Dua
hari berlalu, semenjak obrolan tengah malam dirumah Mas Joko. Kehidupan kembali
normal, walaupun saya belum mengerti untuk standar yang dikatan normal itu
seperti apa. Mba Tuti kembali pulih, Mas Joko sedikit demi sedikit kembali
menjalankan usahanya yang satu bulan sempat terbengkalai. Untuk penjagaan agar
tak ada yang kembali lagi menganggu Mba Tuti, kakek melakukan uopacara adat
yang dinamakan “numbal imah”.
Numbal
imah ini semacam kebudayaan lama yang masih ada dikampung saya, biasanya
dilakukan ketika sebuah rumah bru berdiri atau keluarga yang akan pindah
kerumah baru. Menurut kepercayaan penduduk dikampung saya, hal ini dilakukan
sebagai tolak bala, agar rumah tersebut terhindar dari mara bahaya dan gangguan
hal – hal yang tak kasat mata.
Numbal
imah bukan sebuah upacara besar, dengan ritual yang aneh – aneh. Hanya
menancapkan 4 bambu kuning dengan panjang sekitar 10cm di empat penjuru rumah.
Setelah itu dilakukan syukuran dengan mengundang para tetangga untuk melakukan
pengajian dengan diakhiri acara makan – makan. Jika dilihat dari sudut pandang
sosialnya, mungkin sebenernya tradisi numbal imah ini hanya untuk mereratkan
hubungan silaturahmi sesame warga.
Jangan
terlalu berpikir negative, kami hanya menjalankan tradisi. Menghormati warisan
filosofi hidup leluhur terdahulu kami. Karena upacara apapun yang dilakukan
hanyalah sebuah acara, ketentuan kita serahkan dan kembalikan pada sang
pencipta, yang bagi umat islam seperti kita yaitu Allah Subhanahuwata’ala. Saya
kira semuanya akan baik – baik saja, namun ternyata manusia memang tak bisa
lepas dari masalah. Hingga akhirnya terror yang dialami Mas Joko kini pindah ke
keluarga saya. Yang pertama kali menyadari bahwa keluarga kami sedang diganggu
adalah nenek.
Nenek
bercerita kepada saya, sebelum akhirnya dia juga bercerita kepada kakek tentang
hal – hal aneh yang dialaminya. Kejadian itu diawali ketika kami sedang bakar –
bakar sate ayam. 4 ekor ayam broiler dikirim paman saya yang baru saja panen di
peternakannya. Sekitar jam 10 malam keluarga saya masih belum tidur, masih asik
memanggang tusukan sate dihalaman belakang, dapur lebih tepatnya.
Kebetulan
rumah kakek saya memiliki dapur yang terpisah dari bagian rumah. Letaknya
beberapa meter saja dari rumah. Dapur kami ini tiang – tiangnya terbuat dari kayu,
dindingnya dari anyaman bamboo atau orang – orang biasa menyebutnya “bilik”.
Dengan atap genteng lama yang sudah berwarna coklat. Sebuah dapur yang cukup
luas, selain ditempati koleksi perabot dapur milik nenek disana juga ada bangku
berbentuk persegi empat, tempat dimana biasanya kami makan bersama – sama.
Kakek
masih sibuk mengipas – ngipas arang agar daginya cepat matang, sementara nenek
sibuk meracik bumbu kacang. Dan kedua keponakan perempuan saya tampak lahap
menikmati setiap potongan daging empuk berwarna coklat dan kecap manis.
“kok
bau amis ya pak?”. Ucap kakek saya ketika sedang mengolesi daging dengan jeruk
nipis dan kecap manis.
“ah
engga. Daging ayamkan baunya ga terlalu amis bu, ga kayak daging kambing.”
Jawab kakek.
“bukan,
bukan dari daging pak, dari luar kayaknya.” Sambil mengendus – ngendus nenek
mencari arah bau berasal.
Karena
mendengar ucapan nenek, kami semua ikut mengendus. Tapi jujur kami semua tak
mencium bau apapun. Mungkin karena penasaran nenek keluar, mencari sumber bau
berasal. Saat keluar nenek melihat sepasang mata hijau, terlihat dibawah pohon
rambutan tampak sedang mengawasi. Awalnya dia tidak curiga dan menduga seekor
kucing, karena mata kucing akan bercahaya ditempat gelap.
