5 Alasan Konyol Yang Bisa Menghambat Lo Belajar Bahasa Asing


Ngomongin bahasa asing akhir – akhir ini gue lagi concern banget sama tiga bahasa ini, Inggris, Mandarin dan terakhir Thailand. Why? Yang pertama bahasa inggris tu simple banget sebenarnya kalau dipelari selain karena ini bahasa internesyenel dan yang kedua Mandarin karena gue suka historigrafinya penulisan mandarin dan yang terakhir gue lagi embbben banget sama film – film Thailand walaupun sebenrnya gue juga udah sedikit ni bahasa tapi buat memperlancar.
Seperti pepatah mengatakan “Learning is a never ending process”…..so gak ada alesan buat berhenti belajar selama kita masih betah hidup di dunia ini. Begitu juga dengan belajar bahasa asing. Belajar bahasa asing bukan Cuma bisa memberikan manfaat yang besar buat kita, tapi juga bisa bikin tingkat kekecean lu naik beberapa level loh!!...
Jadi jangan males belajar bahasa asing yaahhh, apalagi cumin karena alesan – alesan konyol yang gue bahas dibawah ini.


1. “Ngapain belajar bahasa asing? Orang ane gak bakal ke luar negeri….” 


Ini sepertinya alesan konyol yang paling akut buat diutarakan. Dan sayangnya banyak juga orang yang berpendapat seperti ini. Mereka pikir dengan Cuma diem – diem aja disini mereka gak butuh belajar bahasa asing karena toh semua orang sudah cukup mengerti dengan bahasa local saja. Tapi mereka sadar gak sehh,  Banyak juga tuh orang yang gak bisa bahasa asing malah bisa tuh melancong ke luar negeri, yaa asal ada kesempatan sama duit sih bisa – bisa aja…
Kita lurusin dulu kesalahan persepsinya, belajar bahasa asing bukan buat modal melancong ke luar negeri doing coyy!!! Tapi buat ningkatin kualitas diri kita. Kita mungkin emang gak niat pergi keluar negeri, tapi kan orang asing banyak tuh yang niat jalan – jalan ke negeri kita. Gak mau bisa ngobrol – ngobrol sama mereka?


2. “Gue mah orangnya ga pede-an euyy, nantinya takut gak berani ngomong….”


Belom dicoba kok udah nyerah sehh? Ayo belajar dulu, siapa tau begitu lu bisa, lu malah jadi punya kepercayaan diri, keberanian dan keinginan nunjukkin bakat lu berbahasa asing. Lagi pula aspek berbahasa kan bukan cuman bicara aja. Ada aspek lainnya, seperti menulis, mendengarkan, atau membaca.
Jadi kalo lu emang segitu introvertnya sampe gak berani ngomong, lu kan masih bisa nulis artikel berbahasa asing, ngerti asrtinya pas nemu artikel bahasa asing, ngerti artinya kalo nyanyi lagu berbahasa asing atau lu bisa nonton film tanpa subtitle! Asyik kan? Belajar bahasa asing nggak sekaku yang lu pikirin kok…


3. “Udah terlalu tua kayaknya buat belajar, udah susah ngerti, udah banyak yang dipikirin….”


“kalo dulu pas masi muda sih bisa, masih seger pikirannya, sekarang sih udah susah, udah lemot…”
Pasti lu pernah atau bahkan sering denger orang bicara kayak gitu. Mereka menganggap kalo usia itu factor penghambat seseorang buat bisa memahami sesuatu dengan cepat. Jadi kalo belajar, mereka bakal susah banget bisanya.
Well, memang semakin bertambah usia kita, kemampuan otak kita dalam memproses informasi juga bakal menurun performanya, tapi bukan berarti kita gak bisa belajar. Usia itu bukan satu – satunya factor yang mempengaruhi kecepatan belajar lohhh, masih ada juga factor – factor lain yang bisa menunjang kita buat belajar bahasa asing, seperti factor kecerdasan, atau factor lingkungan belajar juga bisa mempengaruhi kecepatan kita dalam belajar. Dan ada satu lagi factor terbesar yang bisa kita berdayakan untuk bisa belajar cepat, apa itu??? MOTIVASI


4. “Bahasa inggris sekadarnya aja kayaknya cukup, hari gini siapa sih yang ga paham bahasa inggris?”



Yaaaa, gak salah juga sih, tapi gak bisa dibilang bener juga. Kalo lo mau belajar bahasa inggris doing ya monggo, tapi jangan sekadarnya juga. Jangan mentang – mentang orang di dunia ini banyak yang paham Bahasa inggris, jadi lu cukup belajar secukupnya aja, lalu lo plintat – plintut ngomong English sekenanya, plus dibantu bahasa isyarat dan bahasa Tarzan mereka bakal mengerti apa yang lo omongin. Yaa ga gitu juga….
Bahasa inggris emang digunakan oleh hampir seperempat populasi dunia, jadi lo bisa ngerasa aman kalo bisa Bahasa inggris, bebas mau kemanapun. Tapi jangan lupa juga, masih ada sekitar 5 milyaran orang lainnya di dunia ini yang bukan penutur Bahasa Inggris. Ga ada salahnya juga kan lo belajar bahasa lainnya, biar lo tambah cakap dan cakep….


5. “ Gua ga ada waktu…..”


Setiap manusia di dunia udah Tuhan kasih jatah waktu yang sama dalam sehari 24 jam! Tapi kenapa ada orang yang sukses dan ada orang yang nggak?? Bedanya adalah, orang sukses tau cara mengatur apa yang layak untuk dijadikan prioritas dari kegiatan – kegiatannya. Jadi, kalo banyak orang yang berhasil membangun kerajaan bisnisnya dari nol, berhasil menyebarkan unit usahanya secara nasional bahkan dunia, kenapa kita gak berhasil “Cuma” untuk belajar bahasa asing? Jadikan prioritas!!
Waktu bukan lagi kendala untuk belajar bahasa asin sekarang. Belajar bahasa asing gak harus selalu di tempat kursus ato les kok. Manfaatkan media online!! Lo tau nggak, kalo orang Indonesia itu rata – rata ngabisin waktu 5,5 jam dalam sehari buat mantengin layar smartphone mereka, dan mantengin youtube seenggaknya 1 jam dalam sehari. Jadi bisa dong ngeluangin waktu sedikit buat cari – cari referensi buat belajar bahasa asing?


Nah itulah alesan konyol yang kadang menjadi kendala kita buat belajar bahasa asing yang dampaknya menurut gue tambah kece, kemungkinan melongo banget pas ada bule ngomong ama lo dan keep learning yaaaahhhh

SANTET (Witchcraft) - Chapter 13 ( END )



Waktu terus berjalan menghapus kenangan lama dengan kenangan baru. Namun salah satu diantara kenangan – kenangan  itu aka ada salah satu yang membekas dan menjadi penghuni tetap dalam ingatanmu.

