Waktu
terus berjalan menghapus kenangan lama dengan kenangan baru. Namun salah satu
diantara kenangan – kenangan itu aka ada
salah satu yang membekas dan menjadi penghuni tetap dalam ingatanmu.
Sore
itu saya sedang duduk diteras rumah bersama kakek, menatap lembayung sore yang
terlukis dilangit sembari menikmati the hangat buatan nenek. Mungkin inilah
waktu yang tepat untuk mengutarakan sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan
sedari dulu.
“kek
sebenarnya apa yang dikatakan ki merah diruangannya kepada kakek ketika kita
datang kerumahnya malam itu.” Lalu kakek mulai membuak mulut hendak menjawab
pertanyaan saya.
Sekitar
jam 9 malam, tiba – tiba terdengar suara ketukan. Ki merah yang sedang
tertidurpun tersadar dan segera membuka pintu. Terlihat sosok seorang lelaki
tua sekitar lima puluh tahun atau enam puluh tahunan berdiri diluar. Raut
wajahnya tampak lelah, dengan suara yang berat pria tersebut mulai berbicara.
“4
tahun yang lalu saya memiliki seorang anak gadis, dia anak yang baik dan juga
penurut. Seperti remaja pada umumnya setelah lulus SMA dia ingin pergi ke kota.
Datanglah seorang pemuda yang menawari pekerjaan, anak saya sangat antusias
ketika ditawari kerja, begitu pula dengan saya yang juga ikut senang bila anak
saya senang.” Ucap pria tersebut kepada ki merah.
“akhirnya
anak saya bekerja, walaupun bukan dikantoran, hanya sebuah restoran tapi bagi
anak saya itu tidak apa – apa. Aki masih ingat dengan pemuda yang telah berjasa
mencarikan pekerjaan untuk saya? Ternyata dia memendam perasaan pada anak saya.
Setiap pulang dari kota pemuda itu selalu mengantarnya, semua hal dia lakukan
selayaknya seorang pemuda yang sedang kasmaran untuk menarik perhatiannya.”
Lanjut pria tersebut.
“tapi
saya tak menyangka, ternyata anak saya tak membalas perasaan pemuda tersebut.
Karena anak saya memiliki perasaan pada
lelaki lain, yang ternyata adalah temannya ditempat kerja. Hingga akhirnya saya
menyuruh pemuda yang anak saya taksir tersebut untuk datang melamar kerumah.”
“terus?”
ki merah tampak semakin penasaran.
“acara
pertunangan telah dilakukan, saya dan pihak keluarga kekasih anak saya telah
merencanakan tanggal pernikahan. Namun seminggu setelah pertunangan, kekasih
anak saya datang kembali, dia hendak membatalkan pernikahan, saya tak tahu
alasannya.
Tentu saja hal tersebut membuat anak saya sakit hati, dan yang lebih
menyakitkan bagi saya adalah kabar ini sudah menyebar kepada warga kampung,
anak saya tak mau keluar rumah karena dia malu bertemu dengan orang. Tekanan
dari omongan orang – orang dan sakit hati karena telah dicampakan tak bisa lagi
ditahan oleh anak saya, hingga akhirnya ketika saya pulang dari sawah.” Pria
tua itu mengeluarkan air mata, seperti tercekak ditenggorokannya dia menahan
omongannya.
“jasad
anak saya sudah tergantung.” Seperti mengingat kenangan lama, pria tua ini kini
menangis tak bisa lagi menahan emosinya.
“seminggu
setelah kematian anak saya, seorang pemuda datang untuk meminta maaf. Katanya
dia tak menyangka perbuatan isengnya akan berakhir seperti ini.”
“siapa
pemuda ini?” Tanya ki merah.
“pemuda
yang cintanya ditolak oleh anak saya itu ki, awalnya saya tak terima dan sangat
marah sekali. Tapi saya berpikir ulang, mungkin ini sudah kehendak Tuhan. Saya
memaafkannya walaupun dengan berat hati.”
“lalu
apa tujuanmu datang kemari.” Tanya ki merah lagi.
“walaupun
saya sudah memaafkan dan mencoba melupakan, namun nyatanya tidak dengan orang –
orang. Mereka terus membicarakan dan membuat dugaan – dugaan yang tak berdasar.
Kabar kematian dan gagalnya pernikahan anak saya seperti sebuah cerita legenda
terus menyebar dari mulut ke mulut dengan bumbu yang luar biasa pedas. Ada yang
menuduh pernikahan anak saya batal karena calon suaminya sudah memiliki istri,
ada yang menuduh bahwa anak saya Cuma korban birahi lelaki kota saja, dan
segudang dugaan – dugaan lainnya yang mereka ciptakan dengan dasar imajinasi.”
