SANTET (Witchcraft) - Chapter 10



“Jika saya memberitahukan siapa pelakunya apa yang akan kalian lakukan?” Tanya kakek saya kepada warga yang berkumpul disana.

“tentu saja kita akan menangkapnya, masalah pengadilan kita tentukan nanti, apa mau kita adili sendiri atau dibawa ke kantor polisi?” celetuk salah satu warga.

“memang kalian bisa menjamin bahwa ucapan saya benar?” jawab kakek.
“tentu saja bapak kan seorang dukun.” Jawab warga lain yang sepertinya tampak semangat.

“baik. Pertama saya sangat tidak nyaman dibilang seorang dukun, karena saya tidak membuka praktek. Saya hanya berniat membantu Joko, karena kasihan melihat istrinya. 
Kedua, apa bapak – bapak disini punya bukti penguat bahwa ucapan saya benar?”
Setiap warga saling berpandangan, wajah mereka tampak kebingungan termasuk juga pak lurah. Tentu saja ucapan kakek benar, jika kakek saya menyebutkan nama baru, sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah, tapi hanya mengalihkan kebencian pada orang baru lainnya.

“jadi apa yang harus kita lakukan sekarang sekarang pak lurah?” ucap warga yang tampak tidak sabar.

Pak lurah masih diam dan belum mengambil keputusan, sementara warga saling berbisik berbicara dibelakang saling bertukar pendapat apa yang seharusnya mereka lakukan. Musyawarah ini berjalan begitu a lot, hingga tak terasa adzan maghrib terdengar.
Begitu adzan selesai berkumandang, tiba – tiba pak lurah bangun dari duduknya. Bisikan – bisikan dibelakang seketika berhenti, semua mata tertuju kepada pak lurah.

“begini saja, agar cepat beres dan tidak ada lagi kecurigaan. Bagaimana kalau si kardi di sumpah pocong.” Pernyataan pak lurah membuat semua orang kaget.

“bila kamu benar – benar tak bersalah seharusnya tidak keberatan kardi?” ucap pak lurah menatap mas kardi, yang kemudian disusul gemuruh suara warga mengiyakan pendapat pak lurah tersebut.

“tentu saja saya tidak keberatan.” Jawab mas kardi dengan sedikit ragu, mungkin dia merasa merinding mendengar nama sumpah yang jarang dilakukan ini.

Akhirnya keputusan pak lurah bisa sedikit meredam rasa kesal warga, termasuk Mas Joko mungkin. Setelah itu pak lurah mengumumkan bahwa sumpah akan dilakukan setelah adzan isya di mesjid, kemudian ia memerintahkan beberapa warga untuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk  kelangsungan sumpah pocong nanti, seperti kain kafan. Sebenarnya kakek mau berpendapat tapi melihat antusias warga yang begitu semangat, maka kakek memutuskan untuk setuju saja, setidaknya kecurigaan ini tidak berakhir dengan kekerasan.

Saya tidak terlalu paham dengan konsep sumpah pocong, tapi pendapat beberapa orang sumpah ini ada karena percampuran agama dan tradisi budaya ketimuran, khususnya di pulau jawa. Jadi menurut kepercayaan warga stetmpat, sumpah pocong dilakukan oleh seseorang yang dicurigai berkata bohong, konon bila si pembohong melakukan sumpah pocong maka kesialan atau bahkan bencana bisa menyelimutinya seumur hidup. Sumpah ini dianggap bisa menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan dipengadilan. Tapi di era modernisasi seperti sekarang, rasanya jarang orang yang melakukan cara – cara seperti ini.

Sekitar setengah delapan malam, banyak warga berkumpul dihalaman depan masjid. Mereka penasaran dengan kejadian langka seperti ini, entah bagaimana caranya kabar tentang sumpah pocong ini cepat sekali merebak dikalangan warga.
Mas kardi yang baru selesai dimandikan, kini tubuhnya sedang dibungkus dengan kain kafan, melihat pemandangan seperti itu tentu saja membuat bulu kuduk saya merinding. Setelah tubuhnya selesai diikat dengan tali pocong. Tubuh mas kardi dibopong ketengah masjid. Sumpah siap diucapkan, semua warga menyaksikan dengan tegang. Namun tiba – tiba terdengar teriakan anak kecil dari arah luar.