Sore itu saya sedang duduk diteras rumah bersama kakek, menatap lembayung sore yang terlukis dilangit sembari menikmati the hangat buatan nenek. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengutarakan sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan sedari dulu.

“kek sebenarnya apa yang dikatakan ki merah diruangannya kepada kakek ketika kita datang kerumahnya malam itu.” Lalu kakek mulai membuak mulut hendak menjawab pertanyaan saya.

Sekitar jam 9 malam, tiba – tiba terdengar suara ketukan. Ki merah yang sedang tertidurpun tersadar dan segera membuka pintu. Terlihat sosok seorang lelaki tua sekitar lima puluh tahun atau enam puluh tahunan berdiri diluar. Raut wajahnya tampak lelah, dengan suara yang berat pria tersebut mulai berbicara.

“4 tahun yang lalu saya memiliki seorang anak gadis, dia anak yang baik dan juga penurut. Seperti remaja pada umumnya setelah lulus SMA dia ingin pergi ke kota. Datanglah seorang pemuda yang menawari pekerjaan, anak saya sangat antusias ketika ditawari kerja, begitu pula dengan saya yang juga ikut senang bila anak saya senang.” Ucap pria tersebut kepada ki merah.

“akhirnya anak saya bekerja, walaupun bukan dikantoran, hanya sebuah restoran tapi bagi anak saya itu tidak apa – apa. Aki masih ingat dengan pemuda yang telah berjasa mencarikan pekerjaan untuk saya? Ternyata dia memendam perasaan pada anak saya. Setiap pulang dari kota pemuda itu selalu mengantarnya, semua hal dia lakukan selayaknya seorang pemuda yang sedang kasmaran untuk menarik perhatiannya.” Lanjut pria tersebut.

“tapi saya tak menyangka, ternyata anak saya tak membalas perasaan pemuda tersebut. Karena anak saya  memiliki perasaan pada lelaki lain, yang ternyata adalah temannya ditempat kerja. Hingga akhirnya saya menyuruh pemuda yang anak saya taksir tersebut untuk datang melamar kerumah.”

“terus?” ki merah tampak semakin penasaran.

“acara pertunangan telah dilakukan, saya dan pihak keluarga kekasih anak saya telah merencanakan tanggal pernikahan. Namun seminggu setelah pertunangan, kekasih anak saya datang kembali, dia hendak membatalkan pernikahan, saya tak tahu alasannya. 

Tentu saja hal tersebut membuat anak saya sakit hati, dan yang lebih menyakitkan bagi saya adalah kabar ini sudah menyebar kepada warga kampung, anak saya tak mau keluar rumah karena dia malu bertemu dengan orang. Tekanan dari omongan orang – orang dan sakit hati karena telah dicampakan tak bisa lagi ditahan oleh anak saya, hingga akhirnya ketika saya pulang dari sawah.” Pria tua itu mengeluarkan air mata, seperti tercekak ditenggorokannya dia menahan omongannya.

“jasad anak saya sudah tergantung.” Seperti mengingat kenangan lama, pria tua ini kini menangis tak bisa lagi menahan emosinya.

“seminggu setelah kematian anak saya, seorang pemuda datang untuk meminta maaf. Katanya dia tak menyangka perbuatan isengnya akan berakhir seperti ini.”

“siapa pemuda ini?” Tanya ki merah.

“pemuda yang cintanya ditolak oleh anak saya itu ki, awalnya saya tak terima dan sangat marah sekali. Tapi saya berpikir ulang, mungkin ini sudah kehendak Tuhan. Saya memaafkannya walaupun dengan berat hati.”

“lalu apa tujuanmu datang kemari.” Tanya ki merah lagi.

“walaupun saya sudah memaafkan dan mencoba melupakan, namun nyatanya tidak dengan orang – orang. Mereka terus membicarakan dan membuat dugaan – dugaan yang tak berdasar. Kabar kematian dan gagalnya pernikahan anak saya seperti sebuah cerita legenda terus menyebar dari mulut ke mulut dengan bumbu yang luar biasa pedas. Ada yang menuduh pernikahan anak saya batal karena calon suaminya sudah memiliki istri, ada yang menuduh bahwa anak saya Cuma korban birahi lelaki kota saja, dan segudang dugaan – dugaan lainnya yang mereka ciptakan dengan dasar imajinasi.”

“saya sudah tidak tahan lagi ki, selama tiga tahun hidup dengan lirikan dan tuduhan orang. Hingga rasa dendam yang saya sudah coba kubur dalam – dalam ini ternyata tak bisa saya sembunyikan lagi. Saya ingin pemuda itu merasakan apa yang anak saya rasakan, bahkan sampai mati.” Lanjut pria tua itu.

“siapa yang memberitahumu bahwa aku bisa membantumu?” Tanya ki merah lagi.

“waktu saya masih muda, kisah aki dan keluarga Eka sampai kekampung saya ki.”

“ohh, jadi kabar kalau aku menyantet Eka telah menyebar kemana – mana .” ucap ki merah dengan wajah terlihat kesal.

“seperti yang sudah saya bilang ki, kabar buruk seperti legenda yang akan disebarkan dari mulut ke mulut oleh orang – orang.”

“mereka tak pernah tahu alasanku melakukan itu kepada Eka, hanya melemparkan tuduhan yang tak berdasar seperti yang kau ucapkan. Sama seperti tuduhan yang mereka arahkan kepada anakmu.”

“saya tak punya alasan lagi untuk hidup ki. Usia saya sudah tua, penerus saya sudah lebih dulu pergi ke surge. Saya ingin mati dengan tenang tanpa harus menyimpan rasa dendam.”

Malam itu sebuah kesepakatan terjadi, ki merah bersedia membantu. Walaupun pria tua itu menyerahkan sejumlah uang yang ia bungkus dalam amplop coklat. Tapi lebih dari sekedar imbalan ki merah mempunyai motivasi lain dibalik semua itu.

“siapa nama pria itu?” Tanya ki merah.

“Joko ki.”

Begitulah jawaban yang kakek berikan sore itu, terdengar seperti sebuah dongeng untuk cerita nyata yang pernah terjadi. Saya tak tahu lagi kabar Mas Joko setelah istrinya sembuh seperti apa, terakhir dia datang kerumah hanya mengucapkan terima kasih sambil membawa sekeranjang buah. Sementara ki merah semenjak kejadian itu citranya semakin buruk di masyarakat, dan sudah jarang tamu yang datang dari kota kerumahnya.

Arwah wanita yang saya lihat pas kejadian dirumah pak bulbul entah bagaimana nasibnya, apa dia telah pergi kea lam baka atau masih penasaran dan berkeliaran. Atau jangan – jangan dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali melampiaskan dendam, saya tak pernah tahu. Dunia perghaiban tentu saja berada diluar kuasa dan pengetahuan saya.

