SANTET (Witchcraft) - Chapter 12



Saya tiba dirumah Mas Joko, ternyata rombongan pak lurah sudah berkumpul disana. Kakek menceritakan kejadian yang kami alami barusan kepada mereka. Setelah mencuci luka kakek dengan air hangat dan membungkusnya dengan kain, kami duduk dihalaman depan bermusyawarah mengenai tindakan yang akan selanjutnya dilakukan.

“Jok, kalau kamu benar – benar sayang sama istrimu sebaiknya kamu berkata jujur. Apakah kamu punya urusan atau masalah dengan seseorang?” Tanya kakek kepada Mas Joko.

“urusan apa pak? Saya tetap curiga terhadap si kardi. Dia pasti pelakunya.” Ucapa Mas Joko dengan nada marah.

“bukan, urusan dengan perempuan. Seseorang yang sudah meninggal?” lanjut kakek.

“perempuan, sudah meninggal.” Mas Joko berpikir sejenak, menyaring ingatan dengan kata kunci urusan, perempuan dan meninggal.

“seingat saya, saya tak pernah menyakiti orang pak.” Jawab Mas Joko.

“tidak menyakiti menurut kita belum tentu untuk orang lain. Kadang kita melakukan hal yang kita anggap biasa saja, tapi menurut orang itu menyakitkan. Coba diingat – ingat.”

Semua orang disana memperhatikan wajah Mas Joko yang kebingungan, dia sedang berusaha mengingat kesalahan yang mungkin saja telah diperbuatnya. Tapi sepertinya sekeras apapun dia mencoba mengingat, memori itu belum ia dapatkan.
Ketika kami sedang berkumpul, tiba – tiba dari arah jalan terlihat seorang laki – laki tengah berlari menuju kearah kami.

“pak lurah…..pak lurah….saya lihat Tuti!!” teriak pria tersebut.

Kami semua kahet, terutama Mas Joko. Warga langsung mengerumini pria yang baru datang tersebut seraya bertanya apa maksud dari ucapannya. Saya tidak mendengar dengan jelas karena sedang duduk bersama kakek tidak menghampiri. Tapi yang pasti warga termasuk pak lurah dan Mas Joko pergi mengikuti pria tersebut. Saya yang masih belum paham situasinya, diajak kakek untuk mengikuti mereka dari belakang.
Cukup lama saya dan kakek mengikuti rombongan, kami tiba disebuah kebun jagung, diujung sana ada stu rumah yang tampak mencolok, disinari lampu warna kuning dihalaman depannya tampak kontras ditengah kegelapan, karena tidak ada lagi rumah lain disekitarnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampak pria yang menuntut kami sedari tadi menunjuk – nunjuk rumah tersebut.

Semakin kami berjalan mendekati rumah itu, samar – samar terdengar suara tangisan perempuan, semakin kami dekat lagi suara itu semakin terdengar jelas. Dan mneurut Mas Joko itu adalah suara tangisan Mba Tuti. Saya tak tahu rumah siapa itu, tapi begitu kami mendekat, Mas Joko berlari dengan segera disusul oleh beberapa warga.
Saya dan kakek masih berjalan pelan dibelakang, tapi begitu pintu rumah yang bkami tuju dibuka, beberapa warga sontak berteriak karena kaget. Karena saya penasaran, saya berlari melihat apa yang terjadi, meninggalkan kakek sendirian.

Kaget bukan kepalang, sesosok tubuh pria tergantung dipintu kamar. Lehernya terikat seutas tali, mungkin pria itu bunuh diri. Jika kamu pernah lihat seorang gantung diri, itu akan menjadi memori membekas dikepala seumur hidupmu. Wajahnya melotot dengan lidah terjulur, seperti ekspresi orang yang menahan sakit luar biasa.
Pria itu sudah tua mungkin umurnya sekitar lima puluh atau enam puluhan, mengenakan kaos oblong dan celana pendek, wajahnya terlihat biru dengan urat diwajahnya terlihat jelas. Dan yang bikin mencengangkan lagi, dibawah jasad yang menggantung itu terlihat Mba Tuti sedang menangis meraung – raung sambil memegang kaki si mayid.