Mungkin
karena nenek kasihan atau mungkin hanya ingin berbagi rejeki saja, ibu melambai
– lambaikan satu tusuk sate sambil memanggil – manggil yang kira seekor kucing.
“puss…..pusss….pusss,
sini pusss.”
Tapi
tampaknya sesosok mata itu tak pernah bergeming dengan ajakan nenek saya, terus
menatap tanpa berkedip sedikitpun. Kesal karena panggilannya tidak dihiraukan,
nenek melemparkan satu tusuk sate kearah sepasang mata tersebut. Tapi masih
tetap tidak bergerak sedikitpun, nenek merasa takut sebenernya, namun dia lebih
memilih diam, kemudian masuk lagi kedapur melanjutkan aktifitasnya tanpa
membicarakannya kepada kami.
Kejadian
itu berulang, ketika nenek bangun jam 4 shubuh hendak pergi kedapur
membersihkan sisa – sisa acara bakar – bakar semalem. Maklum dikampung saya
biasanya para ibu bangun lebih pagi disbanding anak – anak dan suaminya.
Tujuannya untuk menyiapkan sarapan dan bekal yang hendak dibawa suaminya pagi –
pagi ke lading.
Tahrim
belum berkumandang dimasjid, tapi sudah terbangun karena sudah terbiasa. Ketika
hendak membuka pintu belakang rumah, sekelebat seperti ada orang yang berlari
persis didepannya. Nenek saya merasa kaget dan sedikit ketakutan, melirik
kekiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa yang dialaminya barusan bukan delusi
atau imajinasi karena belum tersadar dari tidurnya.
Namun
nihil, tak ada seorangpun yang nenek lihat. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa
barusan nyata, bahkan dia bisa merasakan hembusan angin yang barusan lari dan
getaran dari tanahnya juga terasa nyata. Ketika berjalan menuju dapur dan
hendak membuka pintunya, nenek teringat kembali kejadian tadi malam saat
melempar setusuk sate kea rah pohon rambutan. Maka dengan reflek dia kembali
mengecek pemandangan pohon rambutan, dan apa yang dilihat?! Sepasang mata itu
masih ada, berwarna hijau tampak bulat dan tak berkedip sedetikpun.
Setelah
masuk kedalam dapur, nenek mengambil korek api. Dia mencoba menyalakan tungku
kayu untuk memasak. Tapi perasaan itu tak bisa dibohongi, kaki nenek katanya
bergetar. Bulu kuduknya merinding, bayangan sepasang mata hijau itu selalu
teringat dikepalanya.
Sekedar
info, entah benar atau bohong katanya kalau bulu kuduk kita merinding karena
ketakutan, itu karena ada makhluk astral yang sedang berada didekat kita.
Karena dalam tubuh kita mengandung listrik, dan makhluk astral atau makhluk tak
kasat mata ini memiliki energy maka ketika tubuh kita didekati reflek energy
listrik didalam tubuh ini akan bereaksi.
Nenek
saya mencoba memberanikan diri dengan tetap beraktifitas dan menghirauikan
bayangan – bayangan seram dikepalanya. Namun ketika bau amis itu tercium
kembali hidungnya, nenek menyerah dan lari meninggalkan pekerjaanya didapur
yang belum selesai.
Pagi
hari nenek bercerita kepada kekek tentang apa yang terjadi semalam dan tadi
subuh, namun ketika dicek dibwah pohon rambutan tak ada apa – apa.
“kalau
sepasang mata hijau, jangan – jangan yang waktu itu dikebun tebu kek?” kata
saya kepada kakek mengingatkan kejadian waktu kita dicegat anjing hitam.
“huss…mungkin
itu Cuma kucing saja.” Jawab kakek tenang agar suasan tidak semakin panic.
Ketika
kakek pergi kesawah, nenek terus bertanya kepada saya tentang apa yang dimaksud
kejadian dikebun tebu dengan sepasang mata berwarna hijau. Tapi saya mengerti
maksud kakek, jika saya menceritakan apa yang etrjadi peristiwa itu, nenek tak
akan berani lagi bangun subuh untuk masak dan bisa kacau balau nantinya. Nenek
saya itu orangnya gampang panic.