Kakek selalu bilang sejarah hidup seseorang akan selalu terulang entah kepada dirinya, keturunannya atau pada orang sekitarnya. Mungkin saya bisa belajar dari pengalaman hidup yang pernah saya lalui ini, tapi saya tak mengerti bagian mana yang harus saya pelajari, maka saya memutuskan untuk bertanya kepada kakek.

“pak apa pelajarn hidup yang bisa saya ambil dari kejadian ini?”

Seperti sifat kakek yang tak mau menggurui, dia bukan menjawabnya secara langsung tapi malah dengan sebuah cerita, setelah menyeruput teh hangat kakek mulai bercerita.
Seorang pria yang sedang bekerja diladang tiba – tiba saja mendapat kabar dari temannya bahwa anaknya sakit parah. Dengan tergesa – gesa tanpa membasuh dulu kotoran lumpur dalam tubuhnya dia menyalakan motor bebek yang dibawanya, dia memacu kendaraannya dengan kencang membawa perasaan was – was karena takut terjadi sesuatu dengan anaknya.

Brakkk!!!! Tanpa diduga disebuah kelokan dia menabrak seorang pria. Warga yang melihat kejadian itu geram dan langsung menghakiminya.

“makanya kalau bawa motor jangan ngebut – ngebut.” Teriak salah satu warga sambil melayangkan pukulannya bertubi – tubi.

Pria yang ditabrak itu akhirnya tewas, karena mengeluarkan banyak darah dari kepalanya. Melihat korbannya mati, warga semakin geram dan membabi buta menghakimi , hingga akhirnya pria yang membawa motor bebek itu juga ikut tewas.
Hari itu ada dua mayat yang tergeletak dijalan dan ada dua anak yang telah menjadi yatim. Namu ada puluhan warga yang mencuci tangannya disungai karena terkena cipratan darah.

“hah, maksudnya apa kek?” saya kebingungan setelah selesai mendengar cerita kakek.

Tapi kakek malah berlalu masuk kedalam rumah meninggalkan saya sendiri yang masih kebingungan, hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang.


TAMAT

SANTET (Witchcraft) - Chapter 12



Saya tiba dirumah Mas Joko, ternyata rombongan pak lurah sudah berkumpul disana. Kakek menceritakan kejadian yang kami alami barusan kepada mereka. Setelah mencuci luka kakek dengan air hangat dan membungkusnya dengan kain, kami duduk dihalaman depan bermusyawarah mengenai tindakan yang akan selanjutnya dilakukan.

“Jok, kalau kamu benar – benar sayang sama istrimu sebaiknya kamu berkata jujur. Apakah kamu punya urusan atau masalah dengan seseorang?” Tanya kakek kepada Mas Joko.

“urusan apa pak? Saya tetap curiga terhadap si kardi. Dia pasti pelakunya.” Ucapa Mas Joko dengan nada marah.

“bukan, urusan dengan perempuan. Seseorang yang sudah meninggal?” lanjut kakek.

“perempuan, sudah meninggal.” Mas Joko berpikir sejenak, menyaring ingatan dengan kata kunci urusan, perempuan dan meninggal.

“seingat saya, saya tak pernah menyakiti orang pak.” Jawab Mas Joko.

“tidak menyakiti menurut kita belum tentu untuk orang lain. Kadang kita melakukan hal yang kita anggap biasa saja, tapi menurut orang itu menyakitkan. Coba diingat – ingat.”

Semua orang disana memperhatikan wajah Mas Joko yang kebingungan, dia sedang berusaha mengingat kesalahan yang mungkin saja telah diperbuatnya. Tapi sepertinya sekeras apapun dia mencoba mengingat, memori itu belum ia dapatkan.
Ketika kami sedang berkumpul, tiba – tiba dari arah jalan terlihat seorang laki – laki tengah berlari menuju kearah kami.

“pak lurah…..pak lurah….saya lihat Tuti!!” teriak pria tersebut.

Kami semua kahet, terutama Mas Joko. Warga langsung mengerumini pria yang baru datang tersebut seraya bertanya apa maksud dari ucapannya. Saya tidak mendengar dengan jelas karena sedang duduk bersama kakek tidak menghampiri. Tapi yang pasti warga termasuk pak lurah dan Mas Joko pergi mengikuti pria tersebut. Saya yang masih belum paham situasinya, diajak kakek untuk mengikuti mereka dari belakang.
Cukup lama saya dan kakek mengikuti rombongan, kami tiba disebuah kebun jagung, diujung sana ada stu rumah yang tampak mencolok, disinari lampu warna kuning dihalaman depannya tampak kontras ditengah kegelapan, karena tidak ada lagi rumah lain disekitarnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampak pria yang menuntut kami sedari tadi menunjuk – nunjuk rumah tersebut.

Semakin kami berjalan mendekati rumah itu, samar – samar terdengar suara tangisan perempuan, semakin kami dekat lagi suara itu semakin terdengar jelas. Dan mneurut Mas Joko itu adalah suara tangisan Mba Tuti. Saya tak tahu rumah siapa itu, tapi begitu kami mendekat, Mas Joko berlari dengan segera disusul oleh beberapa warga.
Saya dan kakek masih berjalan pelan dibelakang, tapi begitu pintu rumah yang bkami tuju dibuka, beberapa warga sontak berteriak karena kaget. Karena saya penasaran, saya berlari melihat apa yang terjadi, meninggalkan kakek sendirian.

Kaget bukan kepalang, sesosok tubuh pria tergantung dipintu kamar. Lehernya terikat seutas tali, mungkin pria itu bunuh diri. Jika kamu pernah lihat seorang gantung diri, itu akan menjadi memori membekas dikepala seumur hidupmu. Wajahnya melotot dengan lidah terjulur, seperti ekspresi orang yang menahan sakit luar biasa.
Pria itu sudah tua mungkin umurnya sekitar lima puluh atau enam puluhan, mengenakan kaos oblong dan celana pendek, wajahnya terlihat biru dengan urat diwajahnya terlihat jelas. Dan yang bikin mencengangkan lagi, dibawah jasad yang menggantung itu terlihat Mba Tuti sedang menangis meraung – raung sambil memegang kaki si mayid.

“Tuti….tuti….tuti…apa yang kamu lakukan?” ucap Mas Joko, tapi dia tak berani mendekatinya.

Beberapa warga kebingungan termasuk saya, apa hubungan dari kejadian Mba Tuti dengan mayat yang tergantung ini. Sedangkan pak lurah langsung sibuk memerintahkan beberapa warganya untukmenghubungi rekan – rekannya, seperti ketua RT dan RW karena ada kejadian yang menggemparkan ini.
Mendengar teriakan Mas Joko dan warga, Mba Tuti langsung berbalik badan. Dengan pipi dipenuhi air mata dia berteriak sekencang – kencangnya sampai kami menutup telinga.

