“Jika
saya memberitahukan siapa pelakunya apa yang akan kalian lakukan?” Tanya kakek
saya kepada warga yang berkumpul disana.
“tentu
saja kita akan menangkapnya, masalah pengadilan kita tentukan nanti, apa mau
kita adili sendiri atau dibawa ke kantor polisi?” celetuk salah satu warga.
“memang
kalian bisa menjamin bahwa ucapan saya benar?” jawab kakek.
“tentu
saja bapak kan seorang dukun.” Jawab warga lain yang sepertinya tampak
semangat.
“baik.
Pertama saya sangat tidak nyaman dibilang seorang dukun, karena saya tidak
membuka praktek. Saya hanya berniat membantu Joko, karena kasihan melihat
istrinya.
Kedua, apa bapak – bapak disini punya bukti penguat bahwa ucapan saya
benar?”
Setiap
warga saling berpandangan, wajah mereka tampak kebingungan termasuk juga pak
lurah. Tentu saja ucapan kakek benar, jika kakek saya menyebutkan nama baru,
sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah, tapi hanya mengalihkan kebencian
pada orang baru lainnya.
“jadi
apa yang harus kita lakukan sekarang sekarang pak lurah?” ucap warga yang
tampak tidak sabar.
Pak
lurah masih diam dan belum mengambil keputusan, sementara warga saling berbisik
berbicara dibelakang saling bertukar pendapat apa yang seharusnya mereka
lakukan. Musyawarah ini berjalan begitu a lot, hingga tak terasa adzan maghrib
terdengar.
Begitu
adzan selesai berkumandang, tiba – tiba pak lurah bangun dari duduknya. Bisikan
– bisikan dibelakang seketika berhenti, semua mata tertuju kepada pak lurah.
“begini
saja, agar cepat beres dan tidak ada lagi kecurigaan. Bagaimana kalau si kardi
di sumpah pocong.” Pernyataan pak lurah membuat semua orang kaget.
“bila
kamu benar – benar tak bersalah seharusnya tidak keberatan kardi?” ucap pak
lurah menatap mas kardi, yang kemudian disusul gemuruh suara warga mengiyakan
pendapat pak lurah tersebut.
“tentu
saja saya tidak keberatan.” Jawab mas kardi dengan sedikit ragu, mungkin dia
merasa merinding mendengar nama sumpah yang jarang dilakukan ini.
Akhirnya
keputusan pak lurah bisa sedikit meredam rasa kesal warga, termasuk Mas Joko
mungkin. Setelah itu pak lurah mengumumkan bahwa sumpah akan dilakukan setelah
adzan isya di mesjid, kemudian ia memerintahkan beberapa warga untuk menyiapkan
apa saja yang dibutuhkan untuk
kelangsungan sumpah pocong nanti, seperti kain kafan. Sebenarnya kakek
mau berpendapat tapi melihat antusias warga yang begitu semangat, maka kakek
memutuskan untuk setuju saja, setidaknya kecurigaan ini tidak berakhir dengan
kekerasan.
Saya
tidak terlalu paham dengan konsep sumpah pocong, tapi pendapat beberapa orang
sumpah ini ada karena percampuran agama dan tradisi budaya ketimuran, khususnya
di pulau jawa. Jadi menurut kepercayaan warga stetmpat, sumpah pocong dilakukan
oleh seseorang yang dicurigai berkata bohong, konon bila si pembohong melakukan
sumpah pocong maka kesialan atau bahkan bencana bisa menyelimutinya seumur
hidup. Sumpah ini dianggap bisa menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan
dipengadilan. Tapi di era modernisasi seperti sekarang, rasanya jarang orang
yang melakukan cara – cara seperti ini.
Sekitar
setengah delapan malam, banyak warga berkumpul dihalaman depan masjid. Mereka
penasaran dengan kejadian langka seperti ini, entah bagaimana caranya kabar
tentang sumpah pocong ini cepat sekali merebak dikalangan warga.
Mas
kardi yang baru selesai dimandikan, kini tubuhnya sedang dibungkus dengan kain
kafan, melihat pemandangan seperti itu tentu saja membuat bulu kuduk saya
merinding. Setelah tubuhnya selesai diikat dengan tali pocong. Tubuh mas kardi
dibopong ketengah masjid. Sumpah siap diucapkan, semua warga menyaksikan dengan
tegang. Namun tiba – tiba terdengar teriakan anak kecil dari arah luar.
