SANTET (Witchcraft) - Chapter 13 ( END )



Waktu terus berjalan menghapus kenangan lama dengan kenangan baru. Namun salah satu diantara kenangan – kenangan  itu aka ada salah satu yang membekas dan menjadi penghuni tetap dalam ingatanmu.

Sore itu saya sedang duduk diteras rumah bersama kakek, menatap lembayung sore yang terlukis dilangit sembari menikmati the hangat buatan nenek. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengutarakan sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan sedari dulu.

“kek sebenarnya apa yang dikatakan ki merah diruangannya kepada kakek ketika kita datang kerumahnya malam itu.” Lalu kakek mulai membuak mulut hendak menjawab pertanyaan saya.

Sekitar jam 9 malam, tiba – tiba terdengar suara ketukan. Ki merah yang sedang tertidurpun tersadar dan segera membuka pintu. Terlihat sosok seorang lelaki tua sekitar lima puluh tahun atau enam puluh tahunan berdiri diluar. Raut wajahnya tampak lelah, dengan suara yang berat pria tersebut mulai berbicara.

“4 tahun yang lalu saya memiliki seorang anak gadis, dia anak yang baik dan juga penurut. Seperti remaja pada umumnya setelah lulus SMA dia ingin pergi ke kota. Datanglah seorang pemuda yang menawari pekerjaan, anak saya sangat antusias ketika ditawari kerja, begitu pula dengan saya yang juga ikut senang bila anak saya senang.” Ucap pria tersebut kepada ki merah.

“akhirnya anak saya bekerja, walaupun bukan dikantoran, hanya sebuah restoran tapi bagi anak saya itu tidak apa – apa. Aki masih ingat dengan pemuda yang telah berjasa mencarikan pekerjaan untuk saya? Ternyata dia memendam perasaan pada anak saya. Setiap pulang dari kota pemuda itu selalu mengantarnya, semua hal dia lakukan selayaknya seorang pemuda yang sedang kasmaran untuk menarik perhatiannya.” Lanjut pria tersebut.

“tapi saya tak menyangka, ternyata anak saya tak membalas perasaan pemuda tersebut. Karena anak saya  memiliki perasaan pada lelaki lain, yang ternyata adalah temannya ditempat kerja. Hingga akhirnya saya menyuruh pemuda yang anak saya taksir tersebut untuk datang melamar kerumah.”

“terus?” ki merah tampak semakin penasaran.

“acara pertunangan telah dilakukan, saya dan pihak keluarga kekasih anak saya telah merencanakan tanggal pernikahan. Namun seminggu setelah pertunangan, kekasih anak saya datang kembali, dia hendak membatalkan pernikahan, saya tak tahu alasannya. 

Tentu saja hal tersebut membuat anak saya sakit hati, dan yang lebih menyakitkan bagi saya adalah kabar ini sudah menyebar kepada warga kampung, anak saya tak mau keluar rumah karena dia malu bertemu dengan orang. Tekanan dari omongan orang – orang dan sakit hati karena telah dicampakan tak bisa lagi ditahan oleh anak saya, hingga akhirnya ketika saya pulang dari sawah.” Pria tua itu mengeluarkan air mata, seperti tercekak ditenggorokannya dia menahan omongannya.

“jasad anak saya sudah tergantung.” Seperti mengingat kenangan lama, pria tua ini kini menangis tak bisa lagi menahan emosinya.

“seminggu setelah kematian anak saya, seorang pemuda datang untuk meminta maaf. Katanya dia tak menyangka perbuatan isengnya akan berakhir seperti ini.”

“siapa pemuda ini?” Tanya ki merah.

“pemuda yang cintanya ditolak oleh anak saya itu ki, awalnya saya tak terima dan sangat marah sekali. Tapi saya berpikir ulang, mungkin ini sudah kehendak Tuhan. Saya memaafkannya walaupun dengan berat hati.”

“lalu apa tujuanmu datang kemari.” Tanya ki merah lagi.

“walaupun saya sudah memaafkan dan mencoba melupakan, namun nyatanya tidak dengan orang – orang. Mereka terus membicarakan dan membuat dugaan – dugaan yang tak berdasar. Kabar kematian dan gagalnya pernikahan anak saya seperti sebuah cerita legenda terus menyebar dari mulut ke mulut dengan bumbu yang luar biasa pedas. Ada yang menuduh pernikahan anak saya batal karena calon suaminya sudah memiliki istri, ada yang menuduh bahwa anak saya Cuma korban birahi lelaki kota saja, dan segudang dugaan – dugaan lainnya yang mereka ciptakan dengan dasar imajinasi.”

