yang baru.
Rencana
nyambut lelembut akan dilakukan setelah sholat isya, jadi nanti malam kakek
akan kerumah Mas Joko lagi, saya yang awalnya tidak mau ikut karena terjadi hal
– hal aneh lagi dijalan tapi tak tega melihat kakek pergi sendirian. Jadi saya
memutuskan untuk ikut lagi, dan berharap kali ini semua normal – normal saja.
Setelah
melaksanakan sholat maghrib, sekitar jam setengah tujuh, Mas Joko datang
kerumah. Mungkin maksudnya untuk menjemput kakek, tapi kakek tidak mau
berangkat sebelum adzan idza tiba, saya tidak tahu apa maksudnya. Akhirnya Mas
Joko mengunggu sambil berbincang - bincang bersama ibu dan saya diruang tamu,
sementara kakek masih sibuk menyiapkan barang – barang tadi siang yang hendak
dibawa.
Setelah
adzan berkumandang dan melakukan sholat isya, kakek menghampiri kami diruang
tamu. Dia duduk sambil menyalakan sebatang rokok, sumpah baru kali ini saya
melihat kakek merokok. Karena setahu
saya kakek bukan perokok. Dan yang bikin saya heran lagi rokok yang dihisap
kakek adalah rokok lama merek sriwidari, sekedar info rokok merek sriwidari ini
biasanya bagian dari persembahan ketika upacara adat.
Seakan
mengerti dengan tatapan kakek, Mas Joko kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku
jaketnya. Sebuah benda yang dingkus plastic bening. Sebuah bungkusan kain putih
yang berbentuk pocong kecil, ukurannya sebesar lilin.
“ini
ditemukan di pojok rumah saya pak, dikubur dibawah batu, saya curiga karena
seingat saya tak pernah menaruh batu dihalaman.” Kata Mas Joko kepada Kakek.
“buka
Jok.” Kata kakek.
Kemudian
Mas Joko membuka bungkusan pocong itu, didalamnya terdapat “Harupat”. Harupat
itu bentuknya seperti lidi namun berwarna hitam. Harupat adalah bagian dari
batang phon aren. Juga sebundel rambut kusut, dan sebotol cairan merah yang
saya tak tahu apa namanya tapi yang pasti itu bukan darah, warna merahnya
bening, tampak seperti minyak angin Cuma tidak berbau saja.
“orang
ini niat banget pengen celakain kamu, hanya orang yang benar – benar sakit hati
yang melakukan ini Jok.” Ucap kakek, kemudian ia menhisap rokoknya dalam –
dalam tampak sangat menikmati sekali.
“saya
udah inget – inget, tapi perasaan saya tidak pernah berurusan serius sama orang
pak.” Entah benar atau bohong yang diucapkan Mas Joko, walaupun secara logika
tidak mungkin orang menyerang tanpa sebab kecuali orang gila, dan orang gila
tidak mungkin isengnya sampai seniat ini pikir saya.
“ya
udah ga usah diinget – inget, nanti tambah mumet. Yang terpenting sekarang
istrimu bisa pulih lagi.” Jawab kakek santai.
Kakek
mematikan rokoknya yang tinggal setengah, lalu ia mengambil bungkusan pocong
yang sejak tadi tergeletak dimeja. Mulutnya komat – kamit seperti biasa
melafalkan doa, kemudian ditiupkan pada bungkusan pocong ditangannya. Setelah
selesai kakek meletakannya kembali diatas meja sembari menyuruh ibu untuk
mengambil sebuah rantang.
“bakar
Jok!” perintah kakek.
“setelah
rantang dibawa sam ibu, dibakarlah pocongan itu oleh Mas Joko yang kemudian
abunya dimasukkan kedalam rantang. Tidak memerlukan minyak tanah karena benda –
benda itu mudah sekali terbakar, khususnya rambut dan harupat.
“ini
rantangnya kamu bawa, abunya kamu bungkus dengan kain. Dan besok pagi – pagi
kamu hanyutkan ke kali.” Perintah kakek kepada Mas Joko.
Setelah
selesai membakar pocongan, kami bersiap – siap untuk berangkat. Seperti biasa
ibu pamitan mau menginap lagi dirumah tetangga dengan kedua keponakan saya. Mas
Joko membawa peralatan dalam ransel dengan motornya, sedangkan kakek dan saya
mengikuti dari belakang. Kali ini saya sedikit tenang karena kita berangkat jam
setengah delapan malam, dimana jalanan mungkin masih ada orang yang lalu
lalang. Khususnya tukang ojeg yang pulang kemaleman dari pangkalan pasar.
Setelah
sampai, ternyata dirumah Mas Joko udah ada beberapa orang tetangganya yang
sedang menjenguk. Tapi begitu kami datang mereka berpamitan pulang, seperti
mengerti mereka tak mau mengganggu privasi. Sementara Mba Tuti tampak tenang
diranjang, walaupun masih setengah sadar. Menurut Mas Joko semenjak dari
kemaren Mba Tuti belum kumat lagi, dia udah mulai tidur tidak seperti sebelum –
sebelumnya.
“sekarang
aja pak dimulai.” Pinta Mas Joko kepada kakek.
Kakek
langsung bergerak membuka isi ranselnya, menyiapkan beras yang kemudian
dituangkan kedalam mangkok. Sebutir telur ditaruh diatas beras, sedangkan keris
ditaruh berdampingan, kakek menyuruh Mas Joko agar Mba Tuti dibopong keruang
tengah.
