SANTET (Witchcraft) - Chapter 7



Dua hari berlalu, semenjak obrolan tengah malam dirumah Mas Joko. Kehidupan kembali normal, walaupun saya belum mengerti untuk standar yang dikatan normal itu seperti apa. Mba Tuti kembali pulih, Mas Joko sedikit demi sedikit kembali menjalankan usahanya yang satu bulan sempat terbengkalai. Untuk penjagaan agar tak ada yang kembali lagi menganggu Mba Tuti, kakek melakukan uopacara adat yang dinamakan “numbal imah”.

Numbal imah ini semacam kebudayaan lama yang masih ada dikampung saya, biasanya dilakukan ketika sebuah rumah bru berdiri atau keluarga yang akan pindah kerumah baru. Menurut kepercayaan penduduk dikampung saya, hal ini dilakukan sebagai tolak bala, agar rumah tersebut terhindar dari mara bahaya dan gangguan hal – hal yang tak kasat mata.

Numbal imah bukan sebuah upacara besar, dengan ritual yang aneh – aneh. Hanya menancapkan 4 bambu kuning dengan panjang sekitar 10cm di empat penjuru rumah. Setelah itu dilakukan syukuran dengan mengundang para tetangga untuk melakukan pengajian dengan diakhiri acara makan – makan. Jika dilihat dari sudut pandang sosialnya, mungkin sebenernya tradisi numbal imah ini hanya untuk mereratkan hubungan silaturahmi sesame warga.

Jangan terlalu berpikir negative, kami hanya menjalankan tradisi. Menghormati warisan filosofi hidup leluhur terdahulu kami. Karena upacara apapun yang dilakukan hanyalah sebuah acara, ketentuan kita serahkan dan kembalikan pada sang pencipta, yang bagi umat islam seperti kita yaitu Allah Subhanahuwata’ala. Saya kira semuanya akan baik – baik saja, namun ternyata manusia memang tak bisa lepas dari masalah. Hingga akhirnya terror yang dialami Mas Joko kini pindah ke keluarga saya. Yang pertama kali menyadari bahwa keluarga kami sedang diganggu adalah nenek.

Nenek bercerita kepada saya, sebelum akhirnya dia juga bercerita kepada kakek tentang hal – hal aneh yang dialaminya. Kejadian itu diawali ketika kami sedang bakar – bakar sate ayam. 4 ekor ayam broiler dikirim paman saya yang baru saja panen di peternakannya. Sekitar jam 10 malam keluarga saya masih belum tidur, masih asik memanggang tusukan sate dihalaman belakang, dapur lebih tepatnya.

Kebetulan rumah kakek saya memiliki dapur yang terpisah dari bagian rumah. Letaknya beberapa meter saja dari rumah. Dapur kami ini tiang – tiangnya terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bamboo atau orang – orang biasa menyebutnya “bilik”. Dengan atap genteng lama yang sudah berwarna coklat. Sebuah dapur yang cukup luas, selain ditempati koleksi perabot dapur milik nenek disana juga ada bangku berbentuk persegi empat, tempat dimana biasanya kami makan bersama – sama.

Kakek masih sibuk mengipas – ngipas arang agar daginya cepat matang, sementara nenek sibuk meracik bumbu kacang. Dan kedua keponakan perempuan saya tampak lahap menikmati setiap potongan daging empuk berwarna coklat dan kecap manis.

“kok bau amis ya pak?”. Ucap kakek saya ketika sedang mengolesi daging dengan jeruk nipis dan kecap manis.
“ah engga. Daging ayamkan baunya ga terlalu amis bu, ga kayak daging kambing.” Jawab kakek.
“bukan, bukan dari daging pak, dari luar kayaknya.” Sambil mengendus – ngendus nenek mencari arah bau berasal.

Karena mendengar ucapan nenek, kami semua ikut mengendus. Tapi jujur kami semua tak mencium bau apapun. Mungkin karena penasaran nenek keluar, mencari sumber bau berasal. Saat keluar nenek melihat sepasang mata hijau, terlihat dibawah pohon rambutan tampak sedang mengawasi. Awalnya dia tidak curiga dan menduga seekor kucing, karena mata kucing akan bercahaya ditempat gelap.

