Mba
Tuti kebingungan, dia mau teriak tapi takut karena dihutan itu ga ada siap –
siapa. Mau jalan takut tersesat. Akhirnya dia memutuskan untuk diam diatas
delman. Kini pikiran Mba Tuti tak lagi focus pada kabar kematian suaminya, ia
sekarang malah bersedih karena ga bisa pulang. Selama menunggu itu menurut Mba
Tuti beberapa kali mendengar suara rami orang lagi baca yasinan, tapi tak tahu
arahnya dari mana yang pasti suaranya itu berdengung ditelinganya. Mungkin
karena selama Mba Tuti sakit, Mas Joko beberapa kali mengadakan pengajian rutin
dirumah.
Karena
saya penasaran, maka bertanya berapa lama dan apa saja yang dilakaukan Mba Tuti
waktu itu. Dia bercerita ketika sedang duduk diatas delman, dia didatangi
seoarang perempuan. Dia tak bisa memastikan wajahnya, tapi wanita itu
mengenakan kebaya dan kerudung tapi rambutnya tergerai kedepan. Samar – samar
dia bisa melihat matanya yang bulat menatap tajam kearahnya.
“siapa
dia Mba?” saya melanjutkan pertanyaan.
Mba
Tuti menjawab bahwa wanita itu hanya muncul kadang – kadang, mula – mula hanya
kepalanya saja yang terlhat sedang mengintip dibalik pohon. Kemudian sedikit
demi sedikit dia mulai berani menampakan diri. Tapi dia tak pernah mau dekat,
jaraknya sekitar beberapa meter dari tempat Mba Tuti duduk.
“kenapa
Mba Tuti tidak bertanya atau menghampirinya?” saya masih belum puas dengan
jawaban Mba Tuti.
“coba
kamu bayangkan, saya duduk dihutan. Gelap gulita, sinar hanya berasala dari
lampu kelenting delman itupun redup karena tertiup angin. Bahkan saya berusaha
menjaga apinya agar tidak padam. Kemudian ada seseorang perempuan yang
memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan yang menakutkan. Memangnya kam bakal
berani menghampiri lalu bertanya siapa dia?!”.
Jawaban
Mba Tuti membuat saya merinding. Berada ditengah kebun tebu saja waktu dicegat
anjing hitam kemarin hampir membuat saya kencing dicelana, apalagi Mba Tuti
sendirian dihutan.
Tempat
Mba Tuti tersesat juga saya tanyakan apakah benar – benar hutan, dia menjawab
tak yahu juga, yang pasti tempat dimana Mba Tuti berada banyak pohon – pohon
besar berdiri dan dia berada ditengah jalan lebar yang membentang, tapi bukan
jalan aspal. Dia memastikan itu jalanan tanah, seperti tanah liat, soalnya saat
dia turun dari delman, kakinya kotor oleh lumpur.
Kata
kakek untung Mba Tuti ga keliaran, soalnya kalau dia turun dan masuk kedalam
hutan, pencarian kakek ga bakal secepat ini. Bahkan yang paling mengerikan
mungkin Mba Tuti ga bakal ditemukan, dia akan tersesat selamanya.
Menurut
kakek ini cara paling sadis dalam mencelakakan orang, soalnya kalau hanya
sekedar kririm paku, muntah darah atau bahkan sakit kepala, medianya hanya
menggunakan boneka dan itu cara paling kasar, masih bisa dilihat dengan kasat
mata. Tapi kalau sudah sampai menarik sukma dan menggantinya dengan siluman,
itu cara paling halus tapi mematikan.
“berapa
lama Mba Tuti disan?” saya masih penasaran.
“saya
tak tahu, tapi mungkin tidak sehari. Soalnya selama disana, hutan tetap gelap
gulita. Hingga akhirnya saya melihat bapak, awalnya saya mengira bapak orang
jahat yang hendak mencelakakan saya. Sampai akhirnya saya merasa yakin karena
terdengar suara ibu samar – samar memanggil nama saya”.
Gila
pikir saya, Mba Tuti sakit sudah hampir satu bulan, tapi dia disana tidak
sampai satu malam. Saya ingin menannyakan perbedaan waktu itu kepada kakek,
tapi rasanya waktunya tidak tepat jadi saya urungkan niat, kapan – kapan saja.
