Saya
tiba dirumah Mas Joko, ternyata rombongan pak lurah sudah berkumpul disana.
Kakek menceritakan kejadian yang kami alami barusan kepada mereka. Setelah
mencuci luka kakek dengan air hangat dan membungkusnya dengan kain, kami duduk
dihalaman depan bermusyawarah mengenai tindakan yang akan selanjutnya
dilakukan.
“Jok,
kalau kamu benar – benar sayang sama istrimu sebaiknya kamu berkata jujur.
Apakah kamu punya urusan atau masalah dengan seseorang?” Tanya kakek kepada Mas
Joko.
“urusan
apa pak? Saya tetap curiga terhadap si kardi. Dia pasti pelakunya.” Ucapa Mas
Joko dengan nada marah.
“bukan,
urusan dengan perempuan. Seseorang yang sudah meninggal?” lanjut kakek.
“perempuan,
sudah meninggal.” Mas Joko berpikir sejenak, menyaring ingatan dengan kata
kunci urusan, perempuan dan meninggal.
“seingat
saya, saya tak pernah menyakiti orang pak.” Jawab Mas Joko.
“tidak
menyakiti menurut kita belum tentu untuk orang lain. Kadang kita melakukan hal
yang kita anggap biasa saja, tapi menurut orang itu menyakitkan. Coba diingat –
ingat.”
Semua
orang disana memperhatikan wajah Mas Joko yang kebingungan, dia sedang berusaha
mengingat kesalahan yang mungkin saja telah diperbuatnya. Tapi sepertinya
sekeras apapun dia mencoba mengingat, memori itu belum ia dapatkan.
Ketika
kami sedang berkumpul, tiba – tiba dari arah jalan terlihat seorang laki – laki
tengah berlari menuju kearah kami.
“pak
lurah…..pak lurah….saya lihat Tuti!!” teriak pria tersebut.
Kami
semua kahet, terutama Mas Joko. Warga langsung mengerumini pria yang baru
datang tersebut seraya bertanya apa maksud dari ucapannya. Saya tidak mendengar
dengan jelas karena sedang duduk bersama kakek tidak menghampiri. Tapi yang
pasti warga termasuk pak lurah dan Mas Joko pergi mengikuti pria tersebut. Saya
yang masih belum paham situasinya, diajak kakek untuk mengikuti mereka dari
belakang.
Cukup
lama saya dan kakek mengikuti rombongan, kami tiba disebuah kebun jagung, diujung
sana ada stu rumah yang tampak mencolok, disinari lampu warna kuning dihalaman
depannya tampak kontras ditengah kegelapan, karena tidak ada lagi rumah lain
disekitarnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampak pria yang menuntut
kami sedari tadi menunjuk – nunjuk rumah tersebut.
Semakin
kami berjalan mendekati rumah itu, samar – samar terdengar suara tangisan
perempuan, semakin kami dekat lagi suara itu semakin terdengar jelas. Dan
mneurut Mas Joko itu adalah suara tangisan Mba Tuti. Saya tak tahu rumah siapa
itu, tapi begitu kami mendekat, Mas Joko berlari dengan segera disusul oleh
beberapa warga.
Saya
dan kakek masih berjalan pelan dibelakang, tapi begitu pintu rumah yang bkami
tuju dibuka, beberapa warga sontak berteriak karena kaget. Karena saya
penasaran, saya berlari melihat apa yang terjadi, meninggalkan kakek sendirian.
Kaget
bukan kepalang, sesosok tubuh pria tergantung dipintu kamar. Lehernya terikat
seutas tali, mungkin pria itu bunuh diri. Jika kamu pernah lihat seorang
gantung diri, itu akan menjadi memori membekas dikepala seumur hidupmu.
Wajahnya melotot dengan lidah terjulur, seperti ekspresi orang yang menahan
sakit luar biasa.
Pria
itu sudah tua mungkin umurnya sekitar lima puluh atau enam puluhan, mengenakan
kaos oblong dan celana pendek, wajahnya terlihat biru dengan urat diwajahnya
terlihat jelas. Dan yang bikin mencengangkan lagi, dibawah jasad yang
menggantung itu terlihat Mba Tuti sedang menangis meraung – raung sambil
memegang kaki si mayid.