Untuk
sekedar menengkan hati nenek, maka saya memasangkan lampu dibawah pohon
rambutan yang jaraknya beberapa meter dari dapur kami. Lampu bulat berwarna
kuning dengan daya 5 watt rasanya cukup untuk mengusir lagi kekhawatiran nenek.
Maklum letak antara rumah kami dengan tetangga sedikit renggang, dipisahkan
oleh kebun pisang yang gelap gulita kalau malam hari.
Namun
rupanya terror belum berhenti sampai disitu. Menurut nenek menjelang malam hari
ia merasa ingin buang air kecil, maka ia bergegas pergi meninggalkan tempat
tidurnya. Mata masih dalam keadaan sepet, pikiran ngantuk antara sadar dan
tidak sadar ketika ibu berdiri dikamar mandi dan melihat kearah jendela kaca
kecil, diluar sana ia melihat seorang wanita berdiri persis menatap kearahnya
dengan wajah penuh amarah.
Ketika
melihat kejadian itu, nenek tersadar seketika. Rasa kantuk telah pergi, mata
bersinar seperti bangun dipagi hari, beberapa kali dia mengucapkan istighfar,
kemudian mencuci mukanya. Walaupun merasa takut, nenek kembali melihat kearah
jendela kaca kecil kamar mandi untuk memastikan bahwa barusan bukan mimpi. Dan
wanita itu masih tetap berdiri, mengenakan kebaya putih dengan balutan kain
batik dibawahnya, berkerudung putih pula tapi rambutnya tergerai kedepan.
Nenek
yang panic segera keluar setengah berlari, dia berteriak namun suaranya tidak
keluar. Tubuhnya menggigil ketakutan setengah mati. Nenek saya segera
menggoyang – goyangkan tubuh kakek saya yang sedang tertidur pulas. “kenapa
bu?” Tanya kakek saya ketika terbangun.
Nenek
saya tidak berbicara, wajahnya pucat dengan pipi dibanjiri air mata. Dia hanya
menunjuk – nunjuk keluar, dengan tangan yang bergetar. Kakek yang mengira ada
maling sontak bangun dan berlari keluar membuka pintu. Namun nihil tak ada
siapapun diluar rumah, sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dari
kebun pisang sebelah dan semilir angin malam yang membuat tubuh ketakutan.
“kenapa
bu? Bu…nyebut..istighfar bu…” kakek mengguncang – ngguncangkan tubuh nenek
karena dia menangis karena ketakutan.
Saya
duduk disamping nenek mengusap – ngusap bahunya mencoba menenangkan. Keponakan
saya yang masih berumur 10 tahun terbangun kemudian membuatkan nenek teh manis.
Malam itu benar – benar menggemparkan, saya berkamsud menggundang tetangga agar
suasana ramai dan nenek bisa sedikit tenang, tapi kakek melarangnya. Mengingat
waktu sudah menunjukkan setengah dua malam.
Ketika
keadaan sedikit kondusif, dan nenek saya tidak ketakutan lagi kakek mulai
bertanya apa yang dialaminya.
“waktu
kekamar mandi dari kaca jendela ibu lihat ada perempuan, matanya melotot
seperti marah sama ibu. Dia sedang berdiri diluar sendirian.” Ucapa nenek yang
kemudian menangis kembali mungkin karena baying – baying itu teringat lagi.
Akhirnya
malam itu nenek dan kedua keponakan saya tidur diruang tengah, sementara saya
dikursi sofa. Kakek mungkin yang tak bisa tidur, dia pergi keluar katanya mau
berkeliling rumah untuk mengecek keadaan sekitar. Kakek juga sekalian ingin
mencari tahu apa yang sebenernya sedang terjadi.
Tapi
ketika saya hendak terlelap tidur, terdengar suara sedang berlari, mungkin itu
kakek. Getarannya bahkan masih terasa, saya yang merasa penasaran kemudian
membuka gorden kaca untuk mengecek. Dan saya melihat kakek berlari menuju kebun
pisang yang gelap gulita, entah apa yang kakek kejar kearah sana. Ingin rasanya
saya keluar, namun belum sempat saya beranjak dari kursi, tiba – tiba seorang
perempuan berdiri dihalaman depan menatap kearah saya.
Posting Komentar