“Mas
Joko…. Mas Joko…. Mas Joko……”
Semua
orang perhatiannya terlihat kearah pintu pagar masjid. Melihat seorang anak
kecil sedang ngos – ngosan memanggil – manggil nama Mas Joko. Mas kardi yang
sedang terlentangpun ikut – ikutan bangun hingga membuat orang yang berada
didepannya meloncat kaget.
Mas
Joko yang merasa dirinya dipanggil langsung menghampiri anak kecil yang
ternyata anak tetangganya tersebut sembari bertanya ada apa sebenarnya.
“Mba
Tuti lari, keluar rumah, ga tahu kenapa, seperti orang kesurupan…” ucap anak
kecil dengan nada terbata – bata berusaha mengatur nafasnya.
Tanpa
pikir panjang Mas Joko segera berlari menuju rumahnya, seketika juga beberapa
warga menyusul Mas Joko meninggalkan mas kardi yang masih duduk kebingungan
dalam kondisi tubuh terikat dalam kain kafan. Saya dan kakek juga ikut bergi,
sedangkan orang – orang yang berkumpul disana ada yang pulang karena ketakutan,
sebagian lagi ada yang pergi menyusul karena rasa penasaran.
Ketika
kami sampai dirumah Mas Joko, terlihat ibu mertuanya sedang menangis. Menurut
mertua Mas Joko, ketika Mba Tuti sedang duduk menonton TV, tiba – tiba ada
suara anjing yang menggong – nggong keras dan tak henti – henti diluar rumah.
Karena ibunya takut dengan anjing, maka Mba Tuti yang berinisiatif pergi
kehalaman untuk mengusirnya, namun selang beberapa menit Mba Tuti tak juga
kembali masuk kedalam rumah.
“lalu
ibu pergi keluar untuk menyusulnya, tapi Tuti tidak ada. Dan menurut tetangga
tadi Tuti terlihat berlari sambil memegang batu mengejar anjing hitam kearah
barat.” Ucap mertua Mas Joko yang kemudian menangis kembali.
Mas
Joko yang hendak pergi karena emosi ditahan beberapa warga, kata pak lurah
sebaiknya kita melakukan pencarian bersama – sama. Sekitar dua puluh orang yang
dipimpin pak lurah siap untuk melakukan pencarian. Sementara kakek mengajak
saya pulang setelah berpamitan dengan Mas Joko, kata kakek dia akan membantunya
dengan cara lain.
“antar
kakek kerumah aki merah!” ucap kakek kepada saya.
Tanpa
banyak bertanya saya menarik gas, meluncur menuju rumah ki merah. Sekarang saya
merasa yakin mungkin ki merah lah pelakunya, dia telah memanfaatkan kesempatan
ketika Mba Tuti ditinggalkan suaminya untuk melancarkan serangannya lagi.
“memang
ki merah itu siapa kek?” diperjalanan untuk menghilangkan perasaan tegang saya
bertanya.
“kamu
masih ingat dengan cerita kakek tentang Mba Eka?” kakek malah balik bertanya.
Menurut
kakek ki merah sejak muda memang gemar mengulik ilmu – ilmu kebatinan, waktu
itu kakek masih remaja. Masih ingat ketika Mas Solihin hampir saja membunuh
seorang pria yang diduga menyantet istrinya, menurut kakek orang tersebut
adalah ki merah. Memang waktu itu tidak ada bukti yang kuat, tapi berdasarkan
desas – desus yang beredar dikalangan warga meyakini bahwa ki merah memang
pelakunya.
“bagaimana
kakek yakin waktu itu kalau ki merah orangnya?” saya masih penasaran.