“bangsattttt kau Joko, taikkk!!!” teriak Mba Tuti.
Beberapa warga mencoba menghampiri Mba Tuti untuk menenangkan, tapi belum sempat mendekat Mba Tuti berlari kearah dapur dan mengambil parang yang terselip didinding dapur.

“kubunuh kalian semua haahhh….setannnn!!! kubunuh kalian!!!” teriak Mba Tuti sambil mengacungkan parang.

Malam itu benar – benar membuat warga kampung Mas Joko gempar. Tidak begitu lama para aparat desa bermunculan, diikuti beberapa warga baru yang mungkin penasaran. Sedangkan Mba Tuti masih mengamuk dibelakang rumah.
Setelah saya bertanya – Tanya mengenai asl – usul jasad yang tergantung itu ternyata namanya adalah pak bulbul. Saya tak menanyakan lebih lanjut bagaimana riwayatnya sampai bisa dia nekat mengakhiri hidup.

“turunkan saja, kasihan pak lurah.” Celetuk salah satu warga sambil menunjuk kearah jasad pak bulbul.

“waduh saya bingung, ini harus lapor polisi dulu atau langsung diturunkan saja mayatnya.” Ucap pak lurah sambil garuk – garuk kepala. Mungkin ini kejadian untuk pertama kali ia alami selama menjabat jadi kepala desa.

Sedangkan kakek dan saya pergi kebelakang rumah untuk melihat Mba Tuti yang masih mengamuk. Kali ini Mba Tuti benar – benar sulit untuk ditenangkan, dengan jalan yang masih tertatih – tatih kakek maju kedepan, berhadap – hadapan langsung dengan Mba Tuti sementara warga yang lain menyaksika dari belakang.

“katakana siapa dirimu dan apa yang kamu inginkan?”

“Tanya sikeparat itu siapa aku.” Jawab Mba Tuti seraya menunjuk Mas Joko.

“bisa kamu letakan dulu parangnya, kita omongkan ini baik – baik.” Kata kakek.

“hah, apa kau bilang, baik – baik? Sementara bapakku mati gara – gara dia kamu bilang kita harus bicara baik – baik.” Kata Mba Tuti dengan nada geram.

Ketika kami sedang bernegoisasi, dari kejauhan tampak seorang pria tengah berlari. Samar – samar aku mengenal sosok itu, dan ketika semakin mendekat saya jadi semakin yakin bahwa pria itu adalah aki merah.

“ibliss jahanam, kau membunuh peliharaanku. Keluar kau dari tubuh wanita itu hadapi aku.” Teriak ki merah dengan nada marah.

Malam itu benar – benar gempar, Mba Tuti yang dihadapi dua pria, kakek dan ki merah disaksikan warga kampung. Sedangkan pak lurah beserta aparaturnya sibuk mengurus mayat pak bulbul.

“kau juga ikut andil dalam mematikan bapakku dukun sialan.” Ucap Mba Tuti ketika melihat ki merah.

Tanpa basa basi Mba Tuti meloncat kea rah ki merah sembari menyabetkan parang yang dipegangnya. Untung ki merah mengelak dengan gesit, tapi Mba Tuti tambah kesal dan melancarkan serangan membabi buta. Dan diantara sabetannya yang bertubi – tubi itu akhirnya telak satu sabetan berhasil menghujam beberapa jari ki merah.

Cratttt!!! Darah muncrat ke tanah, diikuti 3 potong jari yang terlepas dari tangan ki merah. Begitu ki merah tersungkur dan Mba Tuti hendak meluncurkan sabetan selanjutnya yang mengarah ke kepala, kakek melepaskan tendangan ke tubuh Mba Tuti hingga ia terpental jauh.

Mba Tuti tambah geram, dia segera banging dan langsung menyerang kakek dengan mengibas – ngibaskan parangnya tanpa arah tujuan. Tapi belum sempat parang itu mendekati kakek, kini tendangan ki merah telak membuat tubuh Mba Tuti terpental kembali.

Mungkin karena tak tega melihat tubuh istrinya menjadi bulan – bulanan kedua pria, Mas Joko maju kedepan. Tiba – tiba saja tubuhnya ambruk, Mas Joko bersujud didepan Mba Tuti. Dia menangis sembari beberapa kali mengucapkan kata maaf.

“maafkan saya sari, maafkan saya.”

Mendengar ucapan Mas Joko membuat saya sedikit kaget, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi raut wajah beberapa warga tampak biasa, seperti sudah mengetahui ada hal diantara Mas Joko dengan sosok yang masuk dalam tubuh Mba Tuti tersebut.

“apa kau bilang maaf? Apa kata maaf bisa membayar semuanya.” Ucap Mba Tuti yang sudah sedikit tenang.

“apa yang kau inginkan sari, apa yang harus aku lakukan untuk menebusnya.”

Ketika Mba Tuti hendak mengayunkan parangnya untuk menebas leher Mas Joko. Tiba – tiba ki merah meloncat menerkam tubuh Mba Tuti. Kemudian ki merah berteriak meminta bantuan warga untuk memegang tubuh Mba Tuti. Singkat cerita, Mba Tuti kini terikat pada pohon, walaupun tubuhnya terus meronta – ronta tapi ia tak kuasa membuka ikatan tali yang sangat kencang.

Saya kemudian membopong kakek kebelakang, tampaknya dia sudah lelah dan luka dilututnya kembali berdarah. Ki merah langsung mengambil alih dan melakukan pengusiran.

Ki merah mempunyai caranya sendiri untuk melawan sosok yang ada didalam tubuh MbaTuti. Upacara pengusiran itu berjalan begitu a lot, beberapa kali terdengar jerit kesakitan dari Mba Tuti, dan wajah ki merah dibanjiri keringat, belum lagi tangannya yang terus mengeluarkan darah.

Hingga akhirnya tubuh Mba Tuti tergolek lemas, sedangkan ki merah ambruk karena kehabisan tenaga. Mba Tuti digendong untuk dibawa kerumah Mas Joko dan beberapa warga, sedangkan ki merah yang ambruk dibawah kerumah pak lurah untuk dimintai keterangan. Dan tubuh pak bulbul yang masih membuat saya penasaran itu kini telah diturunkan, rencananya pak bulbul akan dibawa kerumah pak RT setempat untuk dikuburkan dengan layak.