“oh
ya pak mengenai wanita yang selalu memperhatikan saya itu siapa yah?” Tanya Mba
Tuti kepada kakek, mungkin dia juga penasaran.
Tapi
kakek menjawab sewaktu dia menjemput Mba Tuti, dia tidak melihat apapun. Itu
bisa siapa saja, tapi kakek bilang tak penting lagi, yang penting sekarang Mba
Tuti sudah sembuh. Kakek berpesan agar nati sebelum tidur berdoa dulu, bisa
alfatihah atau bismillah juga tidak apa – apa. Setidaknya ada penjagaan, bila
ada hal – hal aneh kita bisa tersadar.
Dua
orang pria yang menjemput Mba Tuti itu suruhan kata kakek, mereka ditugaskan
untuk menjemput sukma Mba Tuti. Mendengar keterangan kakek Mba Tuti baru sadar
bahwa saat dia bangun dan membuka pintu itu ternyata hanya sukmanya saja,
sedangkan jasadnya masih terbujur ditempat tidur, saat itulah siluman suruhan
masuk menggantikannya.
“pak
apa bapak bisa membalikan santet ini, agar dikembalikan yang mengirim, hanya
sekedar untuk ngasih pelajaran saja?” kata Mas Joko.
Mendengar
perkataan Mas Joko, kakek merasa kaget atau mungkin marah. Saya tahu ekspresi
kakek kalau sedang menahan kesal atau marah saat sedang dirumah. Tapi kakek
tidak menunjukan kemarahannya, dia lebih memilih diam dan menarik nafas dalam –
dalam. Saya juga sedikit aneh mendengar kata – kata Mas Joko, kok kesannya Mas
Joko seperti menyuruh kakek untuk menyantet orang.
“husss.
Ga boleh gitu jok. Syukur Alhamdulillah istrimu sudah sembuh juga. Ga usah
macam – macam dan nyari perkara lagi.” Jawab mertua Mas Joko.
“takutnya
kalau ga dikasih pelajaran, orang yang mencelakakn saya ini ga kapok dan bakal
berulah lagi.” Sepertinya Mas Joko ngotot sekali.
Untuk
mencairkan suasan, kakek berscerita tentang kisah serupa seperti yang dialami
hari ini. Kejadian ini ketika dia masih
remaja katanya. Waktu itu ada salah satu tetangga kakek mengalami hal serupa
seperti Mba Tuti, bahkan lebih parah. Mari kita sebut saja namanya Mba Eka.
Mba
Eka ini kondisinya sama seperti Mba Tuti kalau sedang kumat, tapi parahnya lagi
Mba Eka suka berkeliaran dihutan, jadi dulu dibelakang kampung kami itu masih
ada hutan liar sebelum akhirnya hutan tersebut dibuka pemerintah untuk
dijadikan perkebunan tebu seperti sekarang.
Kakek
masih ingat, sekitar tengah malam kalau ga salah, tiba – tiba terdengar suara
kentongan darai balai desa. Orang – orang rebut dan berbondong – bondong keluar
rumah untuk menghampiri sumber suara. Biasanya kentongan dibunyikan kalau dalam
keadaan darurat saja, kalau ada maling atau terjadi bencana. Maklum dulu gunung
selamet dan ciremai beberapa kali masuk dalam kondisi waspada, himbauan dari
pemerintah.
“ada
apa mas?” kakek saya keluar rumah dan menanyakan apa yang terjadi, takut kalau
– kalau 2 gunung tersebut meletus.
“ga
tahu, mungkin ada maling sapi lagi.” Jawab orang yang lewat kepada kakek.
Kakek
yang masih remaja waktu itu bersama mbah buyut saya ikut keluar untuk pergi ke
balai desa, walaupun buyut (istri mbah buyut) menyuruh kakek untuk diam saja dirumah
karena khawatir terjadi apa – apa. Tapi kakek saya persis seperti saya sekarang
mempunyai rasa penasaran yang amat tinggi, atau mungkin waktu itu usianya yang
masih remaja jadi rasa ingin tahunya sangat besar terhadap sesuatu.
Kakek
saya datang bersama beberapa warga lainnya, disana sudah ada pak lurah dan
suami Mba Eka. Beberapa warga yang belum tahu duduk perkaranya mulai berargumen
macem – macem mulai dari ada yang kemalingan, ada yang kemalingan sampe ada
yang bilang teroris masuk kampung. Sampai akhirnya pak lurah menceritakan
semuanya.