Kakek
saya bercerita bahwa mbah buyut sayalah yang memberitahunya, waktu itu mbah
buyut saya baru pulang dari sawah malam – malam habis mengairi sawah. Ketika
lewat belakang rumahmas solihin samar – samar dalam redupnya lampu bohlam dia
melihat sesosok pria sedang menggali tanah. Karena merasa curiga mbah buyut
saya bersembunyi dibalik semak – semak mengawasi. Mungkin sekitar lima menit
berlalu dan lubang itu telah selesai, pria tersebut mengeluarkan bungkusan kain
putih dari sakunya, yang kemudian ia masukan kedalam lubang galian yang baru
dibuatnya. Saya melihat sesosok pria tersebut berbalik badan, dia yakin wajah
itu adalah wajah ki merah. Dan keesokan harinya tragedy mengerikan Mba Eka
terjadi. Mbah buyut saya merasa berdosa juga karena tidak bisa berbuat apa –
apa, mengingat bila dia jadi saksipun tanpa bukti yang kuat pengadilan akan
tetap tidak percaya.
“kenapa
ki merah melakukan itu pada Mba Eka kek? Tanya saya masih penasaran.
Menurut
kakek,tak ada yang tahu apa motif dibalik penyantetan Mba Eka waktu itu, ada
yang bilang dia cemburu karena ki merah menaruh hati sama Mba Eka, ada yang
bilang keluarga mas solihin berselisih dengan keluarga ki merah tentang batas
kebun mereka. Tapi ada yang bilang juga itu hanya kegilaan ki merah waktu muda
yang ingin mencoba ilmu kebatinan yang baru dipelajarinya. Tak ada yang tahu
pasti, kabar itu simpang siur. Hanya ki merah sendiri yang mengetahui
alasannya.
Mengerikan
kalau yang terakhir menjadi alasan ki merah menyantet orang, gila bener,
psikopat akut. Sungguh merinding saya mendengar ada jenis orang seperti itu
dimuka bumi ini.
“terus
kenapa kakek sekarang bisa yakin kalau yang mengguna – guna Mba Tuti adalah ki
merah?”
Mbah
buyut saya pernah bilang kepada kakek, bahwa ilmu seperti ini sangat sulit
untuk dikuasai. Hanya satu orang yang ia kenal yang bisa melakukan santet jenis
ini, dan satu lagi menurut kakek saya, intuisi dan hasil dari penerawangannya
selalu mengarah kepada ki merah.
Tidak
terasa dalam obrolan panjang itu akhirnya kami tiba didepan rumah ki merah.
Saya kira kakek akan langsung melabrak, marah – marah dan menendang pintu
rumahnya. Tapi nyatanya kakek bertamu dengan sopan, dia mengetuk pintu masuk
dengan pelan sambil mengucapkan salam.
Istri
ki merah menyambut dengan ramah, kami dipersilahkan masuk. Segelas the hangat
dan keripik pisang disajikan sambil menunggu ki merah datang. Setelah kakek dan
ki merah duduk berhadap – hadapan, kakek langsung mulai berbicara.
“saya
mohon ki, siapapun yang menyuruh aki tolong hentikan. Saya sudah tak tega
melihatnya.”
“apa
maksudmu?” jawab ki merah sambil cengengesan.
“sudahlah
ki, kita tidak usah berpura – pura lagi.”
Raut
wajah ki merah berubah menjadi serius, mungkin dia sudah tidak bisa lagi
menyepelekan kakek sekarang. Setelah memuji kejelian kakek, ki merah mulai
bercerita.
“sebenarnya
saya tak mau lagi menggunakan ilmu seperti ini, kau tahu sendiri akibat ulahku
dimasa lalu aku sudah dicap jelek oleh masyarakat sini. Dikucilkan, disepelekan
bahkan dipandang criminal. Mereka hanya bisa menghakimi tanpa pernah tahu
alasanku melakukannya dulu.” Ucap ki merah.
“ada
seorang pria umurnya mungkin sama denganku, dia mendatangiku malam – malam dan
menceritakan masalahnya dengan gambling, aku tak tega mendengarnya. Setelah
mendengar ceritanya itu aku merasa menjadi diriku yang dulu, dia memilki nasib
sama sepertiku. Iblis dalam diriku muncul kembali, hingga aku mengiyakan
permintaannya.” Lanjut ki merah.
“memang
apa yang pria itu ceritakan? Apa dia punya masalah dengan keluarga Mas Joko.
Saya ingin mendengar alasannya?” kakek bertanya.
Posting Komentar