“Tuti….tuti….tuti…apa yang kamu lakukan?” ucap Mas Joko, tapi dia tak berani mendekatinya.

Beberapa warga kebingungan termasuk saya, apa hubungan dari kejadian Mba Tuti dengan mayat yang tergantung ini. Sedangkan pak lurah langsung sibuk memerintahkan beberapa warganya untukmenghubungi rekan – rekannya, seperti ketua RT dan RW karena ada kejadian yang menggemparkan ini.
Mendengar teriakan Mas Joko dan warga, Mba Tuti langsung berbalik badan. Dengan pipi dipenuhi air mata dia berteriak sekencang – kencangnya sampai kami menutup telinga.

“bangsattttt kau Joko, taikkk!!!” teriak Mba Tuti.
Beberapa warga mencoba menghampiri Mba Tuti untuk menenangkan, tapi belum sempat mendekat Mba Tuti berlari kearah dapur dan mengambil parang yang terselip didinding dapur.

“kubunuh kalian semua haahhh….setannnn!!! kubunuh kalian!!!” teriak Mba Tuti sambil mengacungkan parang.

Malam itu benar – benar membuat warga kampung Mas Joko gempar. Tidak begitu lama para aparat desa bermunculan, diikuti beberapa warga baru yang mungkin penasaran. Sedangkan Mba Tuti masih mengamuk dibelakang rumah.
Setelah saya bertanya – Tanya mengenai asl – usul jasad yang tergantung itu ternyata namanya adalah pak bulbul. Saya tak menanyakan lebih lanjut bagaimana riwayatnya sampai bisa dia nekat mengakhiri hidup.

“turunkan saja, kasihan pak lurah.” Celetuk salah satu warga sambil menunjuk kearah jasad pak bulbul.

“waduh saya bingung, ini harus lapor polisi dulu atau langsung diturunkan saja mayatnya.” Ucap pak lurah sambil garuk – garuk kepala. Mungkin ini kejadian untuk pertama kali ia alami selama menjabat jadi kepala desa.

Sedangkan kakek dan saya pergi kebelakang rumah untuk melihat Mba Tuti yang masih mengamuk. Kali ini Mba Tuti benar – benar sulit untuk ditenangkan, dengan jalan yang masih tertatih – tatih kakek maju kedepan, berhadap – hadapan langsung dengan Mba Tuti sementara warga yang lain menyaksika dari belakang.

“katakana siapa dirimu dan apa yang kamu inginkan?”

“Tanya sikeparat itu siapa aku.” Jawab Mba Tuti seraya menunjuk Mas Joko.

“bisa kamu letakan dulu parangnya, kita omongkan ini baik – baik.” Kata kakek.

“hah, apa kau bilang, baik – baik? Sementara bapakku mati gara – gara dia kamu bilang kita harus bicara baik – baik.” Kata Mba Tuti dengan nada geram.

Ketika kami sedang bernegoisasi, dari kejauhan tampak seorang pria tengah berlari. Samar – samar aku mengenal sosok itu, dan ketika semakin mendekat saya jadi semakin yakin bahwa pria itu adalah aki merah.

“ibliss jahanam, kau membunuh peliharaanku. Keluar kau dari tubuh wanita itu hadapi aku.” Teriak ki merah dengan nada marah.

Malam itu benar – benar gempar, Mba Tuti yang dihadapi dua pria, kakek dan ki merah disaksikan warga kampung. Sedangkan pak lurah beserta aparaturnya sibuk mengurus mayat pak bulbul.

“kau juga ikut andil dalam mematikan bapakku dukun sialan.” Ucap Mba Tuti ketika melihat ki merah.

Tanpa basa basi Mba Tuti meloncat kea rah ki merah sembari menyabetkan parang yang dipegangnya. Untung ki merah mengelak dengan gesit, tapi Mba Tuti tambah kesal dan melancarkan serangan membabi buta. Dan diantara sabetannya yang bertubi – tubi itu akhirnya telak satu sabetan berhasil menghujam beberapa jari ki merah.