“Mas Joko…. Mas Joko…. Mas Joko……”

Semua orang perhatiannya terlihat kearah pintu pagar masjid. Melihat seorang anak kecil sedang ngos – ngosan memanggil – manggil nama Mas Joko. Mas kardi yang sedang terlentangpun ikut – ikutan bangun hingga membuat orang yang berada didepannya meloncat kaget.
Mas Joko yang merasa dirinya dipanggil langsung menghampiri anak kecil yang ternyata anak tetangganya tersebut sembari bertanya ada apa sebenarnya.

“Mba Tuti lari, keluar rumah, ga tahu kenapa, seperti orang kesurupan…” ucap anak kecil dengan nada terbata – bata berusaha mengatur nafasnya.

Tanpa pikir panjang Mas Joko segera berlari menuju rumahnya, seketika juga beberapa warga menyusul Mas Joko meninggalkan mas kardi yang masih duduk kebingungan dalam kondisi tubuh terikat dalam kain kafan. Saya dan kakek juga ikut bergi, sedangkan orang – orang yang berkumpul disana ada yang pulang karena ketakutan, sebagian lagi ada yang pergi menyusul karena rasa penasaran.

Ketika kami sampai dirumah Mas Joko, terlihat ibu mertuanya sedang menangis. Menurut mertua Mas Joko, ketika Mba Tuti sedang duduk menonton TV, tiba – tiba ada suara anjing yang menggong – nggong keras dan tak henti – henti diluar rumah. Karena ibunya takut dengan anjing, maka Mba Tuti yang berinisiatif pergi kehalaman untuk mengusirnya, namun selang beberapa menit Mba Tuti tak juga kembali masuk kedalam rumah.

“lalu ibu pergi keluar untuk menyusulnya, tapi Tuti tidak ada. Dan menurut tetangga tadi Tuti terlihat berlari sambil memegang batu mengejar anjing hitam kearah barat.” Ucap mertua Mas Joko yang kemudian menangis kembali.

Mas Joko yang hendak pergi karena emosi ditahan beberapa warga, kata pak lurah sebaiknya kita melakukan pencarian bersama – sama. Sekitar dua puluh orang yang dipimpin pak lurah siap untuk melakukan pencarian. Sementara kakek mengajak saya pulang setelah berpamitan dengan Mas Joko, kata kakek dia akan membantunya dengan cara lain.

“antar kakek kerumah aki merah!” ucap kakek kepada saya.

Tanpa banyak bertanya saya menarik gas, meluncur menuju rumah ki merah. Sekarang saya merasa yakin mungkin ki merah lah pelakunya, dia telah memanfaatkan kesempatan ketika Mba Tuti ditinggalkan suaminya untuk melancarkan serangannya lagi.

“memang ki merah itu siapa kek?” diperjalanan untuk menghilangkan perasaan tegang saya bertanya.

“kamu masih ingat dengan cerita kakek tentang Mba Eka?” kakek malah balik bertanya.

Menurut kakek ki merah sejak muda memang gemar mengulik ilmu – ilmu kebatinan, waktu itu kakek masih remaja. Masih ingat ketika Mas Solihin hampir saja membunuh seorang pria yang diduga menyantet istrinya, menurut kakek orang tersebut adalah ki merah. Memang waktu itu tidak ada bukti yang kuat, tapi berdasarkan desas – desus yang beredar dikalangan warga meyakini bahwa ki merah memang pelakunya.

“bagaimana kakek yakin waktu itu kalau ki merah orangnya?” saya masih penasaran.

