SANTET (Witchcraft) - Chapter 5



Mba Tuti kebingungan, dia mau teriak tapi takut karena dihutan itu ga ada siap – siapa. Mau jalan takut tersesat. Akhirnya dia memutuskan untuk diam diatas delman. Kini pikiran Mba Tuti tak lagi focus pada kabar kematian suaminya, ia sekarang malah bersedih karena ga bisa pulang. Selama menunggu itu menurut Mba Tuti beberapa kali mendengar suara rami orang lagi baca yasinan, tapi tak tahu arahnya dari mana yang pasti suaranya itu berdengung ditelinganya. Mungkin karena selama Mba Tuti sakit, Mas Joko beberapa kali mengadakan pengajian rutin dirumah.

Karena saya penasaran, maka bertanya berapa lama dan apa saja yang dilakaukan Mba Tuti waktu itu. Dia bercerita ketika sedang duduk diatas delman, dia didatangi seoarang perempuan. Dia tak bisa memastikan wajahnya, tapi wanita itu mengenakan kebaya dan kerudung tapi rambutnya tergerai kedepan. Samar – samar dia bisa melihat matanya yang bulat menatap tajam kearahnya.

“siapa dia Mba?” saya melanjutkan pertanyaan.

Mba Tuti menjawab bahwa wanita itu hanya muncul kadang – kadang, mula – mula hanya kepalanya saja yang terlhat sedang mengintip dibalik pohon. Kemudian sedikit demi sedikit dia mulai berani menampakan diri. Tapi dia tak pernah mau dekat, jaraknya sekitar beberapa meter dari tempat Mba Tuti duduk.

“kenapa Mba Tuti tidak bertanya atau menghampirinya?” saya masih belum puas dengan jawaban Mba Tuti.

“coba kamu bayangkan, saya duduk dihutan. Gelap gulita, sinar hanya berasala dari lampu kelenting delman itupun redup karena tertiup angin. Bahkan saya berusaha menjaga apinya agar tidak padam. Kemudian ada seseorang perempuan yang memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan yang menakutkan. Memangnya kam bakal berani menghampiri lalu bertanya siapa dia?!”.

Jawaban Mba Tuti membuat saya merinding. Berada ditengah kebun tebu saja waktu dicegat anjing hitam kemarin hampir membuat saya kencing dicelana, apalagi Mba Tuti sendirian dihutan.

Tempat Mba Tuti tersesat juga saya tanyakan apakah benar – benar hutan, dia menjawab tak yahu juga, yang pasti tempat dimana Mba Tuti berada banyak pohon – pohon besar berdiri dan dia berada ditengah jalan lebar yang membentang, tapi bukan jalan aspal. Dia memastikan itu jalanan tanah, seperti tanah liat, soalnya saat dia turun dari delman, kakinya kotor oleh lumpur.

Kata kakek untung Mba Tuti ga keliaran, soalnya kalau dia turun dan masuk kedalam hutan, pencarian kakek ga bakal secepat ini. Bahkan yang paling mengerikan mungkin Mba Tuti ga bakal ditemukan, dia akan tersesat selamanya.

Menurut kakek ini cara paling sadis dalam mencelakakan orang, soalnya kalau hanya sekedar kririm paku, muntah darah atau bahkan sakit kepala, medianya hanya menggunakan boneka dan itu cara paling kasar, masih bisa dilihat dengan kasat mata. Tapi kalau sudah sampai menarik sukma dan menggantinya dengan siluman, itu cara paling halus tapi mematikan.

“berapa lama Mba Tuti disan?” saya masih penasaran.

“saya tak tahu, tapi mungkin tidak sehari. Soalnya selama disana, hutan tetap gelap gulita. Hingga akhirnya saya melihat bapak, awalnya saya mengira bapak orang jahat yang hendak mencelakakan saya. Sampai akhirnya saya merasa yakin karena terdengar suara ibu samar – samar memanggil nama saya”.

Gila pikir saya, Mba Tuti sakit sudah hampir satu bulan, tapi dia disana tidak sampai satu malam. Saya ingin menannyakan perbedaan waktu itu kepada kakek, tapi rasanya waktunya tidak tepat jadi saya urungkan niat, kapan – kapan saja.

