SANTET (Witchcraft) - Chapter 4



Sepulang dari rumah Mas Joko, saya tidur kebablasan, jam setengah satu siang baru bangun. Dan ketika hendak ke kamar mandi saya melihat kakek sedang membersihkan “perabot”. Istilah perabot ini adalah sebutan benda – benda pusaka peninggalan nenek moyang dikampung saya. Kebetulan kakek punya warisan sebuah keris dan pedang kecil mirip golok yang dikasih dari mbah buyut saya dulu, konon benda – benda pusaka itu harus dibawa saat upacara nyambut lelembut, katanya jaga – jaga kalau ada setan Bengal hendak menyerang.

Saya yang tidak ada kerjaan, kemudian hendak membantu kakek untuk membersihkannya. Tapi kakek membentak saya ketika saya mau memegang keris tsb. Katanya tidak sembarang orang bisa membersihkannya. Benda – benda pusaka ini hanya boleh dicuci saat bulan maulud saja dan satu lagi ketika hendak dipakai. Itupun saat dicuci dengan ritual atau mungkin bacaan tertentu, terlihat kakek membersihkannya tidak digosok dengan sikat atau dicelupkannya ke dalam air, tapi dibersihkan dengan jeruk nipis pelan – pelan.

Takutnya ada yang salah paham, memandikan benda pusaka bukan berarti menyembah atau mengagungkannya. Apa yang dilakukan kakek hanya sekedar menghormati, semoga tak ada orang yang menganggap bahwa perbuatan itu syirik atau menyekutukan Tuhan.

Setelah selesai membersihkan pusakanya, kemudian kakek menyiapkan perlatan lain untuk melakukan upacara nyambut lelembut, yaitu kain batik motif merak, menurut kepercayaan disini merak bisa digambarkan sebagai makhluk penuntun kita kea lam ghaib. Satu liter beras yang menyimbolkan hasil bumi, untuk membedakan dunia nyata dan ghaib, sebutir telur ayam kampung yang menyimbolkan kelahiran, awal kehidupan yang baru.

Rencana nyambut lelembut akan dilakukan setelah sholat isya, jadi nanti malam kakek akan kerumah Mas Joko lagi, saya yang awalnya tidak mau ikut karena terjadi hal – hal aneh lagi dijalan tapi tak tega melihat kakek pergi sendirian. Jadi saya memutuskan untuk ikut lagi, dan berharap kali ini semua normal – normal saja.

Setelah melaksanakan sholat maghrib, sekitar jam setengah tujuh, Mas Joko datang kerumah. Mungkin maksudnya untuk menjemput kakek, tapi kakek tidak mau berangkat sebelum adzan idza tiba, saya tidak tahu apa maksudnya. Akhirnya Mas Joko mengunggu sambil berbincang - bincang bersama ibu dan saya diruang tamu, sementara kakek masih sibuk menyiapkan barang – barang tadi siang yang hendak dibawa.

Setelah adzan berkumandang dan melakukan sholat isya, kakek menghampiri kami diruang tamu. Dia duduk sambil menyalakan sebatang rokok, sumpah baru kali ini saya melihat  kakek merokok. Karena setahu saya kakek bukan perokok. Dan yang bikin saya heran lagi rokok yang dihisap kakek adalah rokok lama merek sriwidari, sekedar info rokok merek sriwidari ini biasanya bagian dari persembahan ketika upacara adat.

Seakan mengerti dengan tatapan kakek, Mas Joko kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah benda yang dingkus plastic bening. Sebuah bungkusan kain putih yang berbentuk pocong kecil, ukurannya sebesar lilin.

“ini ditemukan di pojok rumah saya pak, dikubur dibawah batu, saya curiga karena seingat saya tak pernah menaruh batu dihalaman.” Kata Mas Joko kepada Kakek.

“buka Jok.” Kata kakek.

Kemudian Mas Joko membuka bungkusan pocong itu, didalamnya terdapat “Harupat”. Harupat itu bentuknya seperti lidi namun berwarna hitam. Harupat adalah bagian dari batang phon aren. Juga sebundel rambut kusut, dan sebotol cairan merah yang saya tak tahu apa namanya tapi yang pasti itu bukan darah, warna merahnya bening, tampak seperti minyak angin Cuma tidak berbau saja.