Digelarlah
tiker, Mba Tuti tidur terlentang diatasnya tanpa bantal, stetelah kakek
menyiprat – nyipratkan keseluruh tubuh Mba Tuti, kemudian tubuhnya ditutupi
kain batik bermotif merak yang sudah kakek bawa dari rumah. Kini Mba Tuti
terlentang seperti mayat ditutupi kain, tapi anehnya kali ini dia tidak
melawan, malah pasrah saja seperti orang kebingungan. Kakek menyuruh kami yang
berada disitu untuk membaca ayat kursi berulang – ulang. Katanya untuk menjaga
tubuhnya agar tak dimasukin setan sembarangan, selama kakek pergi untuk
menyusul Mba Tuti kealam ghaib.
Kakek
bersila sambil memejamkan mata, mulutnya komat – kamit seperti biasa melafalkan
doa. Sedangkan saya, Mas Joko beserta mertua dan adik iparnya membaca ayat
kursi tak henti – henti. Mungkin sekitar setengah jamaan tidak ada perubahan berarti
kami masih tetap seperti ini, hingga
akhirnya tubuh Mba Tuti yang tertutup kain batik itu menggelepar – gelepar
seperti ikan didaratan.
Bulu
kuduk saya merinding ketika menyaksikan kejadian tersebut, kami yang berada
dibelakang kakek saling menatap kebingungan. Mas Joko hendak menghampiri
istrinya yang masih menggelepar, tapi saya tahan. Saya mengingatkan mungkin
sebaiknya kita tidak melakukan apa – apa dulu sebelum mendengar perintah
selanjutnya dari kakek. Maka kamipun melanjutkan membaca ayat kursi seperti
yang diperintahkan tadi.
Tidak
begitu lama sekitar dua pulu menitan, tiba – tiba Mba Tuti bangun, dia menarik
nafas panjang seperti seseorang yang baru saja tenggelam dari dalam air. Sontak
kami semua loncat karena kaget, terutama mertua Mas Joko yang sudah tua
mengucapkan istighfar sambil mengelus dadanya.
“mas?”
begitu sadar Mba Tuti langsung memanggil suaminya. Kemudian ia bangun dan
memeluk ibunya yang masih merasa kaget. Kedua wanita itu berpelukan sambil
menangis.
Setelah
semuanya kondusif, dan Mba Tuti tersadar, kami duduk diruang tamu, Mas Joko
yang mungkin penasaran bertanya kepada istrinya apa yang terjadi selama dia
sakit. Maka Mba Tuti mulai menceritakan pengalaman horornya kepada kami.
Menurut
Mba Tuti kejadian itu berasal disatu hari sebelum ia sakit, waktu itu jam 11
malam ia masih ingat karena saat menonton TV dan merasa ngantuk, maka setelah
melihat jam ia memutuskan untuk tidur. Mba Tuti sendirian dirumah karena Mas
Joko sedang mengantar bawang pesenan ke daerah Tegal waktu itu.
Ketika
Mba Tuti baru beberapa menit menutup mata, terdengar suara ketukan pintu.
Kemudian ia bangun dan membuka pintu, terlihat dua orang pria berdiri
didepannya. Yang satu menggunakan kaos oblong, dan yang satu lagi menggunaka
jaket kulit. Dengan nada terburu – buru pria yang berjaket memberitahu bahwa
Mas Joko kecelakan, dan dipastikan tewas. Jasadnya sekarang berada dirumah
sakit.
Mba
Tuti yang mendengar kabar tersebut, merasa kaget. Ingatannya mungkin berada
pada titik sadar dan tidak sadar. Lututnya merasa lemas dan ingin pingsan,
bahkan ia menangis berteriak – teriak, kedua pria itu mencoba menenangkan Mba
Tuti. Menurut Mba Tuti kalau dipikir sekarang tidak masuk akal katanya, waktu
itu ia menangis cukup kencang sambil berteriak – teriak memanggil Mas Joko tapi
anehnya tak ada satu tetanggapun yang datang.
Setelah
Mba Tuti merasa tenang, kedua pria itu menyuruhnya untuk bersiap – siap pergi
kerumah sakit. Mba Tuti mengikuti saja semua perintahnya mungkin karena dia
sudah merasa syok duluan mendengar suaminya meninggal. Dan ketika kakek
bertanya bagaimana dia pergi kerumah sakit bersama kedua pria tua itu, Mba Tuti
mencoba berpikir dan mengingat – ingat.
“naik
delman pak. Astaghfirullah saya baru inget.”jawab Mba Tuti yang kemudian
mukanya berubah menjadi ketakutan.
Kalau
dipikir – pikir secara logika tak mungkin pergi kerumah sakit menggunakan
delman. Mungkin tak sadar karena selama perjalanan Mba Tuti menangis, hingga
akhirnya ia berhenti ditengah jalan. Kedua pria itu ijin untuk pergi buang air
kecil.
Tapi
cukup lama pergi, kedua pria itu belum juga datang. Mba Tuti yang dari tadi
merasa sedih hingga menghiraukan sekitar, kini ia mulai tersadar. Ia mulai
merasa takut, bahkan ketika menengok kekanan dan kekiri ia merasa awam,
jalanannya bukan jalanan seperti yang biasa lewati. Dan baru tersadar bahwa ia
ditenah hutan.
Bayangkan
ditengah hutan sendirian, duduk diatas delman hanya ditemani lampu kelenting
yang tergantung didepan. Bahkan kuda yang tadi mengangkut delmannya juga
mendadak hilang. Mab Tuti tak bisa berbuat apa – apa ketika dia ditinggalkan
kecuali menangis sendirian. Mba Tuti mencoba turun sambil memanggil – manggil
kedua pria tadi, tapi nihil tidak ada jawaban.
Posting Komentar