Terdengar suara tahrim penanda tragedy mengerikan itu berakhir, semua warga kembali kerumahnya masing – masing. Saya dan kakek juga bersiap – siap untuk pulang, tapi begitu saya menengok kebelakang untuk melihat rumah pak bulbul yang sudah sepi, saya melihat sosok perempuan yang sedang menangis dilawang pintu masuk, entah siapa perempuan itu karena wajahnya tertutup rambut. Perempuan itu menangis lirih, saya terus menatapnya dan seketika perempuan itu menatap saya lekat – lekat dengan mata meolot tajam diselingi senyum yang mengerikan, begitu saya bilang apa yang saya lihat kepada kakek. Kakek hanya berucap.

“biarkan dia sendiri teng .”

Malam itu malam yang terpanjang yang pernah saya lalui dalam hidup. Begitu banyak darah yang terciprat, begitu banyak teriakan yang menyakitkan telinga, begitu banyak misteri yang belum saya mengerti.



SANTET (Witchcraft) - Chapter 11



Ketika hendak berbicara ki merah mengajak kakek saya keruangannya, kata dia sebaiknya ini dibicarakan empat mata saja, sial padahal saya sangat penasaran. Sementara kakek pergi kedalam dengan ki merah, saya menunggu diruang tamu sambil ngemil keripik pisang. Saya kira ki merah bakal seperti di film – film horror, bengis dan juga congkak, tapi sikapnya sama saja seperti orang pada umumnya. Malah bisa dibilang ramah, apalagi istrinya yang sudah menyajikan cemilan ini.

Mungkin sekitar lima belas menit berlalu, kakek saya kembali bersama ki merah. Mereka langsung duduk dikursi seperti semula. Terlihat ada ketegangan diwajah mereka, apa yang sebenernya telah terjadi? Apa tadi mereka bertengkar.

“jadi kalau bukan aki, apa ada orang lain?” kakek mulai berbicara.

“aku mengaku memang sduah mengganggu keluarga si Joko, tapi sasaranku memanglah Joko itu sendiri bukan istrinya. Malam itu aku mengirim dua dedemit untuk membawa jiwa si Joko, hanya untuk member pelajaran, aku bersumpah tidak ada sedikitpun niat untuk membunuhnya. Tapi yang kena malah istrinya. Karena terlanjur sudah terjadi, aku pikir bila istrimya menderita maka si Joko juga akan merana. Aku juga yang mengirim peliharaanku untuk menghalang – halangimu saat kamu hendak pergi membantu si Joko.” Jawab ki merah.

Saya tiba – tiba teringat kejadian dikebun tebu saat anjing hitam yang mau menerkam kakek. Jadi itu memang benar ulahnya ki merah.

“dan aki juga yang hendak berniat mencelakakan keluarga saya saat saya berhasil menyadarkan kembali si Tuti?” nada kakek mulai naik.

“aku memang mengirim peliharaanku untuk mengawasimu tapi tidak memerintahkannya untuk mengganggumu.”

“istri saya diteror ki, sampai dia jatuh sakit.”

“aku bersumpah demi apapun, hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengawasimu, bukan untuk mengganggumu. Aku mengawasimu hanya karena kagum padamu, soalnya orang biasa sepertimu bisa melakukan upacara jemput lelembut. Usiamu terlalu muda untuk menguasai ilmu semacam itu.” Ucap ki merah.

Entah sebuah kebenaran atau ini hanya pembelaannya saja, saya tidak tahu.
Kemudian kakek menyuruh saya untuk menceritakan apa yang dialami nenek. Saya bercerita kepada ki merah tentang nenek yang melihat sosok wanita di kamar mandi, dan sosok lainnya yang menjelma menjadi teman nenek yang sudah meninggal.

“baiklah saya akan mempercayai aki kali ini, tapi saya mohon beritahu kemana ki merah membawa lagi Tuti sekarang?”

“apa maksudmu membawa Tuti lagi?” ki merah tampak terkejut

Ki merah malam itu memang memerintahkan peliharaannya untuk mendatangi rumah Mas Joko tapi untuk mengambil pocongan yang telah ditanam dihalaman rumah. Dia tersadar bahwa perbuatannya salah, karena setelah melakukan perbuatan keji itu lagi, dia selalu dihantui baying – baying Mba Eka.

“setiap malam, wajah eka selalu menghantuiku. Saat tidur dia masuk dalam mimpiku, saat sedang diam dia masuk ke dalam ingatan, dan saat aku bekerjapun dia menyusup dalam baying – baying. Kini aku sadar ternyata balas dendam tak membuahkan kepuasan tapi malah penyesalan.” Ucap ki merah.

Walaupun harus mengecawakan kliennya itu, ki merah mengambil resiko. Dia mengembalikan uang yang telah diberikan, walaupun niat awal ki merah membantu bukan karena uangnya tapi lebih kepada alasannya. Kita tentu selalu ingat jika ada orang yang bernasib sama, kita seakan memiliki ikatan emosional dengan orang tersebut, hingga kemudian menimbulkan rasa empati seperti mengkasihani diri sendiri.
Malam itu ki merah mengaku, dia telah berhenti urusannya dengan klien dan keluarga Mas Joko tidak ada lagi permainan, tidak ada lagi gangguan. Bahkan dia telah menyesal belajar ilmu seperti itu. Entah benar atau tidak ucapan ki merah, tapi dilihat dari wajahnya tampak seperti penyesalan yang sangat dalam. Kadang saya merasa kasihan, mungkin seumur hidupnya ki merah menderita dibayang – baying dosa masa lalunya.

“jadi anjing hitam yang dikejar Tuti itu bukan atas perintah aki?”

“sudah kubilang aku hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengambil benda yang aku tanam, bukan untuk mengganggunya. Tapi kalai dia menggonggong dan sekarang dikejar oleh istri si Joko, aku tak tahu.” Jawab ki merah.

“sosok seperti apa yang nenekmu lihat?” Tanya ki merah kepada saya.

“astaghfirullah…” belum sempat aku menjawab pertanyaan ki merah, kakek sudah memotong.

Tiba – tiba saja kakek teringat dengan sosok wanita yang Mba Tuti lihat ketika kakek melakukan jemput lelembut. Deskripsi yang nenek sebutkan tentang sosok wanita tersebut sama persis dengan yang Mba Tuti ceritakan sebelumnya , kakek menepuk jidat, katanya jangan – jangan dia melakukan kesalahan. Kakek bilang mungkin ada arwah yang ikut dan menempel ke tubuh Mba Tuti saat dia diajak keluar.

Karena takut terjadi sesautu dengan Mba Tuti, usai berbinacang dengan ki merah kakek berpamitan untuk kembali kerumah Mas Joko. Kakek mengerti ki merah tidak mau lagi terlibat dengan urusan seprti ini, walaupun masih tanggung jawabnya karena telah memulai kekacauan ini. Ki merah meminta tolong kepada kakek untuk menyelesaikan masalah ini, dia siap untuk dimintai bantuan bila kakek membutuhkannya. Tapi kalau harus terlibat secara langsung seperti sekarang, dia takut hanya akan menimbulkan masalah baru saja.