“orang ini niat banget pengen celakain kamu, hanya orang yang benar – benar sakit hati yang melakukan ini Jok.” Ucap kakek, kemudian ia menhisap rokoknya dalam – dalam tampak sangat menikmati sekali.

“saya udah inget – inget, tapi perasaan saya tidak pernah berurusan serius sama orang pak.” Entah benar atau bohong yang diucapkan Mas Joko, walaupun secara logika tidak mungkin orang menyerang tanpa sebab kecuali orang gila, dan orang gila tidak mungkin isengnya sampai seniat ini pikir saya.

“ya udah ga usah diinget – inget, nanti tambah mumet. Yang terpenting sekarang istrimu bisa pulih lagi.” Jawab kakek santai.

Kakek mematikan rokoknya yang tinggal setengah, lalu ia mengambil bungkusan pocong yang sejak tadi tergeletak dimeja. Mulutnya komat – kamit seperti biasa melafalkan doa, kemudian ditiupkan pada bungkusan pocong ditangannya. Setelah selesai kakek meletakannya kembali diatas meja sembari menyuruh ibu untuk mengambil sebuah rantang.

“bakar Jok!” perintah kakek.

“setelah rantang dibawa sam ibu, dibakarlah pocongan itu oleh Mas Joko yang kemudian abunya dimasukkan kedalam rantang. Tidak memerlukan minyak tanah karena benda – benda itu mudah sekali terbakar, khususnya rambut dan harupat.

“ini rantangnya kamu bawa, abunya kamu bungkus dengan kain. Dan besok pagi – pagi kamu hanyutkan ke kali.” Perintah kakek kepada Mas Joko.

Setelah selesai membakar pocongan, kami bersiap – siap untuk berangkat. Seperti biasa ibu pamitan mau menginap lagi dirumah tetangga dengan kedua keponakan saya. Mas Joko membawa peralatan dalam ransel dengan motornya, sedangkan kakek dan saya mengikuti dari belakang. Kali ini saya sedikit tenang karena kita berangkat jam setengah delapan malam, dimana jalanan mungkin masih ada orang yang lalu lalang. Khususnya tukang ojeg yang pulang kemaleman dari pangkalan pasar.

Setelah sampai, ternyata dirumah Mas Joko udah ada beberapa orang tetangganya yang sedang menjenguk. Tapi begitu kami datang mereka berpamitan pulang, seperti mengerti mereka tak mau mengganggu privasi. Sementara Mba Tuti tampak tenang diranjang, walaupun masih setengah sadar. Menurut Mas Joko semenjak dari kemaren Mba Tuti belum kumat lagi, dia udah mulai tidur tidak seperti sebelum – sebelumnya.

“sekarang aja pak dimulai.” Pinta Mas Joko kepada kakek.

Kakek langsung bergerak membuka isi ranselnya, menyiapkan beras yang kemudian dituangkan kedalam mangkok. Sebutir telur ditaruh diatas beras, sedangkan keris ditaruh berdampingan, kakek menyuruh Mas Joko agar Mba Tuti dibopong keruang tengah.
Digelarlah tiker, Mba Tuti tidur terlentang diatasnya tanpa bantal, stetelah kakek menyiprat – nyipratkan keseluruh tubuh Mba Tuti, kemudian tubuhnya ditutupi kain batik bermotif merak yang sudah kakek bawa dari rumah. Kini Mba Tuti terlentang seperti mayat ditutupi kain, tapi anehnya kali ini dia tidak melawan, malah pasrah saja seperti orang kebingungan. Kakek menyuruh kami yang berada disitu untuk membaca ayat kursi berulang – ulang. Katanya untuk menjaga tubuhnya agar tak dimasukin setan sembarangan, selama kakek pergi untuk menyusul Mba Tuti kealam ghaib.

Kakek bersila sambil memejamkan mata, mulutnya komat – kamit seperti biasa melafalkan doa. Sedangkan saya, Mas Joko beserta mertua dan adik iparnya membaca ayat kursi tak henti – henti. Mungkin sekitar setengah jamaan tidak ada perubahan berarti kami masih tetap  seperti ini, hingga akhirnya tubuh Mba Tuti yang tertutup kain batik itu menggelepar – gelepar seperti ikan didaratan.