Rumah
pak lurah berdampingan dengan balai desa, biasanya yang membunyikan kentongan
adalah warga yang sedang ronda dengan seijin pak lurah. Tapi anehnya kok suara
kentongan itu tiba – tiba sampai membangunkannya. Begitu pak lurah mengecek
keluar rumahnya katanya dia melihat Mas Solihin suaminya Mba Eka sedang memukul
kentongan sambil menangis.
Kentongan
kandung dipukul dan warga sudah terlanjur panic, maka Mas Solihin yang masih
terisak menjelaskan kepada kami semua kenapa dia bisa sampai memukul kentongan
desa.
“saya
sedang tidur terlelap, tiba – tiba saya dibangunkan istri. Katanya dia minta
dianter buat buang air besar, setelah itu saya menganternya ke sungai.” Ucap
Mas Solihin masih dalam keadaan terisak – isak.
Sekedar
info pas jaman kakek saya dulu jarang warga yang mempunyai WC didalam rumah,
hanya orang – orang tertentu saja yang punya. Segala aktifitas seperti mencuci,
mandi, adan buang air besar semua dilakukan disungai, yang letaknya terpisah
dari pemukiman. Sungainya cukup besar, ada batu – batu besar yang menjulang,
tapi kalau musim hujan tiba batu – batu itu terendam karena air meluap. Dan
juga dihulu ada air terjun yang cukup tinggi, sehingga dari hilir kita bisa
mendengar suar gemuruh air terjun, kalau pada siang hari indah dan banyak anak
– anak yang berenang disana, tapi kalau pada malam hari ga ada yang berani
kecuali orang kebelet saja, begitu menurut kakek.
“saya
suruh dia untuk jongkok dipinggir batu saja, karena saya khawatir air sungai
sedang meluap karena tadi sore hujan. Tapi dia menolak, takutnya ada orang
lewat katanya, saya kira sekarang masih jam 8. Maka saya mengijinkannya saja
ketia dia mau maju ke batu yang berada ditenah sungai.” Kata Mas Solihin
melanjutkan ceritanya.
Gila
pikir sya, Mas Solihin tidak sadar bahwa ini hampir jam satu malam, para warga
mulai berpendapat macam – macam tanpa mendengar penjelasan Mas Solihin sampai
selesai, bahkan ada yang bertanya kepada Mas Solihin apa istrinya hanyut
disungai.
“saya
tak bisa memastikan waktunya, tapi saya rasa cukup lama, kok istri saya belum
selesai – selesai. Saat saya menyorotkan lampu senter kearahnya dia memang
masih terlihat jongkok diatas batu, saya panggil agar cepat – cepat, karena
saya tidak kuat menahan kantuk. Tapi dia tetap tidak merespon.” Seperti tidak
kuat Mas Solihin kembali menangis sejadi – jadinya.
“lah
kok nangis, gimana istrimu solihin?!!!” warga yang tidak sabar mulai merasa
kesal karena Mas Solihin malah nangis dan bukan menyelesaikan ceritanya.
Maka
pak lurah turun tangan, karena sebelumnya Mas Solihin sudah menceritakan
kejadian ini kepadanya. Menurut pak lurah Mba Eka tidak menengok saat
dipanggil, Mas Solihin memeutuskan mengambil batu kecil, lalu dilemparkanlah
batu itu ke tubuh Mba Eka, awalnya dia takut kalau Mba Eka ketiduran. Tapi
tidak begitu lama Mba Eka menengok kearah Mas Solihin.
Namun
ada yang aneh dengan istri Mas Solihin, saat menegok dia melihat muka seram
bukan main, matanya melotot sempurna, wajahnya pucat pasi, rambutnya tergerai
menutupi sebelah wajahnya denga senyum misterius. Mas Solohin langsung
tersentak kaget dan juga takut tentunya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi
menurut Mas Solihin istrinya itu tertawa ngikik.
Karena
ketakutan Mas Solihin terpaku diam menyaksikan istrinya yang berubah, hingga
akhirnya Mba Eka meloncat – loncat diatas batu dia pergi menuju hulu, kearah
air terjun.
Posting Komentar