Saya dan kakek pergi kembali kerumah Mas Joko, sesampainya disana dirumah Mas Joko hanya ada ibu mertuanya dan adik iparnya saja. Menurut adik iparnya, Mba Tuti masih belum ketemu, warga yang dipimpin pak lurah masih berusaha mencari. Terakhir katanya Mba Tuti terlihat pergi kearah persawahan. Saya dan kakek segera menyusul setelah meminjam senter.

Suasana kampung benar – benar sepi, tapi untungnya tidak terlalu gelap karena dilangit bulan terlihat sempurna. Dibawah baying – baying bulan yang terhalang pohon – pohon besar yang menjulang, saya dan kakek berjalan perlahan sambil mengarahkan senter kesemak – semak. Kami berniat menyusul rombongan pak lurah kea rah sawah.
Begitu kami keluar kampung dan berjalan menuju persawahan, terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Saya dan kakek saling berpandangan, dari mana suara anjing itu berasal. Lolongan itu terdengar sekitar tiga kali, kemudian lenyap bersama angin malam.

“kenapa rombongan pak lurah tidak terlihat juga pak?”
Kakek tidak menjawab pertanyaanku, mulutnya tampak komat – kamit, mungkin sedang melafalkan doa. Saya tidak bisa mengganggunya kalau kakek sedang begitu. Saya berkonsentrasi untuk berjalan di pematang sawah yang licin, angin sepoi – sepoi membuat bulu kuduk merinding. Pemandangan disekitar hanya terlihat beberapa orang – orangan sawah yang tertiup angin tampak seperti manusia yang melambai – lambai dari kejauhan.

“iku kakek teng.” Ucap kakek tiba – tiba.

Setelah kami berjalan cukup lama dan belum bertemu juga dengan rombongan pak lurah, saya berjalan mengikuti kakek menuju sebuah saung kecil ditengah sawah. Saya kira kakek hendak mengajak saya beristirahat, tapi begitu kami sampai beberapa meter lagi dari saung, terdengar suara lengkingan anjing yang amat lirih dan pelan.
Kakek mengarahkan senter kearah saung, tapi tidak terlihat apapun disana. Kami berjalan pelan sambil terus memerhatikan. Begitu cahaya senter kakek menyorot kearah kolong saung terlihat sesosok tubuh dengan rambut tergerai sedang jongkok membelakangi kami berdua. Kakek mematikan lampu senternya, kami berdua jongkok sambil jalan perlahan. Rupanya sosok itu belum sadar dengan kedatangan kami berdua.
Saya mengira mungkin itu semacam makhluk jejadian yang baru keluar malam – malam. Maklum ini sudah hampir jam 10 atau mungkin itu arwah yang kebetulan sekelebat kami lihat, tapi begitu saya mendongakakan kepala, sosok itu masih terlihat disana.

Saya dan kakek tetap mengawasi, perlahan sosok itu merayap dari luar, kakinya Nampak sedang menjepit sesuatu. Tapi begitu kami memperhatikan dengan seksama, tiba – tiba kepalanya berputar pelan, hingga akhirnya kami saling bertatapan.
Itu Mba Tuti dengan wajah menyeramkan, matanya melotot tajam kearah kami, karena sudah ketahuan kami beranjak berdiri. Tapi Mba Tuti masih jongkok, kakinya menjepit kepala anjing hitam. Terlihat baju daster yang ia kenakan robek dan ada bercak – bercak darah, di pahanya pun terlihat luka gores bekar cakaran kuku anjing.

“lepaskan anjing itu Tuti!” perintah kakek.

Namun Mba Tuti tidak menjawab, dia malah meludah kearah kakek. Kemudian Mba Tuti mengambil batu seukuran mangkok disampingnya, dengan sekali ayunan keatas batu tersebut ia hantamkan ke kapala anjing yang ia jepit. Cratttt!!!! Seketika darah muncrat kemana – mana, wajah pucat Mba Tuti kin telah berlumur merah. Anjing itu tak langsung mati, masih terdengar nafasnya yang tersengai – sengai karena tenggorokannya terjepit. Hantaman kedua, ketiga terus diluncurkan, sampai terdengar suara remukan tulang.

Kepala anjing itu kini hancur berantakan, bahkan biji matanya terlepas keluar. Mulut moncongnya kini sudah tak berbentuk lagi. Giginya berserakan dengan daging gusi yang masih menempel. Sungguh saya syok melihat kejadian sadis tersebut didepan mata.

Walaupun wajah anjing itu sudah hancur, tapi Mba Tuti masih belum berhenti menghantamkannya dengan batu. Saya dan kakek hanya berdoa melihat kelakuannya, sebenarnya kami hendak mencegah tapi kalau salah malah kamilah yag akan menjadi sasaran hantaman batu selanjutnya.

Bukan hanya wajahnya, rambut Mba Tuti yang tergerai telah bercampur dengan cipratan darah, dan ceceran daging kecil yang menempel. Tidak tampak penyesalan diwajahnya, tapi sebaliknya dia tampak geram. Saya yang ketakutan kemudian mundur beberapa langkah, sedangkan kakek semakin maju mendekati Mba Tuti.

“hentikan Tuti.” Perintah kakek.

Mendengar suara kakek perhatian Mba Tuti pada bangkai anjing itu teralihkan. Dengan batu yang masih ditangan sekarang Mba Tuti menatap kakek lekat – lekat. Tanpa pemberitahuan dahulu Mba Tuti langsung melemparkan batu ditangannya kearah kakek, melesat begitu cepat seperti batu itu terbuat dari busa, entah apa yang merasukinya hingga kekuatannya berlipat ganda.

Walaupun sempat menghindar, tapi lemparannya telak mengenai lutut kanan. Kakek saya jatuh terperosok dalam lumpur sawah. Saya reflek langsung menhampiri kakek, rasa takut pada Mba Tuti tiba – tiba saja hilang seketika, sengguh saya geram dan hendak membalas dendam dengan melemparkan kembali batu itu kepadanya.
Belum sempat saya membalas, Mba Tuti loncat kearah tiang penyangga saung. Dalam sekejap ia naik seperti monyet menuju atap. Menyaksikan semua itu, membuat tubuh saya mati rasa, ingin rasanya lari dan berteriak karena ketakutan, tapi yang terjadi lutut saya malah lemas dan tenggorokan saya terasa kosong tak ada suara.

Mba Tuti jongkok diatas atap saung dengan rambut tergerai panjang dan muka berlumuran darah. Disinari cahaya bulan diatasnya, dia tertawa ngikik seperti kuntilanak.
“lihat ki merah, peliharaanmu sudah aku musnahkan sebagai ganjaran karena tidak bisa menyelesaikan permintaan.” Kepala Mba Tuti mendongak kelangit, kemudian ia tertawa ngikin lagi.