Bulu kuduk saya merinding ketika menyaksikan kejadian tersebut, kami yang berada dibelakang kakek saling menatap kebingungan. Mas Joko hendak menghampiri istrinya yang masih menggelepar, tapi saya tahan. Saya mengingatkan mungkin sebaiknya kita tidak melakukan apa – apa dulu sebelum mendengar perintah selanjutnya dari kakek. Maka kamipun melanjutkan membaca ayat kursi seperti yang diperintahkan tadi.
Tidak begitu lama sekitar dua pulu menitan, tiba – tiba Mba Tuti bangun, dia menarik nafas panjang seperti seseorang yang baru saja tenggelam dari dalam air. Sontak kami semua loncat karena kaget, terutama mertua Mas Joko yang sudah tua mengucapkan istighfar sambil mengelus dadanya.

“mas?” begitu sadar Mba Tuti langsung memanggil suaminya. Kemudian ia bangun dan memeluk ibunya yang masih merasa kaget. Kedua wanita itu berpelukan sambil menangis.

Setelah semuanya kondusif, dan Mba Tuti tersadar, kami duduk diruang tamu, Mas Joko yang mungkin penasaran bertanya kepada istrinya apa yang terjadi selama dia sakit. Maka Mba Tuti mulai menceritakan pengalaman horornya kepada kami.
Menurut Mba Tuti kejadian itu berasal disatu hari sebelum ia sakit, waktu itu jam 11 malam ia masih ingat karena saat menonton TV dan merasa ngantuk, maka setelah melihat jam ia memutuskan untuk tidur. Mba Tuti sendirian dirumah karena Mas Joko sedang mengantar bawang pesenan ke daerah Tegal waktu itu.
Ketika Mba Tuti baru beberapa menit menutup mata, terdengar suara ketukan pintu. 

Kemudian ia bangun dan membuka pintu, terlihat dua orang pria berdiri didepannya. Yang satu menggunakan kaos oblong, dan yang satu lagi menggunaka jaket kulit. Dengan nada terburu – buru pria yang berjaket memberitahu bahwa Mas Joko kecelakan, dan dipastikan tewas. Jasadnya sekarang berada dirumah sakit.
Mba Tuti yang mendengar kabar tersebut, merasa kaget. Ingatannya mungkin berada pada titik sadar dan tidak sadar. Lututnya merasa lemas dan ingin pingsan, bahkan ia menangis berteriak – teriak, kedua pria itu mencoba menenangkan Mba Tuti. Menurut Mba Tuti kalau dipikir sekarang tidak masuk akal katanya, waktu itu ia menangis cukup kencang sambil berteriak – teriak memanggil Mas Joko tapi anehnya tak ada satu tetanggapun yang datang.

Setelah Mba Tuti merasa tenang, kedua pria itu menyuruhnya untuk bersiap – siap pergi kerumah sakit. Mba Tuti mengikuti saja semua perintahnya mungkin karena dia sudah merasa syok duluan mendengar suaminya meninggal. Dan ketika kakek bertanya bagaimana dia pergi kerumah sakit bersama kedua pria tua itu, Mba Tuti mencoba berpikir dan mengingat – ingat.

“naik delman pak. Astaghfirullah saya baru inget.”jawab Mba Tuti yang kemudian mukanya berubah menjadi ketakutan.

Kalau dipikir – pikir secara logika tak mungkin pergi kerumah sakit menggunakan delman. Mungkin tak sadar karena selama perjalanan Mba Tuti menangis, hingga akhirnya ia berhenti ditengah jalan. Kedua pria itu ijin untuk pergi buang air kecil.
Tapi cukup lama pergi, kedua pria itu belum juga datang. Mba Tuti yang dari tadi merasa sedih hingga menghiraukan sekitar, kini ia mulai tersadar. Ia mulai merasa takut, bahkan ketika menengok kekanan dan kekiri ia merasa awam, jalanannya bukan jalanan seperti yang biasa lewati. Dan baru tersadar bahwa ia ditenah hutan.

Bayangkan ditengah hutan sendirian, duduk diatas delman hanya ditemani lampu kelenting yang tergantung didepan. Bahkan kuda yang tadi mengangkut delmannya juga mendadak hilang. Mab Tuti tak bisa berbuat apa – apa ketika dia ditinggalkan kecuali menangis sendirian. Mba Tuti mencoba turun sambil memanggil – manggil kedua pria tadi, tapi nihil tidak ada jawaban.


Posting Komentar