“Tuti….tuti….tuti…apa
yang kamu lakukan?” ucap Mas Joko, tapi dia tak berani mendekatinya.
Beberapa
warga kebingungan termasuk saya, apa hubungan dari kejadian Mba Tuti dengan
mayat yang tergantung ini. Sedangkan pak lurah langsung sibuk memerintahkan
beberapa warganya untukmenghubungi rekan – rekannya, seperti ketua RT dan RW
karena ada kejadian yang menggemparkan ini.
Mendengar
teriakan Mas Joko dan warga, Mba Tuti langsung berbalik badan. Dengan pipi
dipenuhi air mata dia berteriak sekencang – kencangnya sampai kami menutup
telinga.
“bangsattttt
kau Joko, taikkk!!!” teriak Mba Tuti.
Beberapa
warga mencoba menghampiri Mba Tuti untuk menenangkan, tapi belum sempat
mendekat Mba Tuti berlari kearah dapur dan mengambil parang yang terselip
didinding dapur.
“kubunuh
kalian semua haahhh….setannnn!!! kubunuh kalian!!!” teriak Mba Tuti sambil
mengacungkan parang.
Malam
itu benar – benar membuat warga kampung Mas Joko gempar. Tidak begitu lama para
aparat desa bermunculan, diikuti beberapa warga baru yang mungkin penasaran.
Sedangkan Mba Tuti masih mengamuk dibelakang rumah.
Setelah
saya bertanya – Tanya mengenai asl – usul jasad yang tergantung itu ternyata
namanya adalah pak bulbul. Saya tak menanyakan lebih lanjut bagaimana
riwayatnya sampai bisa dia nekat mengakhiri hidup.
“turunkan
saja, kasihan pak lurah.” Celetuk salah satu warga sambil menunjuk kearah jasad
pak bulbul.
“waduh
saya bingung, ini harus lapor polisi dulu atau langsung diturunkan saja
mayatnya.” Ucap pak lurah sambil garuk – garuk kepala. Mungkin ini kejadian
untuk pertama kali ia alami selama menjabat jadi kepala desa.
Sedangkan
kakek dan saya pergi kebelakang rumah untuk melihat Mba Tuti yang masih
mengamuk. Kali ini Mba Tuti benar – benar sulit untuk ditenangkan, dengan jalan
yang masih tertatih – tatih kakek maju kedepan, berhadap – hadapan langsung
dengan Mba Tuti sementara warga yang lain menyaksika dari belakang.
“katakana
siapa dirimu dan apa yang kamu inginkan?”
“Tanya
sikeparat itu siapa aku.” Jawab Mba Tuti seraya menunjuk Mas Joko.
“bisa
kamu letakan dulu parangnya, kita omongkan ini baik – baik.” Kata kakek.
“hah,
apa kau bilang, baik – baik? Sementara bapakku mati gara – gara dia kamu bilang
kita harus bicara baik – baik.” Kata Mba Tuti dengan nada geram.
Ketika
kami sedang bernegoisasi, dari kejauhan tampak seorang pria tengah berlari.
Samar – samar aku mengenal sosok itu, dan ketika semakin mendekat saya jadi
semakin yakin bahwa pria itu adalah aki merah.
“ibliss
jahanam, kau membunuh peliharaanku. Keluar kau dari tubuh wanita itu hadapi
aku.” Teriak ki merah dengan nada marah.
Malam
itu benar – benar gempar, Mba Tuti yang dihadapi dua pria, kakek dan ki merah
disaksikan warga kampung. Sedangkan pak lurah beserta aparaturnya sibuk
mengurus mayat pak bulbul.
“kau
juga ikut andil dalam mematikan bapakku dukun sialan.” Ucap Mba Tuti ketika
melihat ki merah.
Tanpa
basa basi Mba Tuti meloncat kea rah ki merah sembari menyabetkan parang yang
dipegangnya. Untung ki merah mengelak dengan gesit, tapi Mba Tuti tambah kesal
dan melancarkan serangan membabi buta. Dan diantara sabetannya yang bertubi –
tubi itu akhirnya telak satu sabetan berhasil menghujam beberapa jari ki merah.