Mungkin karena nenek kasihan atau mungkin hanya ingin berbagi rejeki saja, ibu melambai – lambaikan satu tusuk sate sambil memanggil – manggil yang kira seekor kucing.
“puss…..pusss….pusss, sini pusss.”
Tapi tampaknya sesosok mata itu tak pernah bergeming dengan ajakan nenek saya, terus menatap tanpa berkedip sedikitpun. Kesal karena panggilannya tidak dihiraukan, nenek melemparkan satu tusuk sate kearah sepasang mata tersebut. Tapi masih tetap tidak bergerak sedikitpun, nenek merasa takut sebenernya, namun dia lebih memilih diam, kemudian masuk lagi kedapur melanjutkan aktifitasnya tanpa membicarakannya kepada kami.

Kejadian itu berulang, ketika nenek bangun jam 4 shubuh hendak pergi kedapur membersihkan sisa – sisa acara bakar – bakar semalem. Maklum dikampung saya biasanya para ibu bangun lebih pagi disbanding anak – anak dan suaminya. Tujuannya untuk menyiapkan sarapan dan bekal yang hendak dibawa suaminya pagi – pagi ke lading.

Tahrim belum berkumandang dimasjid, tapi sudah terbangun karena sudah terbiasa. Ketika hendak membuka pintu belakang rumah, sekelebat seperti ada orang yang berlari persis didepannya. Nenek saya merasa kaget dan sedikit ketakutan, melirik kekiri dan ke kanan untuk memastikan bahwa yang dialaminya barusan bukan delusi atau imajinasi karena belum tersadar dari tidurnya.

Namun nihil, tak ada seorangpun yang nenek lihat. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa barusan nyata, bahkan dia bisa merasakan hembusan angin yang barusan lari dan getaran dari tanahnya juga terasa nyata. Ketika berjalan menuju dapur dan hendak membuka pintunya, nenek teringat kembali kejadian tadi malam saat melempar setusuk sate kea rah pohon rambutan. Maka dengan reflek dia kembali mengecek pemandangan pohon rambutan, dan apa yang dilihat?! Sepasang mata itu masih ada, berwarna hijau tampak bulat dan tak berkedip sedetikpun.

Setelah masuk kedalam dapur, nenek mengambil korek api. Dia mencoba menyalakan tungku kayu untuk memasak. Tapi perasaan itu tak bisa dibohongi, kaki nenek katanya bergetar. Bulu kuduknya merinding, bayangan sepasang mata hijau itu selalu teringat dikepalanya.

Sekedar info, entah benar atau bohong katanya kalau bulu kuduk kita merinding karena ketakutan, itu karena ada makhluk astral yang sedang berada didekat kita. Karena dalam tubuh kita mengandung listrik, dan makhluk astral atau makhluk tak kasat mata ini memiliki energy maka ketika tubuh kita didekati reflek energy listrik didalam tubuh ini akan bereaksi.

Nenek saya mencoba memberanikan diri dengan tetap beraktifitas dan menghirauikan bayangan – bayangan seram dikepalanya. Namun ketika bau amis itu tercium kembali hidungnya, nenek menyerah dan lari meninggalkan pekerjaanya didapur yang belum selesai.

Pagi hari nenek bercerita kepada kekek tentang apa yang terjadi semalam dan tadi subuh, namun ketika dicek dibwah pohon rambutan tak ada apa – apa.

“kalau sepasang mata hijau, jangan – jangan yang waktu itu dikebun tebu kek?” kata saya kepada kakek mengingatkan kejadian waktu kita dicegat anjing hitam.
“huss…mungkin itu Cuma kucing saja.” Jawab kakek tenang agar suasan tidak semakin panic.

Ketika kakek pergi kesawah, nenek terus bertanya kepada saya tentang apa yang dimaksud kejadian dikebun tebu dengan sepasang mata berwarna hijau. Tapi saya mengerti maksud kakek, jika saya menceritakan apa yang etrjadi peristiwa itu, nenek tak akan berani lagi bangun subuh untuk masak dan bisa kacau balau nantinya. Nenek saya itu orangnya gampang panic.