“oh ya pak mengenai wanita yang selalu memperhatikan saya itu siapa yah?” Tanya Mba Tuti kepada kakek, mungkin dia juga penasaran.

Tapi kakek menjawab sewaktu dia menjemput Mba Tuti, dia tidak melihat apapun. Itu bisa siapa saja, tapi kakek bilang tak penting lagi, yang penting sekarang Mba Tuti sudah sembuh. Kakek berpesan agar nati sebelum tidur berdoa dulu, bisa alfatihah atau bismillah juga tidak apa – apa. Setidaknya ada penjagaan, bila ada hal – hal aneh kita bisa tersadar.

Dua orang pria yang menjemput Mba Tuti itu suruhan kata kakek, mereka ditugaskan untuk menjemput sukma Mba Tuti. Mendengar keterangan kakek Mba Tuti baru sadar bahwa saat dia bangun dan membuka pintu itu ternyata hanya sukmanya saja, sedangkan jasadnya masih terbujur ditempat tidur, saat itulah siluman suruhan masuk menggantikannya.

“pak apa bapak bisa membalikan santet ini, agar dikembalikan yang mengirim, hanya sekedar untuk ngasih pelajaran saja?” kata Mas Joko.

Mendengar perkataan Mas Joko, kakek merasa kaget atau mungkin marah. Saya tahu ekspresi kakek kalau sedang menahan kesal atau marah saat sedang dirumah. Tapi kakek tidak menunjukan kemarahannya, dia lebih memilih diam dan menarik nafas dalam – dalam. Saya juga sedikit aneh mendengar kata – kata Mas Joko, kok kesannya Mas Joko seperti menyuruh kakek untuk menyantet orang.

“husss. Ga boleh gitu jok. Syukur Alhamdulillah istrimu sudah sembuh juga. Ga usah macam – macam dan nyari perkara lagi.” Jawab mertua Mas Joko.

“takutnya kalau ga dikasih pelajaran, orang yang mencelakakn saya ini ga kapok dan bakal berulah lagi.” Sepertinya Mas Joko ngotot sekali.

Untuk mencairkan suasan, kakek berscerita tentang kisah serupa seperti yang dialami hari ini. Kejadian  ini ketika dia masih remaja katanya. Waktu itu ada salah satu tetangga kakek mengalami hal serupa seperti Mba Tuti, bahkan lebih parah. Mari kita sebut saja namanya Mba Eka.

Mba Eka ini kondisinya sama seperti Mba Tuti kalau sedang kumat, tapi parahnya lagi Mba Eka suka berkeliaran dihutan, jadi dulu dibelakang kampung kami itu masih ada hutan liar sebelum akhirnya hutan tersebut dibuka pemerintah untuk dijadikan perkebunan tebu seperti sekarang.

Kakek masih ingat, sekitar tengah malam kalau ga salah, tiba – tiba terdengar suara kentongan darai balai desa. Orang – orang rebut dan berbondong – bondong keluar rumah untuk menghampiri sumber suara. Biasanya kentongan dibunyikan kalau dalam keadaan darurat saja, kalau ada maling atau terjadi bencana. Maklum dulu gunung selamet dan ciremai beberapa kali masuk dalam kondisi waspada, himbauan dari pemerintah.

“ada apa mas?” kakek saya keluar rumah dan menanyakan apa yang terjadi, takut kalau – kalau 2 gunung tersebut meletus.

“ga tahu, mungkin ada maling sapi lagi.” Jawab orang yang lewat kepada kakek.

Kakek yang masih remaja waktu itu bersama mbah buyut saya ikut keluar untuk pergi ke balai desa, walaupun buyut (istri mbah buyut) menyuruh kakek untuk diam saja dirumah karena khawatir terjadi apa – apa. Tapi kakek saya persis seperti saya sekarang mempunyai rasa penasaran yang amat tinggi, atau mungkin waktu itu usianya yang masih remaja jadi rasa ingin tahunya sangat besar terhadap sesuatu.