“saya
sudah tidak tahan lagi ki, selama tiga tahun hidup dengan lirikan dan tuduhan
orang. Hingga rasa dendam yang saya sudah coba kubur dalam – dalam ini ternyata
tak bisa saya sembunyikan lagi. Saya ingin pemuda itu merasakan apa yang anak
saya rasakan, bahkan sampai mati.” Lanjut pria tua itu.
“siapa
yang memberitahumu bahwa aku bisa membantumu?” Tanya ki merah lagi.
“waktu
saya masih muda, kisah aki dan keluarga Eka sampai kekampung saya ki.”
“ohh,
jadi kabar kalau aku menyantet Eka telah menyebar kemana – mana .” ucap ki
merah dengan wajah terlihat kesal.
“seperti
yang sudah saya bilang ki, kabar buruk seperti legenda yang akan disebarkan
dari mulut ke mulut oleh orang – orang.”
“mereka
tak pernah tahu alasanku melakukan itu kepada Eka, hanya melemparkan tuduhan
yang tak berdasar seperti yang kau ucapkan. Sama seperti tuduhan yang mereka
arahkan kepada anakmu.”
“saya
tak punya alasan lagi untuk hidup ki. Usia saya sudah tua, penerus saya sudah
lebih dulu pergi ke surge. Saya ingin mati dengan tenang tanpa harus menyimpan
rasa dendam.”
Malam
itu sebuah kesepakatan terjadi, ki merah bersedia membantu. Walaupun pria tua
itu menyerahkan sejumlah uang yang ia bungkus dalam amplop coklat. Tapi lebih
dari sekedar imbalan ki merah mempunyai motivasi lain dibalik semua itu.
“siapa
nama pria itu?” Tanya ki merah.
“Joko
ki.”
Begitulah
jawaban yang kakek berikan sore itu, terdengar seperti sebuah dongeng untuk
cerita nyata yang pernah terjadi. Saya tak tahu lagi kabar Mas Joko setelah
istrinya sembuh seperti apa, terakhir dia datang kerumah hanya mengucapkan
terima kasih sambil membawa sekeranjang buah. Sementara ki merah semenjak
kejadian itu citranya semakin buruk di masyarakat, dan sudah jarang tamu yang
datang dari kota kerumahnya.
Arwah
wanita yang saya lihat pas kejadian dirumah pak bulbul entah bagaimana
nasibnya, apa dia telah pergi kea lam baka atau masih penasaran dan
berkeliaran. Atau jangan – jangan dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk
kembali melampiaskan dendam, saya tak pernah tahu. Dunia perghaiban tentu saja
berada diluar kuasa dan pengetahuan saya.
Kakek
selalu bilang sejarah hidup seseorang akan selalu terulang entah kepada
dirinya, keturunannya atau pada orang sekitarnya. Mungkin saya bisa belajar
dari pengalaman hidup yang pernah saya lalui ini, tapi saya tak mengerti bagian
mana yang harus saya pelajari, maka saya memutuskan untuk bertanya kepada
kakek.
“pak
apa pelajarn hidup yang bisa saya ambil dari kejadian ini?”
Seperti
sifat kakek yang tak mau menggurui, dia bukan menjawabnya secara langsung tapi
malah dengan sebuah cerita, setelah menyeruput teh hangat kakek mulai
bercerita.
Seorang
pria yang sedang bekerja diladang tiba – tiba saja mendapat kabar dari temannya
bahwa anaknya sakit parah. Dengan tergesa – gesa tanpa membasuh dulu kotoran
lumpur dalam tubuhnya dia menyalakan motor bebek yang dibawanya, dia memacu
kendaraannya dengan kencang membawa perasaan was – was karena takut terjadi
sesuatu dengan anaknya.
Brakkk!!!!
Tanpa diduga disebuah kelokan dia menabrak seorang pria. Warga yang melihat
kejadian itu geram dan langsung menghakiminya.
“makanya
kalau bawa motor jangan ngebut – ngebut.” Teriak salah satu warga sambil
melayangkan pukulannya bertubi – tubi.
Pria
yang ditabrak itu akhirnya tewas, karena mengeluarkan banyak darah dari
kepalanya. Melihat korbannya mati, warga semakin geram dan membabi buta
menghakimi , hingga akhirnya pria yang membawa motor bebek itu juga ikut tewas.
Hari
itu ada dua mayat yang tergeletak dijalan dan ada dua anak yang telah menjadi
yatim. Namu ada puluhan warga yang mencuci tangannya disungai karena terkena
cipratan darah.
“hah,
maksudnya apa kek?” saya kebingungan setelah selesai mendengar cerita kakek.
Tapi
kakek malah berlalu masuk kedalam rumah meninggalkan saya sendiri yang masih
kebingungan, hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang.
TAMAT
Posting Komentar