“saya sudah tidak tahan lagi ki, selama tiga tahun hidup dengan lirikan dan tuduhan orang. Hingga rasa dendam yang saya sudah coba kubur dalam – dalam ini ternyata tak bisa saya sembunyikan lagi. Saya ingin pemuda itu merasakan apa yang anak saya rasakan, bahkan sampai mati.” Lanjut pria tua itu.

“siapa yang memberitahumu bahwa aku bisa membantumu?” Tanya ki merah lagi.

“waktu saya masih muda, kisah aki dan keluarga Eka sampai kekampung saya ki.”

“ohh, jadi kabar kalau aku menyantet Eka telah menyebar kemana – mana .” ucap ki merah dengan wajah terlihat kesal.

“seperti yang sudah saya bilang ki, kabar buruk seperti legenda yang akan disebarkan dari mulut ke mulut oleh orang – orang.”

“mereka tak pernah tahu alasanku melakukan itu kepada Eka, hanya melemparkan tuduhan yang tak berdasar seperti yang kau ucapkan. Sama seperti tuduhan yang mereka arahkan kepada anakmu.”

“saya tak punya alasan lagi untuk hidup ki. Usia saya sudah tua, penerus saya sudah lebih dulu pergi ke surge. Saya ingin mati dengan tenang tanpa harus menyimpan rasa dendam.”

Malam itu sebuah kesepakatan terjadi, ki merah bersedia membantu. Walaupun pria tua itu menyerahkan sejumlah uang yang ia bungkus dalam amplop coklat. Tapi lebih dari sekedar imbalan ki merah mempunyai motivasi lain dibalik semua itu.

“siapa nama pria itu?” Tanya ki merah.

“Joko ki.”

Begitulah jawaban yang kakek berikan sore itu, terdengar seperti sebuah dongeng untuk cerita nyata yang pernah terjadi. Saya tak tahu lagi kabar Mas Joko setelah istrinya sembuh seperti apa, terakhir dia datang kerumah hanya mengucapkan terima kasih sambil membawa sekeranjang buah. Sementara ki merah semenjak kejadian itu citranya semakin buruk di masyarakat, dan sudah jarang tamu yang datang dari kota kerumahnya.

Arwah wanita yang saya lihat pas kejadian dirumah pak bulbul entah bagaimana nasibnya, apa dia telah pergi kea lam baka atau masih penasaran dan berkeliaran. Atau jangan – jangan dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali melampiaskan dendam, saya tak pernah tahu. Dunia perghaiban tentu saja berada diluar kuasa dan pengetahuan saya.

Kakek selalu bilang sejarah hidup seseorang akan selalu terulang entah kepada dirinya, keturunannya atau pada orang sekitarnya. Mungkin saya bisa belajar dari pengalaman hidup yang pernah saya lalui ini, tapi saya tak mengerti bagian mana yang harus saya pelajari, maka saya memutuskan untuk bertanya kepada kakek.

“pak apa pelajarn hidup yang bisa saya ambil dari kejadian ini?”

Seperti sifat kakek yang tak mau menggurui, dia bukan menjawabnya secara langsung tapi malah dengan sebuah cerita, setelah menyeruput teh hangat kakek mulai bercerita.
Seorang pria yang sedang bekerja diladang tiba – tiba saja mendapat kabar dari temannya bahwa anaknya sakit parah. Dengan tergesa – gesa tanpa membasuh dulu kotoran lumpur dalam tubuhnya dia menyalakan motor bebek yang dibawanya, dia memacu kendaraannya dengan kencang membawa perasaan was – was karena takut terjadi sesuatu dengan anaknya.

Brakkk!!!! Tanpa diduga disebuah kelokan dia menabrak seorang pria. Warga yang melihat kejadian itu geram dan langsung menghakiminya.

“makanya kalau bawa motor jangan ngebut – ngebut.” Teriak salah satu warga sambil melayangkan pukulannya bertubi – tubi.

Pria yang ditabrak itu akhirnya tewas, karena mengeluarkan banyak darah dari kepalanya. Melihat korbannya mati, warga semakin geram dan membabi buta menghakimi , hingga akhirnya pria yang membawa motor bebek itu juga ikut tewas.
Hari itu ada dua mayat yang tergeletak dijalan dan ada dua anak yang telah menjadi yatim. Namu ada puluhan warga yang mencuci tangannya disungai karena terkena cipratan darah.

“hah, maksudnya apa kek?” saya kebingungan setelah selesai mendengar cerita kakek.

Tapi kakek malah berlalu masuk kedalam rumah meninggalkan saya sendiri yang masih kebingungan, hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang.


TAMAT

Posting Komentar