Kakek saya datang bersama beberapa warga lainnya, disana sudah ada pak lurah dan suami Mba Eka. Beberapa warga yang belum tahu duduk perkaranya mulai berargumen macem – macem mulai dari ada yang kemalingan, ada yang kemalingan sampe ada yang bilang teroris masuk kampung. Sampai akhirnya pak lurah menceritakan semuanya.
Rumah pak lurah berdampingan dengan balai desa, biasanya yang membunyikan kentongan adalah warga yang sedang ronda dengan seijin pak lurah. Tapi anehnya kok suara kentongan itu tiba – tiba sampai membangunkannya. Begitu pak lurah mengecek keluar rumahnya katanya dia melihat Mas Solihin suaminya Mba Eka sedang memukul kentongan sambil menangis.

Kentongan kandung dipukul dan warga sudah terlanjur panic, maka Mas Solihin yang masih terisak menjelaskan kepada kami semua kenapa dia bisa sampai memukul kentongan desa.

“saya sedang tidur terlelap, tiba – tiba saya dibangunkan istri. Katanya dia minta dianter buat buang air besar, setelah itu saya menganternya ke sungai.” Ucap Mas Solihin masih dalam keadaan terisak – isak.

Sekedar info pas jaman kakek saya dulu jarang warga yang mempunyai WC didalam rumah, hanya orang – orang tertentu saja yang punya. Segala aktifitas seperti mencuci, mandi, adan buang air besar semua dilakukan disungai, yang letaknya terpisah dari pemukiman. Sungainya cukup besar, ada batu – batu besar yang menjulang, tapi kalau musim hujan tiba batu – batu itu terendam karena air meluap. Dan juga dihulu ada air terjun yang cukup tinggi, sehingga dari hilir kita bisa mendengar suar gemuruh air terjun, kalau pada siang hari indah dan banyak anak – anak yang berenang disana, tapi kalau pada malam hari ga ada yang berani kecuali orang kebelet saja, begitu menurut kakek.

“saya suruh dia untuk jongkok dipinggir batu saja, karena saya khawatir air sungai sedang meluap karena tadi sore hujan. Tapi dia menolak, takutnya ada orang lewat katanya, saya kira sekarang masih jam 8. Maka saya mengijinkannya saja ketia dia mau maju ke batu yang berada ditenah sungai.” Kata Mas Solihin melanjutkan ceritanya.

Gila pikir sya, Mas Solihin tidak sadar bahwa ini hampir jam satu malam, para warga mulai berpendapat macam – macam tanpa mendengar penjelasan Mas Solihin sampai selesai, bahkan ada yang bertanya kepada Mas Solihin apa istrinya hanyut disungai.

“saya tak bisa memastikan waktunya, tapi saya rasa cukup lama, kok istri saya belum selesai – selesai. Saat saya menyorotkan lampu senter kearahnya dia memang masih terlihat jongkok diatas batu, saya panggil agar cepat – cepat, karena saya tidak kuat menahan kantuk. Tapi dia tetap tidak merespon.” Seperti tidak kuat Mas Solihin kembali menangis sejadi – jadinya.

“lah kok nangis, gimana istrimu solihin?!!!” warga yang tidak sabar mulai merasa kesal karena Mas Solihin malah nangis dan bukan menyelesaikan ceritanya.

Maka pak lurah turun tangan, karena sebelumnya Mas Solihin sudah menceritakan kejadian ini kepadanya. Menurut pak lurah Mba Eka tidak menengok saat dipanggil, Mas Solihin memeutuskan mengambil batu kecil, lalu dilemparkanlah batu itu ke tubuh Mba Eka, awalnya dia takut kalau Mba Eka ketiduran. Tapi tidak begitu lama Mba Eka menengok kearah Mas Solihin.

Namun ada yang aneh dengan istri Mas Solihin, saat menegok dia melihat muka seram bukan main, matanya melotot sempurna, wajahnya pucat pasi, rambutnya tergerai menutupi sebelah wajahnya denga senyum misterius. Mas Solohin langsung tersentak kaget dan juga takut tentunya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi menurut Mas Solihin istrinya itu tertawa ngikik.

Karena ketakutan Mas Solihin terpaku diam menyaksikan istrinya yang berubah, hingga akhirnya Mba Eka meloncat – loncat diatas batu dia pergi menuju hulu, kearah air terjun.






Posting Komentar