Kakek saya bercerita bahwa mbah buyut sayalah yang memberitahunya, waktu itu mbah buyut saya baru pulang dari sawah malam – malam habis mengairi sawah. Ketika lewat belakang rumahmas solihin samar – samar dalam redupnya lampu bohlam dia melihat sesosok pria sedang menggali tanah. Karena merasa curiga mbah buyut saya bersembunyi dibalik semak – semak mengawasi. Mungkin sekitar lima menit berlalu dan lubang itu telah selesai, pria tersebut mengeluarkan bungkusan kain putih dari sakunya, yang kemudian ia masukan kedalam lubang galian yang baru dibuatnya. Saya melihat sesosok pria tersebut berbalik badan, dia yakin wajah itu adalah wajah ki merah. Dan keesokan harinya tragedy mengerikan Mba Eka terjadi. Mbah buyut saya merasa berdosa juga karena tidak bisa berbuat apa – apa, mengingat bila dia jadi saksipun tanpa bukti yang kuat pengadilan akan tetap tidak percaya.

“kenapa ki merah melakukan itu pada Mba Eka kek? Tanya saya masih penasaran.

Menurut kakek,tak ada yang tahu apa motif dibalik penyantetan Mba Eka waktu itu, ada yang bilang dia cemburu karena ki merah menaruh hati sama Mba Eka, ada yang bilang keluarga mas solihin berselisih dengan keluarga ki merah tentang batas kebun mereka. Tapi ada yang bilang juga itu hanya kegilaan ki merah waktu muda yang ingin mencoba ilmu kebatinan yang baru dipelajarinya. Tak ada yang tahu pasti, kabar itu simpang siur. Hanya ki merah sendiri yang mengetahui alasannya.
Mengerikan kalau yang terakhir menjadi alasan ki merah menyantet orang, gila bener, psikopat akut. Sungguh merinding saya mendengar ada jenis orang seperti itu dimuka bumi ini.

“terus kenapa kakek sekarang bisa yakin kalau yang mengguna – guna Mba Tuti adalah ki merah?”

Mbah buyut saya pernah bilang kepada kakek, bahwa ilmu seperti ini sangat sulit untuk dikuasai. Hanya satu orang yang ia kenal yang bisa melakukan santet jenis ini, dan satu lagi menurut kakek saya, intuisi dan hasil dari penerawangannya selalu mengarah kepada ki merah.

Tidak terasa dalam obrolan panjang itu akhirnya kami tiba didepan rumah ki merah. Saya kira kakek akan langsung melabrak, marah – marah dan menendang pintu rumahnya. Tapi nyatanya kakek bertamu dengan sopan, dia mengetuk pintu masuk dengan pelan sambil mengucapkan salam.

Istri ki merah menyambut dengan ramah, kami dipersilahkan masuk. Segelas the hangat dan keripik pisang disajikan sambil menunggu ki merah datang. Setelah kakek dan ki merah duduk berhadap – hadapan, kakek langsung mulai berbicara.

“saya mohon ki, siapapun yang menyuruh aki tolong hentikan. Saya sudah tak tega melihatnya.”

“apa maksudmu?” jawab ki merah sambil cengengesan.

“sudahlah ki, kita tidak usah berpura – pura lagi.”

Raut wajah ki merah berubah menjadi serius, mungkin dia sudah tidak bisa lagi menyepelekan kakek sekarang. Setelah memuji kejelian kakek, ki merah mulai bercerita.

“sebenarnya saya tak mau lagi menggunakan ilmu seperti ini, kau tahu sendiri akibat ulahku dimasa lalu aku sudah dicap jelek oleh masyarakat sini. Dikucilkan, disepelekan bahkan dipandang criminal. Mereka hanya bisa menghakimi tanpa pernah tahu alasanku melakukannya dulu.” Ucap ki merah.

“ada seorang pria umurnya mungkin sama denganku, dia mendatangiku malam – malam dan menceritakan masalahnya dengan gambling, aku tak tega mendengarnya. Setelah mendengar ceritanya itu aku merasa menjadi diriku yang dulu, dia memilki nasib sama sepertiku. Iblis dalam diriku muncul kembali, hingga aku mengiyakan permintaannya.” Lanjut ki merah.

“memang apa yang pria itu ceritakan? Apa dia punya masalah dengan keluarga Mas Joko. Saya ingin mendengar alasannya?” kakek bertanya.





Posting Komentar