Untuk sesaat saya diam memaku menyaksikan kejadian mengerikan itu, hingga akhirnya saya tersadar dan segera menolong kakek yang masih berusaha berdiri sambil menahan sakit luka dilutut kakek tidak terlalu parah, tampak darah segar mengucur dan dagingnya sedikit terkelupas.

Mba Tuti kembali memperhatikan kami berdua, raut wajahnya berubah menjadi serius.” Jangan pernah ganggu usrusanku, atau kuhancurkan kepalamu juga seperti anjing itu!!!”
Kemudian Mba Tuti meloncat ke pematang sawah, dia merayap dengan cepat seperti kadal. Entah akan pergi kemana, tapi dia pergi tanpa memperhatikan kami lagi. Dari kejauhan dia seperti tenggelam dalam kegelapan, suara gemuruh daun padi yang ditiup angin menjadi suara pengiring kepergian Mba Tuti, dan lambaian orang – orangan sawah seperti ucapan selamat tinggal.

Kalau saja kaki kakek sehat mungkin dia akan mengejarnya. Dengan luka yang masih menganga, saya membopong kakek kembali kerumah Mas Joko, katanya kita harus lapor pak lurah sebelum terjadi hal – hal yang lebih mengerikan pada Mba Tuti. Entah apa maksudnya dengan hal yang lebih mengerikan, karena saya tak bisa lagi membayangkan hal yang lebih mengerikan dari melihat pecahan kepala anjing didepan mata.



SANTET (Witchcraft) - Chapter 10



“Jika saya memberitahukan siapa pelakunya apa yang akan kalian lakukan?” Tanya kakek saya kepada warga yang berkumpul disana.

“tentu saja kita akan menangkapnya, masalah pengadilan kita tentukan nanti, apa mau kita adili sendiri atau dibawa ke kantor polisi?” celetuk salah satu warga.

“memang kalian bisa menjamin bahwa ucapan saya benar?” jawab kakek.
“tentu saja bapak kan seorang dukun.” Jawab warga lain yang sepertinya tampak semangat.

“baik. Pertama saya sangat tidak nyaman dibilang seorang dukun, karena saya tidak membuka praktek. Saya hanya berniat membantu Joko, karena kasihan melihat istrinya. 
Kedua, apa bapak – bapak disini punya bukti penguat bahwa ucapan saya benar?”
Setiap warga saling berpandangan, wajah mereka tampak kebingungan termasuk juga pak lurah. Tentu saja ucapan kakek benar, jika kakek saya menyebutkan nama baru, sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah, tapi hanya mengalihkan kebencian pada orang baru lainnya.

“jadi apa yang harus kita lakukan sekarang sekarang pak lurah?” ucap warga yang tampak tidak sabar.

Pak lurah masih diam dan belum mengambil keputusan, sementara warga saling berbisik berbicara dibelakang saling bertukar pendapat apa yang seharusnya mereka lakukan. Musyawarah ini berjalan begitu a lot, hingga tak terasa adzan maghrib terdengar.
Begitu adzan selesai berkumandang, tiba – tiba pak lurah bangun dari duduknya. Bisikan – bisikan dibelakang seketika berhenti, semua mata tertuju kepada pak lurah.

“begini saja, agar cepat beres dan tidak ada lagi kecurigaan. Bagaimana kalau si kardi di sumpah pocong.” Pernyataan pak lurah membuat semua orang kaget.

“bila kamu benar – benar tak bersalah seharusnya tidak keberatan kardi?” ucap pak lurah menatap mas kardi, yang kemudian disusul gemuruh suara warga mengiyakan pendapat pak lurah tersebut.

“tentu saja saya tidak keberatan.” Jawab mas kardi dengan sedikit ragu, mungkin dia merasa merinding mendengar nama sumpah yang jarang dilakukan ini.

Akhirnya keputusan pak lurah bisa sedikit meredam rasa kesal warga, termasuk Mas Joko mungkin. Setelah itu pak lurah mengumumkan bahwa sumpah akan dilakukan setelah adzan isya di mesjid, kemudian ia memerintahkan beberapa warga untuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk  kelangsungan sumpah pocong nanti, seperti kain kafan. Sebenarnya kakek mau berpendapat tapi melihat antusias warga yang begitu semangat, maka kakek memutuskan untuk setuju saja, setidaknya kecurigaan ini tidak berakhir dengan kekerasan.

Saya tidak terlalu paham dengan konsep sumpah pocong, tapi pendapat beberapa orang sumpah ini ada karena percampuran agama dan tradisi budaya ketimuran, khususnya di pulau jawa. Jadi menurut kepercayaan warga stetmpat, sumpah pocong dilakukan oleh seseorang yang dicurigai berkata bohong, konon bila si pembohong melakukan sumpah pocong maka kesialan atau bahkan bencana bisa menyelimutinya seumur hidup. Sumpah ini dianggap bisa menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan dipengadilan. Tapi di era modernisasi seperti sekarang, rasanya jarang orang yang melakukan cara – cara seperti ini.

Sekitar setengah delapan malam, banyak warga berkumpul dihalaman depan masjid. Mereka penasaran dengan kejadian langka seperti ini, entah bagaimana caranya kabar tentang sumpah pocong ini cepat sekali merebak dikalangan warga.
Mas kardi yang baru selesai dimandikan, kini tubuhnya sedang dibungkus dengan kain kafan, melihat pemandangan seperti itu tentu saja membuat bulu kuduk saya merinding. Setelah tubuhnya selesai diikat dengan tali pocong. Tubuh mas kardi dibopong ketengah masjid. Sumpah siap diucapkan, semua warga menyaksikan dengan tegang. Namun tiba – tiba terdengar teriakan anak kecil dari arah luar.

“Mas Joko…. Mas Joko…. Mas Joko……”

Semua orang perhatiannya terlihat kearah pintu pagar masjid. Melihat seorang anak kecil sedang ngos – ngosan memanggil – manggil nama Mas Joko. Mas kardi yang sedang terlentangpun ikut – ikutan bangun hingga membuat orang yang berada didepannya meloncat kaget.
Mas Joko yang merasa dirinya dipanggil langsung menghampiri anak kecil yang ternyata anak tetangganya tersebut sembari bertanya ada apa sebenarnya.

“Mba Tuti lari, keluar rumah, ga tahu kenapa, seperti orang kesurupan…” ucap anak kecil dengan nada terbata – bata berusaha mengatur nafasnya.

Tanpa pikir panjang Mas Joko segera berlari menuju rumahnya, seketika juga beberapa warga menyusul Mas Joko meninggalkan mas kardi yang masih duduk kebingungan dalam kondisi tubuh terikat dalam kain kafan. Saya dan kakek juga ikut bergi, sedangkan orang – orang yang berkumpul disana ada yang pulang karena ketakutan, sebagian lagi ada yang pergi menyusul karena rasa penasaran.