Cratttt!!!
Darah muncrat ke tanah, diikuti 3 potong jari yang terlepas dari tangan ki
merah. Begitu ki merah tersungkur dan Mba Tuti hendak meluncurkan sabetan
selanjutnya yang mengarah ke kepala, kakek melepaskan tendangan ke tubuh Mba
Tuti hingga ia terpental jauh.
Mba
Tuti tambah geram, dia segera banging dan langsung menyerang kakek dengan
mengibas – ngibaskan parangnya tanpa arah tujuan. Tapi belum sempat parang itu
mendekati kakek, kini tendangan ki merah telak membuat tubuh Mba Tuti terpental
kembali.
Mungkin
karena tak tega melihat tubuh istrinya menjadi bulan – bulanan kedua pria, Mas
Joko maju kedepan. Tiba – tiba saja tubuhnya ambruk, Mas Joko bersujud didepan
Mba Tuti. Dia menangis sembari beberapa kali mengucapkan kata maaf.
“maafkan
saya sari, maafkan saya.”
Mendengar
ucapan Mas Joko membuat saya sedikit kaget, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi
raut wajah beberapa warga tampak biasa, seperti sudah mengetahui ada hal
diantara Mas Joko dengan sosok yang masuk dalam tubuh Mba Tuti tersebut.
“apa
kau bilang maaf? Apa kata maaf bisa membayar semuanya.” Ucap Mba Tuti yang
sudah sedikit tenang.
“apa
yang kau inginkan sari, apa yang harus aku lakukan untuk menebusnya.”
Ketika
Mba Tuti hendak mengayunkan parangnya untuk menebas leher Mas Joko. Tiba – tiba
ki merah meloncat menerkam tubuh Mba Tuti. Kemudian ki merah berteriak meminta
bantuan warga untuk memegang tubuh Mba Tuti. Singkat cerita, Mba Tuti kini
terikat pada pohon, walaupun tubuhnya terus meronta – ronta tapi ia tak kuasa
membuka ikatan tali yang sangat kencang.
Saya
kemudian membopong kakek kebelakang, tampaknya dia sudah lelah dan luka
dilututnya kembali berdarah. Ki merah langsung mengambil alih dan melakukan
pengusiran.
Ki
merah mempunyai caranya sendiri untuk melawan sosok yang ada didalam tubuh
MbaTuti. Upacara pengusiran itu berjalan begitu a lot, beberapa kali terdengar
jerit kesakitan dari Mba Tuti, dan wajah ki merah dibanjiri keringat, belum
lagi tangannya yang terus mengeluarkan darah.
Hingga
akhirnya tubuh Mba Tuti tergolek lemas, sedangkan ki merah ambruk karena
kehabisan tenaga. Mba Tuti digendong untuk dibawa kerumah Mas Joko dan beberapa
warga, sedangkan ki merah yang ambruk dibawah kerumah pak lurah untuk dimintai
keterangan. Dan tubuh pak bulbul yang masih membuat saya penasaran itu kini
telah diturunkan, rencananya pak bulbul akan dibawa kerumah pak RT setempat
untuk dikuburkan dengan layak.
Terdengar
suara tahrim penanda tragedy mengerikan itu berakhir, semua warga kembali
kerumahnya masing – masing. Saya dan kakek juga bersiap – siap untuk pulang,
tapi begitu saya menengok kebelakang untuk melihat rumah pak bulbul yang sudah
sepi, saya melihat sosok perempuan yang sedang menangis dilawang pintu masuk,
entah siapa perempuan itu karena wajahnya tertutup rambut. Perempuan itu
menangis lirih, saya terus menatapnya dan seketika perempuan itu menatap saya
lekat – lekat dengan mata meolot tajam diselingi senyum yang mengerikan, begitu
saya bilang apa yang saya lihat kepada kakek. Kakek hanya berucap.
“biarkan
dia sendiri teng .”
Malam
itu malam yang terpanjang yang pernah saya lalui dalam hidup. Begitu banyak
darah yang terciprat, begitu banyak teriakan yang menyakitkan telinga, begitu
banyak misteri yang belum saya mengerti.
Posting Komentar