Untuk sekedar menengkan hati nenek, maka saya memasangkan lampu dibawah pohon rambutan yang jaraknya beberapa meter dari dapur kami. Lampu bulat berwarna kuning dengan daya 5 watt rasanya cukup untuk mengusir lagi kekhawatiran nenek. Maklum letak antara rumah kami dengan tetangga sedikit renggang, dipisahkan oleh kebun pisang yang gelap gulita kalau malam hari.

Namun rupanya terror belum berhenti sampai disitu. Menurut nenek menjelang malam hari ia merasa ingin buang air kecil, maka ia bergegas pergi meninggalkan tempat tidurnya. Mata masih dalam keadaan sepet, pikiran ngantuk antara sadar dan tidak sadar ketika ibu berdiri dikamar mandi dan melihat kearah jendela kaca kecil, diluar sana ia melihat seorang wanita berdiri persis menatap kearahnya dengan wajah penuh amarah.
Ketika melihat kejadian itu, nenek tersadar seketika. Rasa kantuk telah pergi, mata bersinar seperti bangun dipagi hari, beberapa kali dia mengucapkan istighfar, kemudian mencuci mukanya. Walaupun merasa takut, nenek kembali melihat kearah jendela kaca kecil kamar mandi untuk memastikan bahwa barusan bukan mimpi. Dan wanita itu masih tetap berdiri, mengenakan kebaya putih dengan balutan kain batik dibawahnya, berkerudung putih pula tapi rambutnya tergerai kedepan.

Nenek yang panic segera keluar setengah berlari, dia berteriak namun suaranya tidak keluar. Tubuhnya menggigil ketakutan setengah mati. Nenek saya segera menggoyang – goyangkan tubuh kakek saya yang sedang tertidur pulas. “kenapa bu?” Tanya kakek saya ketika terbangun.

Nenek saya tidak berbicara, wajahnya pucat dengan pipi dibanjiri air mata. Dia hanya menunjuk – nunjuk keluar, dengan tangan yang bergetar. Kakek yang mengira ada maling sontak bangun dan berlari keluar membuka pintu. Namun nihil tak ada siapapun diluar rumah, sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dari kebun pisang sebelah dan semilir angin malam yang membuat tubuh ketakutan.

“kenapa bu? Bu…nyebut..istighfar bu…” kakek mengguncang – ngguncangkan tubuh nenek karena dia menangis karena ketakutan.

Saya duduk disamping nenek mengusap – ngusap bahunya mencoba menenangkan. Keponakan saya yang masih berumur 10 tahun terbangun kemudian membuatkan nenek teh manis. Malam itu benar – benar menggemparkan, saya berkamsud menggundang tetangga agar suasana ramai dan nenek bisa sedikit tenang, tapi kakek melarangnya. Mengingat waktu sudah menunjukkan setengah dua malam.

Ketika keadaan sedikit kondusif, dan nenek saya tidak ketakutan lagi kakek mulai bertanya apa yang dialaminya.
“waktu kekamar mandi dari kaca jendela ibu lihat ada perempuan, matanya melotot seperti marah sama ibu. Dia sedang berdiri diluar sendirian.” Ucapa nenek yang kemudian menangis kembali mungkin karena baying – baying itu teringat lagi.
Akhirnya malam itu nenek dan kedua keponakan saya tidur diruang tengah, sementara saya dikursi sofa. Kakek mungkin yang tak bisa tidur, dia pergi keluar katanya mau berkeliling rumah untuk mengecek keadaan sekitar. Kakek juga sekalian ingin mencari tahu apa yang sebenernya sedang terjadi.


Tapi ketika saya hendak terlelap tidur, terdengar suara sedang berlari, mungkin itu kakek. Getarannya bahkan masih terasa, saya yang merasa penasaran kemudian membuka gorden kaca untuk mengecek. Dan saya melihat kakek berlari menuju kebun pisang yang gelap gulita, entah apa yang kakek kejar kearah sana. Ingin rasanya saya keluar, namun belum sempat saya beranjak dari kursi, tiba – tiba seorang perempuan berdiri dihalaman depan menatap kearah saya.


Posting Komentar