Ketika kami sampai dirumah Mas Joko, terlihat ibu mertuanya sedang menangis. Menurut mertua Mas Joko, ketika Mba Tuti sedang duduk menonton TV, tiba – tiba ada suara anjing yang menggong – nggong keras dan tak henti – henti diluar rumah. Karena ibunya takut dengan anjing, maka Mba Tuti yang berinisiatif pergi kehalaman untuk mengusirnya, namun selang beberapa menit Mba Tuti tak juga kembali masuk kedalam rumah.

“lalu ibu pergi keluar untuk menyusulnya, tapi Tuti tidak ada. Dan menurut tetangga tadi Tuti terlihat berlari sambil memegang batu mengejar anjing hitam kearah barat.” Ucap mertua Mas Joko yang kemudian menangis kembali.

Mas Joko yang hendak pergi karena emosi ditahan beberapa warga, kata pak lurah sebaiknya kita melakukan pencarian bersama – sama. Sekitar dua puluh orang yang dipimpin pak lurah siap untuk melakukan pencarian. Sementara kakek mengajak saya pulang setelah berpamitan dengan Mas Joko, kata kakek dia akan membantunya dengan cara lain.

“antar kakek kerumah aki merah!” ucap kakek kepada saya.

Tanpa banyak bertanya saya menarik gas, meluncur menuju rumah ki merah. Sekarang saya merasa yakin mungkin ki merah lah pelakunya, dia telah memanfaatkan kesempatan ketika Mba Tuti ditinggalkan suaminya untuk melancarkan serangannya lagi.

“memang ki merah itu siapa kek?” diperjalanan untuk menghilangkan perasaan tegang saya bertanya.

“kamu masih ingat dengan cerita kakek tentang Mba Eka?” kakek malah balik bertanya.

Menurut kakek ki merah sejak muda memang gemar mengulik ilmu – ilmu kebatinan, waktu itu kakek masih remaja. Masih ingat ketika Mas Solihin hampir saja membunuh seorang pria yang diduga menyantet istrinya, menurut kakek orang tersebut adalah ki merah. Memang waktu itu tidak ada bukti yang kuat, tapi berdasarkan desas – desus yang beredar dikalangan warga meyakini bahwa ki merah memang pelakunya.

“bagaimana kakek yakin waktu itu kalau ki merah orangnya?” saya masih penasaran.

Kakek saya bercerita bahwa mbah buyut sayalah yang memberitahunya, waktu itu mbah buyut saya baru pulang dari sawah malam – malam habis mengairi sawah. Ketika lewat belakang rumahmas solihin samar – samar dalam redupnya lampu bohlam dia melihat sesosok pria sedang menggali tanah. Karena merasa curiga mbah buyut saya bersembunyi dibalik semak – semak mengawasi. Mungkin sekitar lima menit berlalu dan lubang itu telah selesai, pria tersebut mengeluarkan bungkusan kain putih dari sakunya, yang kemudian ia masukan kedalam lubang galian yang baru dibuatnya. Saya melihat sesosok pria tersebut berbalik badan, dia yakin wajah itu adalah wajah ki merah. Dan keesokan harinya tragedy mengerikan Mba Eka terjadi. Mbah buyut saya merasa berdosa juga karena tidak bisa berbuat apa – apa, mengingat bila dia jadi saksipun tanpa bukti yang kuat pengadilan akan tetap tidak percaya.

“kenapa ki merah melakukan itu pada Mba Eka kek? Tanya saya masih penasaran.

Menurut kakek,tak ada yang tahu apa motif dibalik penyantetan Mba Eka waktu itu, ada yang bilang dia cemburu karena ki merah menaruh hati sama Mba Eka, ada yang bilang keluarga mas solihin berselisih dengan keluarga ki merah tentang batas kebun mereka. Tapi ada yang bilang juga itu hanya kegilaan ki merah waktu muda yang ingin mencoba ilmu kebatinan yang baru dipelajarinya. Tak ada yang tahu pasti, kabar itu simpang siur. Hanya ki merah sendiri yang mengetahui alasannya.
Mengerikan kalau yang terakhir menjadi alasan ki merah menyantet orang, gila bener, psikopat akut. Sungguh merinding saya mendengar ada jenis orang seperti itu dimuka bumi ini.

“terus kenapa kakek sekarang bisa yakin kalau yang mengguna – guna Mba Tuti adalah ki merah?”

Mbah buyut saya pernah bilang kepada kakek, bahwa ilmu seperti ini sangat sulit untuk dikuasai. Hanya satu orang yang ia kenal yang bisa melakukan santet jenis ini, dan satu lagi menurut kakek saya, intuisi dan hasil dari penerawangannya selalu mengarah kepada ki merah.

Tidak terasa dalam obrolan panjang itu akhirnya kami tiba didepan rumah ki merah. Saya kira kakek akan langsung melabrak, marah – marah dan menendang pintu rumahnya. Tapi nyatanya kakek bertamu dengan sopan, dia mengetuk pintu masuk dengan pelan sambil mengucapkan salam.

Istri ki merah menyambut dengan ramah, kami dipersilahkan masuk. Segelas the hangat dan keripik pisang disajikan sambil menunggu ki merah datang. Setelah kakek dan ki merah duduk berhadap – hadapan, kakek langsung mulai berbicara.

“saya mohon ki, siapapun yang menyuruh aki tolong hentikan. Saya sudah tak tega melihatnya.”

“apa maksudmu?” jawab ki merah sambil cengengesan.

“sudahlah ki, kita tidak usah berpura – pura lagi.”

Raut wajah ki merah berubah menjadi serius, mungkin dia sudah tidak bisa lagi menyepelekan kakek sekarang. Setelah memuji kejelian kakek, ki merah mulai bercerita.

“sebenarnya saya tak mau lagi menggunakan ilmu seperti ini, kau tahu sendiri akibat ulahku dimasa lalu aku sudah dicap jelek oleh masyarakat sini. Dikucilkan, disepelekan bahkan dipandang criminal. Mereka hanya bisa menghakimi tanpa pernah tahu alasanku melakukannya dulu.” Ucap ki merah.

“ada seorang pria umurnya mungkin sama denganku, dia mendatangiku malam – malam dan menceritakan masalahnya dengan gambling, aku tak tega mendengarnya. Setelah mendengar ceritanya itu aku merasa menjadi diriku yang dulu, dia memilki nasib sama sepertiku. Iblis dalam diriku muncul kembali, hingga aku mengiyakan permintaannya.” Lanjut ki merah.

“memang apa yang pria itu ceritakan? Apa dia punya masalah dengan keluarga Mas Joko. Saya ingin mendengar alasannya?” kakek bertanya.