Cratttt!!! Darah muncrat ke tanah, diikuti 3 potong jari yang terlepas dari tangan ki merah. Begitu ki merah tersungkur dan Mba Tuti hendak meluncurkan sabetan selanjutnya yang mengarah ke kepala, kakek melepaskan tendangan ke tubuh Mba Tuti hingga ia terpental jauh.

Mba Tuti tambah geram, dia segera banging dan langsung menyerang kakek dengan mengibas – ngibaskan parangnya tanpa arah tujuan. Tapi belum sempat parang itu mendekati kakek, kini tendangan ki merah telak membuat tubuh Mba Tuti terpental kembali.

Mungkin karena tak tega melihat tubuh istrinya menjadi bulan – bulanan kedua pria, Mas Joko maju kedepan. Tiba – tiba saja tubuhnya ambruk, Mas Joko bersujud didepan Mba Tuti. Dia menangis sembari beberapa kali mengucapkan kata maaf.

“maafkan saya sari, maafkan saya.”

Mendengar ucapan Mas Joko membuat saya sedikit kaget, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi raut wajah beberapa warga tampak biasa, seperti sudah mengetahui ada hal diantara Mas Joko dengan sosok yang masuk dalam tubuh Mba Tuti tersebut.

“apa kau bilang maaf? Apa kata maaf bisa membayar semuanya.” Ucap Mba Tuti yang sudah sedikit tenang.

“apa yang kau inginkan sari, apa yang harus aku lakukan untuk menebusnya.”

Ketika Mba Tuti hendak mengayunkan parangnya untuk menebas leher Mas Joko. Tiba – tiba ki merah meloncat menerkam tubuh Mba Tuti. Kemudian ki merah berteriak meminta bantuan warga untuk memegang tubuh Mba Tuti. Singkat cerita, Mba Tuti kini terikat pada pohon, walaupun tubuhnya terus meronta – ronta tapi ia tak kuasa membuka ikatan tali yang sangat kencang.

Saya kemudian membopong kakek kebelakang, tampaknya dia sudah lelah dan luka dilututnya kembali berdarah. Ki merah langsung mengambil alih dan melakukan pengusiran.

Ki merah mempunyai caranya sendiri untuk melawan sosok yang ada didalam tubuh MbaTuti. Upacara pengusiran itu berjalan begitu a lot, beberapa kali terdengar jerit kesakitan dari Mba Tuti, dan wajah ki merah dibanjiri keringat, belum lagi tangannya yang terus mengeluarkan darah.

Hingga akhirnya tubuh Mba Tuti tergolek lemas, sedangkan ki merah ambruk karena kehabisan tenaga. Mba Tuti digendong untuk dibawa kerumah Mas Joko dan beberapa warga, sedangkan ki merah yang ambruk dibawah kerumah pak lurah untuk dimintai keterangan. Dan tubuh pak bulbul yang masih membuat saya penasaran itu kini telah diturunkan, rencananya pak bulbul akan dibawa kerumah pak RT setempat untuk dikuburkan dengan layak.

Terdengar suara tahrim penanda tragedy mengerikan itu berakhir, semua warga kembali kerumahnya masing – masing. Saya dan kakek juga bersiap – siap untuk pulang, tapi begitu saya menengok kebelakang untuk melihat rumah pak bulbul yang sudah sepi, saya melihat sosok perempuan yang sedang menangis dilawang pintu masuk, entah siapa perempuan itu karena wajahnya tertutup rambut. Perempuan itu menangis lirih, saya terus menatapnya dan seketika perempuan itu menatap saya lekat – lekat dengan mata meolot tajam diselingi senyum yang mengerikan, begitu saya bilang apa yang saya lihat kepada kakek. Kakek hanya berucap.

“biarkan dia sendiri teng .”

Malam itu malam yang terpanjang yang pernah saya lalui dalam hidup. Begitu banyak darah yang terciprat, begitu banyak teriakan yang menyakitkan telinga, begitu banyak misteri yang belum saya mengerti.



Posting Komentar